26 Maret 1873

Untuk apa para ulama tiada henti berperang melawan penjajah pada zaman dahulu? Apa yang menyebabkan mereka mampu bertahan dalam waktu yang kadangkala sangat lama. Dalam keadaan terguncang dan penuh tekanan, baik fisik maupun mental, mereka …

Untuk apa para ulama tiada henti berperang melawan penjajah pada zaman dahulu? Apa yang menyebabkan mereka mampu bertahan dalam waktu yang kadangkala sangat lama. Dalam keadaan terguncang dan penuh tekanan, baik fisik maupun mental, mereka memiliki semangat yang terus menyala untuk melawan. Ada perpaduan antara semangat dan keberanian, antara tidak punya pilihan dan mempertahankan keyakinan.

Syahdan, ada sejumlah buku yang mencatat bagaimana pengaruh syair terhadap kemampuan berperang dari para pejuang. Dalam sejarah Aceh dikenal dengan syair perang. Bait-bait yang disusun dengan basis keyakinan, lalu disampaikan kepada mereka yang berjuang. Pengaruhnya tidak sederhana.

Sejumlah peneliti diturunkan untuk melihat pengaruh, dan mengkaji bagaimana kaitan antara satu kawasan dengan kawasan lain. Suatu masyarakat yang memiliki keyakinan yang kuat, tidak selalu mampu dipahami secara utuh oleh orang luar perihal apa yang menyebabkan mereka mampu bertahan demikian.

Dalam kondisi demikian, para orang pandai akan menggunakan momentum untuk menawarkan jasa dalam rangka menemukan peta problem demikian. Orang pandai yang buruk akan menggunakan alasan materi sebagai satu-satunya. Ada yang baik dan berusaha mempertahankan integritas di tengah keadaan zaman yang juga demikian ditentukan materi.

Soal integritas dan subjektivitas kerap menjadi perdebatan dalam relasi pelaksana dan penyandang dana. Orang-orang yang mendapat dana besar berusaha melerai moral. Katanya, seberapa besar pun dana, seorang peneliti bisa memisahkan kepentingannya secara subjektif. Dari dulu kaum kritis mengingatkan, bahwa tidak ada yang bisa melepaskan diri dari kepentingan subjektif.

Selalu saja soal perang dan perlawanan ada banyak cerita. Termasuk bagaimana keterlibatan dan keberpihakan orang pandai dalam perjalanan sejarahnya. Penelitilah yang sering mengklasifikasi bagaimana kehebatan atau sebaliknya dalam sejarah perang, dengan rasa subjektifnya.

Sejumlah bangsa besar di dunia ini tidak lepas dari bagaimana kehebatan mereka yang digambarkan melalui penguasaan dunia. mereka menjelajah ke berbagai arah angin. Kawasan yang dari aspek keamanan rendah dan pengaruh politik lemah menjadi sasaran empuk untuk terus dikuasai dengan berbagai cara.

Barangkali, kita kembali mengingat bagaimana salah satu cerita kehebatan itu. Bagi sebagian orang Aceh, terutama mereka yang membaca sejumlah catatan sejarah, proklamasi perang Belanda tanggal 26 Maret sangat penting. Tanggal inilah, tahun 1873, Belanda mengumumkan perang untuk Aceh.

Cerita kehebatannya adalah kegagahan Belanda, sebuah negara yang saat itu menjadi salah satu kekuatan kolonial dari Eropa, lalu mengumumkan perang untuk satu kawasan yang secara geografis kecil. Dan perang itu, sebagaimana beberapa catatan kemudian, hingga 20 tahun kemudian, masih menyisakan aroma kegagalan. Ada orang politik negara kolonial yang selalu mempermasalahkan tentara lapangan. Pengambil kebijakan yang sangat royal mengeluarkan uang. Atau para serdadu kolonial yang selalu didukung penuh beberapa orang pandai di setiap kebijakannya.

Saya tidak ingin berbicara tentang angka. Tentang berapa banyak serdadu Belanda yang menjadi korban. Atau catatan rakyat kita yang mencapai puluhan ribu. Catatan lain yang selama ini diungkapkan oleh banyak pencatat, bahwa di tengah ketidakberhasilan Belanda secara utuh menguasai tanah mulia ini, kenyataannya mereka melakukan pembunuhan massal dalam beberapa kejadian perang.

Dari sejumlah foto lama, bisa disaksikan rombongan serdadu Belanda yang berdiri gagah di atas tubuh-tubuh yang tergeletak di kawasan pedalaman. Mereka beberapa kali melakukan ekspedisi, yang mereka namakan sesuai dengan tujuan kawasan yang ingin diperangi. Hal ini saya baca dari sejumlah buku sejarah tua dan kumal yang tersedia secara gratis di laman sejarah.

Terlalu berat untuk merenung betapa anak bangsa rela mati dalam perang, dan itu tidak sia-sia. Ketika mereka memilih untuk maju di barisan paling depan, melawan satu kekuatan negara terkenal di mana-mana saat itu, pasti ada sesuatu yang dipikirkan.

Ada sesuatu yang menggerakkan. Secara lisan, banyak cerita mengenai betapa balasan sebagaimana ditanamkan dalam keyakinan beragama sangat berpengaruh bagi keberanian ini. Orang-orang yang mati di medan perang, atas nama menegakkan teritorialnya hingga tetes darah penghabisan, kelak akan mendapatkan balasannya.

Dari syair perang, dikabarkan mengenai perempuan yang duduk di tangga rumah, lalu mencibir para lelaki yang memilih tidak ikut berperang. Cibiran yang tentu akan sangat menyakitkan bagi yang mendengarnya. Tidak sebatas itu, bahwa sekelompok perempuan justru akan mengejar dengan gagang sapu para lelaki yang tidak berani ikut perang waktu itu.

Begitulah cerita yang tidak sederhana waktu itu. Ada keberanian dan di dalam kelompok juga ada yang terpaksa. Mereka yang ikut dengan keberanian, ada sesuatu yang membuat mereka bisa bergerak demikian. Tentu ini tak sebatas tukar-guling kuasa. Ada hal yang lebih dalam yang harus ditemukan oleh mereka yang akan melakukan dekonstruksi peradaban. Ada kekuatan yang seharusnya menjadi pelajaran bagi generasi kemudian. Dan barangkali, kita sebagai generasi kemudian, tidak hanya menunggu perputaran waktu.

Cerita semangat yang berkobar melawan penjajah termasuk di dalamnya adalah melawan mereka yang menghancurkan keadilan. Semangat ini tidak pernah mati konteks. Sampai kapan pun, semangat untuk merawat keadilan tidak boleh habis dan padam.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment