Penegakan Hukum dengan Rumus Sosial

Dengan rumus apa penegakan hukum dilakukan? Ada yang menjawab bahwa hukum memiliki rumus yang berbeda dengan rumus yang lain. Hukum memiliki cara pandang yang khusus dan khas, tidak sama dengan bidang lain. Ada yang menyebut …

Dengan rumus apa penegakan hukum dilakukan? Ada yang menjawab bahwa hukum memiliki rumus yang berbeda dengan rumus yang lain. Hukum memiliki cara pandang yang khusus dan khas, tidak sama dengan bidang lain. Ada yang menyebut sebagai ilmu, tetapi berbeda dengan ilmu pada umumnya. Karena ia sangat khas, maka dianggap ia akan menggunakan rumus hukum yang khusus.

Dalam ruang belajar yang lebih lebar, ada yang menyebut penegak hukum harus menggunakan rumus sosial. Tidak sedikit pula yang menyebut harus menggunakan rumus matematika.

Pertanyaan lain, apakah Anda pernah menyaksikan ketika hukum tidak berdaya untuk ditegakkan, karena berbagai hal? Kasus tertentu, yang dilakukan sekelompok orang kuat, walau kredo hukum dibangun bahwa hukum harus ditegakkan walau langit runtuh, namun realitasnya dilepaskan begitu saja. Alasannya bisa saja, menyelamatkan kondisi sosial yang lebih besar.

Hukum sering menyerah pada dua hal itu memperlihatkan ketidakberdayaan. Sekaligus memperlihatkan negeri ini belum bisa berhukum sebagaimana rumus matematika. Bidang ini digunakan sebagai prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan.

Terkesan aneh, menghubungkan hukum dengan matematika. Dalam corak berhukum dengan pendekatan positivistik, seolah-olah semua serba pasti. Hukum seolah-olah menjadi alat pencapaian kepastian. Istilah kepastian ini, dibangun dari konsep ilmu pasti, lewat tambah, bagi, kurang, dan kali.

Secara sederhana, dalam hukum –tepatnya peraturan perundang-undangan mengandung unsur kepastian. Orang melakukan sesuatu, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, akan diancam dengan sesuatu. Tidak bisa tidak. Namun dalam kenyataan, arena lain menentukan. Hukum sebagai realitas, berinteraksi dengan realitas sosial, politik, dan ekonomi. Dari interaksi itu turut menentukan lumpang tidaknya jalan hukum.

Dari interaksi, melahirkan berbagai pertanyaan dalam berhukum. Misalnya, mengapa kebohongan ujian bisa terjadi secara berjamaah. Mengapa hukum tidak menjangkau kebohongan tersebut. Pertanyaan lain adalah bagaimana bisa dari dalam penjara ada narkoba. Bukankah penjara pada dasarnya untuk membentuk manusia untuk kembali kepada kehidupan normal, yang tidak melanggar hukum.

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini menandakan bahwa masyarakat turut gelisah dengan kenyataan selama ini. Kenyataan tersebut menggambarkan bahwa masyarakat tetap memantau jalannya hukum di negeri ini. Menarik, karena pertanyaan itu tidak lahir dari gedung penjaga keadilan –tapi dari sebuah kampung pinggiran.

Dua hal tersebut bisa dilihat dalam konteks yang lebih luas. Penggambaran antara pencuri sandal dengan koruptor adalah pembandingan yang lazim kita dengar. Posisi pencuri sandal tersebut juga bisa diganti-ganti, misalnya pencuri ayam, pencuri kambing, pencuri lembu, dan sebagainya. Sepertinya, gambaran tersebut ditujukan sebagai pengganti dari penjahat-penjahat kelas teri.

Pemahaman masyarakat yang seperti itu harus dibedakan dengan pemahaman para juris, praktisi, maupun penegak hukum. Terlepas bagaimana dalam kenyataannya, namun semua golongan yang disebutkan terakhir, umumnya mengetahui dan bisa membedakan antara konsep pencurian dan korupsi, penjahat atau pelanggar, dan sebagainya.

Bagi masyarakat yang bergelut dengan hukum, konsep ”pencurian” secara umum merunut pada Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di mana disebutkan bahwa ”barangsiapa mengambil suatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan hukum penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp900,-”

Sementara konsep umum korupsi antara lain bisa dilihat dalam Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 yang menyebutkan bahwa ”setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar”.

