Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA), dalam keseharian memanggil Teungku Dr. Muhammad Adli Abdullah, S.H.,MCL (Teungku Adli), dengan lakap Teungku Kupiah Singet. Sebutan ini, saya menduga terkait dalam dua pemahaman. Pertama, kebiasaan Teungku Adli yang bisa jadi tidak menjadi perhatian semua orang pada cara ia menggunakan kopiah. Ia sudah menjadi kebiasaan dalam menggunakan kopiah dalam posisi miring. Kedua, dalam makna lapis kedua, orang yang menggunakan kopiah miring di kepalanya, sering dianggap sebagai orang yang tidah tahu apa-apa.
Kedua cara memahami di atas, bisa jadi akan ditafsir lain oleh orang-orang yang dekat dengannya. Saya tahu Teungku Adli memiliki banyak teman, baik yang dekat atau mereka yang kemudian menjauh. Saya yakin semua orang akan mengalami dinamika dalam hidupnya. Jamak terlihat, orang yang penting di satu waktu, akan banyak merapat orang untuk mengelilinginya. Persis seperti semut yang mencari gula. Pelan-pelan, ketika posisi penting itu menjadi berkurang, akan diikuti pergerakan orang yang semakin menjauh tadi.
Pergerakan orang, bagi saya bukan soal ruang. Tapi kompleksitas interaksi dan hubungan. Bisa jadi orang yang jauh itu, secara fisik ada di sekitar kita. Seseorang ada di samping kita, namun tidak bermakna bagi yang bersangkutan. Belum lagi orang-orang yang ada di sekeliling kita, mendapat banyak pengetahuan dan informasi dan itu digunakan sebagai amunisi untuk memperlakukan sebaliknya.
Atas dasar itulah, klaim orang tahu terhadap sesuatu atau tidak, bukan karena penampilan semata. Soal tahu atau tidak informasi apa pun, di lain kesempatan saya menyiapkan tulisan yang bertemakan kucing di bawah meja. Kita sering terjebak untuk melihat penampilan seseorang dalam konteks memberi simpulan seseorang itu dari segi intelektual mapan atau tidak.
Satu kali saya menanyakan mengapa ia selalu menggunakan kopiah walau hingga ke ujung Indonesia. Rupanya ada kisah pertemuan murid dan guru. Saat mau berangkat ke Jakarta, ia menyampaikannya kepada Waled Bakongan. Dan pesan Waled waktu itu, agar Teungku Adli tidak pernah meninggalkan kupiah di kepalanya.
Teungku Adli pernah diamanahkan jabatan staf khusus Menteri Agraria dan Tata Ruang semasa Sofyan Jalil menjadi menteri. Sofyan berasal dari Aceh Timur. Namun jika dirujuk ke atas, neneknya berasal dari wilayah Jeumpa. Dari perjalanan karier sendiri, Sofyan tidak beranjak dari jaringan Aceh. Ia dekat dengan usaha grup Jusuf Kalla. Demikian juga dengan keberadaan Teungku Adli, berdinamika sesuai pengalaman lapangan yang didapatinya.
Ia menjadi koordinator kelompok relawan pendukung Jokowi di Aceh. Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP) Aceh. Posisi ini sangat berpengaruh dalam sejumlah kebijakan. Termasuk sejumlah proyek nasional yang pernah mau dicoret di Aceh. Pengalaman ini pula, yang membuatnya terus digunakan ilmu dan pengetahuannya ketika menteri sudah berganti. Sofyan Jalil digantikan dengan Hadi Tjahjanto –yang sebelumnya memegang jabatan Panglima Tentara Nasional Indonesia. Adli bergeser dari staf khusus ke tenaga ahli.
Saya sendiri mengenalnya belum lama. Orang yang sejak awal, seingat saya, sudah menggunakan kopiah. Tahun 1999, dalam pertemuan yang tidak terduga, berjumpa dengan orang yang namanya sudah sering saya dengar. Apalagi dengan statusnya waktu itu sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, dan saya sebagai mahasiswa.
Tengku Adli saya kenal memiliki tipe unik. Orang yang sudah dikenalnya, akan diajak untuk melakukan berbagai kegiatan bersama. Setidaknya dalam dua-tiga tahun sejak bertemu, ia mengarahkan saya pada sejumlah hal dan keilmuan. Termasuk kajian saya terkait hukum adat laut.
Bagi saya, nama Teungku Adli itu sangat penting. Setelah empat tahun, saya memilih merantau. Namun ia yang meyakinkan saya untuk pulang dan membantu publikasi berbagai kearifan lokal pada lembaga Panglima Laot di Aceh. Setelah tsunami, ia sengaja datang ke Jakarta dan meminta saya tidak memilih beraktivitas di Jakarta, melainkan pulang ke Aceh. Banyak hal yang harus dilakukan di Aceh. Begitu saya terus-menerus diyakinkan.
