Hal yang telah diungkapkan sebelumnya, pada dasarnya terkait bagaimana Pemerintah menekan agar internasionalisasi Aceh dalam konteks konflik, sama sekali tidak terjadi. Maka bagi sejumlah pihak, ketika Pemerintah menetapkan 26 Maret untuk tenggat keberadaan asing di tanah Aceh, yang terbayang dibenak tentu saja ketakutan internasionalisasi Aceh yang diuraikan sebelumnya.
Apa yang bisa diungkapkan terkait dengan tenggat ini? Mereka yang putih, hitam, kuning, coklat, sawo matang. Mereka datang dengan segenap simpati, empati, dan ingin membantu. Tapi, sampai di sana, masalah menjadi lain. Terbelah. Semacam sisi kedaulatan di satu pihak, dan kemanusiaan di sisi yang lain. Kira-kira, ketakutan yang terbangun saat itu adalah persoalan kemanusiaan yang akan menjadi masalah kedaulatan di kemudian hari –tepatnya, berpengaruh terhadap kedaulatan. Lalu, dibuatlah batasan, yang akhirnya diralat menjadi batas waktu atau jadwal oleh pemerintah kita, Indonesia, bahwa yang selain Indonesia, khususnya militer, akan berlangsung sampai 26 Maret 2005.
Berbagai tanggapan muncul. Ada yang marah, dan ada yang menerima dengan lapang dada. Tak sedikit pula yang mencibir dan mempertanyakan; apa maksudnya? Kok bisa harus seperti itu? Bukankah sampai sebulan setelah tsunami, mayat-mayat dan puing masih bergelimang dan berserak di tanah Aceh? Mampukah kita melakukannya sendiri untuk membereskan banyak hal, sedang kenyataannya, kehadiran mereka dengan berbagai peralatan dan perlengkapan sangat membantu?
Apakah kemanusiaan itu akan dihilangkan karena masalah kedaulatan yang nyatanya, ternyata masih sebatas ketakutan-ketakutan? Bisa banyak lagi pertanyaan yang akan bisa muncul dan mengalir begitu saja. Bila dilanjutkan.
Goenawan Mohammad, dalam Catatan Pinggirnya (Tempo, 23 Januari 2005), memetakan beberapa ulas yang nyata. Goenawan menulis begini: “Beratus-ratus manusia –berseragam atau tidak, beragama atau tidak, punya dosa atau tidak, datang untuk meringankan penderitaan. Seorang tentara Amerika berkata, ia lebih senang bekerja menolong orang Aceh ketimbang berperang di Bagdad; seorang sopir taksi di Finlandia tiba-tiba menghentikan mobilnya untuk mengheningkan cipta; sejumlah perempuan Prancis tiba dari Paris untuk mengangkut manusia yang membusuk di pojok-pojok Aceh.”
“Apa yang menggerakkan mereka?”
“Pasti ada pamrih, kata sebagian orang. Mungkin. Tapi bagaimana kita menduga pamrih? Sejauhmana kita tak memproyeksikan dengki dan pamrih kita sendiri kepada orang lain ketika berkata, ‘awas, ada pamrih?’ tak ada jawab, selain mengira-ngira.”