Bahasa UU memberi peluang seorang koruptor dihukum minimal. Di sinilah masyarakat melakukan pembandingan, bagaimana bisa seorang pencuri biasa diancam pidana standar lima tahun, sedang korupsi mengenal hukuman minimal empat tahun.

Pembandingan ini juga kerap digunakan rumus matematika. Misalnya seseorang yang melakukan pencurian tiga buah kakao dihukum 15 hari, dibandingkan dengan koruptor Rp10 miliar hanya mendapat 10 tahun.

Di sinilah muncul tafsir dari masyarakat awam dengan menggunakan rumus matematika. Antara lain bila dirasionalisasikan harga tiga buah kakao Rp3.000 (mendapat 15 hari) sangat tidak sebanding dengan Rp10 miliar (sekitar 3.650 hari). Logikanya, dalam pemahaman masyarakat awam, satu buah kakao yang Rp1.000 mendapat hukuman lima hari, dengan demikian, Rp10.000.000 setara dengan 50.000 hari (lebih dari 100 tahun).

Persoalannya adalah dalam hukum tidak bisa digunakan rumus matematika seperti itu. Memang hukum (dalam maknanya yang berbentuk peraturan), sudah jelas menyebut kejahatan pulan akan mendapat hukuman sekian. Namun dalam pelaksanaannya, banyak hal yang berbeda. Perbedaan tersebut muncul selain karena rebutan kepentingan, juga disebabkan oleh tiga tingkat yang selalu mengiringi penyelesaian suatu kasus, yakni tingkat normatif, tingkat interpretatif, dan tingkat aplikatif.

Kalaupun pada tataran normatifnya sudah jelas, masih ada peluang berbeda pada tingkat interpretatif dan aplikatif. Seorang pelaku kejahatan terjadi tarik-menarik lewat proses pembuktian di mahkamah. Seorang pelaku kejahatan berencana akan mendapat hukuman selaku kejahatan biasa bila di pengadilan ia bisa membuktikannya. Dalam kasus salah tangkap beberaa waktu lalu misalnya, memberi gambaran betapa orang tidak bersalah sekalipun bisa dikondisikan untuk masuk ke dalam penjara.

Dalam kasus seseorang yang sudah dihukum 10 tahun oleh pengadilan sekalipun, dalam kenyataannya ada kemungkinan tidak dijalani hingga 10 tahun karena berbagai sebab –antara lain misalnya dianggap berperilaku baik yang menyebabkan ada pengurangan-pengurangan hukuman di hari besar tertentu.

Di samping itu, dalam tataran filosofis sudah lama terjadi tarik-menarik antara unsur kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan hukum (zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit) –konsep yang sudah diungkapkan Radbruch sejak 1961. Tarik-menarik terjadi bahkan sampai pada perebutan pengaruh. Komponen yang menginginkan kepastian hukum, lebih cenderung terpaku pada normatif tertulis semata. Padahal dalam suatu masyarakat tidak hanya diatur oleh hukum dalam konsepnya segala peraturan perundang-undangan yang tertulis, tapi juga segala norma-norma yang tidak tertulis.

Bagi masyarakat yang demikian, konsep penyelesaian yang bartumpu pada kemanfaatan hukum (misalnya konsep-konsep penyelesaian sengketa berbasis antropologi), justru dianggap tidak dapat memberikan kepastian hukum.

Di samping itu, konsep keadilan dekat dengan konsep kemanfaatan. Konsep keadilan bertumpu pada konsep utilitis Jeremy Bentham yang mengungkapkan bahwa hukum haruslah memberi keadilan dan kebahagiaan bagi rakyatnya. Hukum yang tidak memberikan keadilan bukanlah hukum. Dalam hal ini, konsep keadilan juga menjadi bahan debat yang tidak pernah berhenti pada tataran filsafat hukum.

Berbagai gambaran di atas, pada dasarnya menjadi catatan penting bagi kita betapa kegelisahan masyarakat awam yang ingin melihat hukum ternyata tidak sesederhana yang mereka bayangkan. Pertanyaan di awal tulisan ini, ”mengapa kalau koruptor dihukum ringan, sedangkan pencuri sandal dihukum berat” adalah cermin bahwa betapa masyarakat ingin melihat hukum sebagai konsepnya yang awam, yang sederhana. Pertanyaan tersebut sekaligus memperlihatkan masyarakat bertumpu pada hukum untuk memberikan keadilan bagi mereka, dan tidak ingin penjahat kelas teri dihukum berat dan kelas kakap dihukum ringan.

Leave a Comment