Setelah tsunami terjadi 2004, saya pulang ke Aceh pada hari keempat. Hari kedua kami berangkat dari Jakarta dengan mobil jenis sedan. Sepupu saya, pemilik mobil, pulang bersama kami karena sudah tidak ada pilihan lain. Pesawat sudah tidak ada tiket, bus-bus yang tujuan Medan dan Aceh juga padat. Tentara menyediakan transportasi pesawat, namun untuk tujuan Aceh dibatasi karena angkutan dibutuhkan untuk membawa berbagai bantuan.
Setelah seminggu di sana, saya kembali ke Jakarta untuk beraktivitas kembali. Ada dua hal yang saya lakukan. Kerja sebagai staf kontrak di gedung MPR. Selebihnya, ikut diskusi dan seminar, mencari semakin banyak teman dan menulis. Bagi saya, semakin banyak teman akan berimplikasi kepada makin banyaknya ruang untuk menulis. Setiap hari saya bergelut dengan dunia tulis-menulis ini.
Saya berangkat pada periode kedua status darurat militer diperpanjang, akhir 2003. Waktu itu saya ingin melanjutkan pendidikan tingkat magister dalam ilmu hukum. Saya mendaftar di Universitas Padjadjaran. Akan tetapi saat melihat pengumuman, tes masuk magister saya lewat, tapi kesempatan beasiswa pascasarjana tertutup bagi saya. Tanpa beasiswa, waktu itu, menyebabkan kuliah hanya jadi impian.
Saya menjumpai banyak dekan dan beberapa rektor, untuk meminta bantuan rekomendasi agar saya bisa mendapatkan beasiswa. Almarhum Dr. Hafifuddin, Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Malikussaleh, yang membuka pintu dengan terbuka. Di sana ada program hukum Islam. Beliau meminta saya mengajukan permohonan untuk menjadi dosen. Dengan bekal itu, saya mendaftar dan hasilnya, ternyata beasiswa juga tidak tembus.
Sejumlah pengalaman yang saya baca, sejumlah teman mengalami hal yang sama. Sulitnya mendapat kesempatan beasiswa pascasarjana, khususnya dosen dari kampus swasta. Situasi ini yang menyebabkan kuliah tertunda.
Saya berjumpa lagi dengan teman satu angkatan, Muhammad Insa Ansari, yang sekarang dosen di FH USK. Waktu itu, ia kuliah magister dan doktoral hukum di Universitas Indonesia. Ia pernah aktif dalam urusan hukum pada Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh. Ansari yang memperkenalkan saya dengan A. Malik Raden, Ketua Ikatan Alumni USK yang waktu itu sebagai anggota DPD. Dengan kepercayaan ini, beliau memfasilitasi saya masuk dan kerja pada bagian Kelompok DPD di MPR. Kelompok ini memiliki aktivitas utama melakukan kajian untuk memperbesar kewenangan DPD dalam kegiatan di MPR dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Dengan aktivitas ini, menyebabkan saya kenal dengan sejumlah orang. Porsi menulis yang paling saya porsil, karena setelah setahun di MPR, rencana saya akan kembali tes magister hukum dan fokus menulis. Namun keadaan berubah setelah bencana Aceh. Ketika memutuskan pulang ke Aceh, saya juga berhadapan dengan sejumlah saran untuk tinggal di Jakarta.
Berkenalan dengan Teungku Adli sendiri sudah lama. Saya ingat, sejak tahun 1999-an, ia mulai mencari-cari seorang mahasiswa yang tidak terkenal dan asal dari kampung. Sebab-musabab ternyata sangat sederhana. Dalam sebuah makalah yang dipresentasikan seorang akademisi Indonesia di Brussel, Eropa, ada satu footnote dalam makalah itu yang berisi laporan penelitian mahasiswa. Penelitian saya waktu itu, “Manajemen Pengelolaan Hukum Adat Laot dalam Kaitan Keberlanjutan Lingkungan di Aceh”.
Alasan ini yang membuat Teungku Adli mencari-cari saya di awal-awal. Kami tidak sempat bertemu. Saya ingat, kami berjumpa di tempat yang tidak saya duga. Saya memiliki famili dari garis kakek, seorang perwira tentara yang bertugas di Aceh. Kakek kami di Pante Raja punya banyak famili sepanjang jalur utara pesisir Pasie Lhok hingga Samalanga. Sepanjang itu, ada garis hubungan yang tidak mampu saya jelaskan. Nah, di rumah itulah, saya berjumpa. Teungku Adli saat itu, sedang membawa Umi Samalanga menjumpai famili yang dirinduinya itu.
Inilah pertama kali kami berinteraksi, terutama hubungan pengetahuan dan keilmuan. Sejak saat itu, kajian-kajian tentang hukom adat laot dilakukan mulai dari cara sederhana hingga publikasi yang luas. Sejak tahun 2001, Panglima Laot Aceh dikukuhkan, peran publikasi ini gencar dilakukan dalam rangka memperkenalkan kearifan lokal pesisir dan laut di Aceh.
Sejak awal menulis, isu tentang adat laot beberapa kali saya tulis. Saya ingat dalam beberapa kesempatan, Teungku Adli memperkenalkan saya sebagai penulis isu ini. Setiap pertemuan tentang adat dan kearifan lokal, kepada peserta, ia menceritakan saya sebagai mahasiswa yang berusia muda suka isu para orang yang sudah tua. Dalam pertemuan-pertemuan Panglima Laot, Teungku Adli selalu memperkenalkan orang-orang yang berkontribusi dalam publikasi hukum adat laot dan Panglima Laot kepada publik di Aceh. Bukan hanya saya, sejumlah wartawan yang ikut membantu isu-isu Panglima Laot diperkenalkan Teungku Adli dalam pertemuan-pertemuan Panglima Laot.
Setelah saya berangkat ke Jakarta, praktis interaksi hanya dilakukan melalui telepon atau email. Setiap pekan saya dikirim hal-hal yang berkenaan dengan adat laot dan nelayan. Tiada henti ia bersuara saat ada nelayan yang ditangkap di luar negeri. Ia selalu meyakinkan pejabat terkait, bahwa nelayan yang ditangkap itu sebagai nelayan kecil, dan mereka terbawa arus dan bukan unsur sengaja.
Menariknya setiap ia ke Jakarta berinteraksi isu-isu kenelayanan, selalu memberitahukan. Tidak setiap kesempatan saya bisa menemui Teungku Adli. Namun berbagai kepentingan yang saya sebutkan, membuat posisinya sangat penting bagi nelayan kecil. Bahkan saya memiliki dokumentasi berapa banyak dan dalam hal seperti apa nelayan-nelayan Aceh terdampar di sejumlah negara.
Perkenalan ini yang membuatnya merasa penting. Suatu kali, ia juga harus pergi dari Aceh, dengan alasan yang tidak usah saya ungkapkan di sini. Namun setelah tsunami, semuanya menjadi terbuka. Hal yang antara lain dilakukannya adalah menjemput saya yang sedang berada di Jakarta. Ia meyakinkan saya benar-benar agar tidak memilih beraktivitas di Jakarta. Saya harus pulang ke Aceh, dan begitu sampai di Aceh, saya ingat sekali, ia meminta Panglima Laot Aceh, HT. Bustamam, untuk memberi saya posisi sebagai tenaga ahli lembaga itu. Di pihak lain, saya merasa berutang besar kepada senior saya, Mustafa Ismail (wartawan Tempo), Fikar W. Eda (wartawan Serambi Indonesia di Jakarta), dan Azhari (sastrawan yang pernah dipercayakan sebagai redaktur budaya Harian Serambi Indonesia). Mereka bertiga sangat berjasa memperkenalkan kepada banyak penulis di Jakarta, untuk urusan sastra. Tidak jarang, mereka “menitip” saya kepada teman-temannya. Saat saya memberitahu akan pulang, Mustafa Ismail dan Fikar W. Eda meminta saya berpikir berulang-ulang dulu sebelum berkesimpulan, dengan alasan penulis dari Aceh juga dibutuhkan kehadirannya di Jakarta.
Begitulah lika-liku hidup. Saya memilih pulang. Sejak saat itu, secara formal saya berinteraksi di lembaga adat ini. Berbagai publikasi kami lakukan, bersama sejumlah teman, Teuku Muttaqin Mansur (akademisi FH USK, Helmi Hass (dulu wartawan Serambi Indonesia), Murizal Hamzah (Sinar Harapan, hingga wartawan dan penulis lepas), Hazairin (wartawan Waspada), Prof. Dr. Mohd. Harun al Rasyid (satu-satunya anak nelayan dan anak pawang yang berhasil mencapai derajat profesor). Sejumlah teman dari lembaga dan luar daerah, kami berinteraksi hingga sekarang. Mereka ada yang sudah berkeluarga di Aceh dan ada yang kembali ke kota masing-masing: Manado, Bogor, Jakarta, Demak, dan sebagainya.
Publikasi yang kami lakukan bahwa semua proses penting dan keterlibatan banyak pihak tidak mungkin diabaikan. Saat itu, posisi Teungku Adli sedang kuliah di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) di Bangi. Lama ia tidak sempat mengurusi pendidikan. Ia menyadari saat kesempatan sudah di ujung. Ia tidak mungkin melakukan banyak hal di tengah kesibukannya yang luar biasa.
Tahun 2010, kami memaksanya untuk kembali kuliah, dengan memberi fokus waktu secara baik. Hal ini didengar. Ia mendaftarkan diri di Universiti Sains Malaya (USM di Pulau Penang), hingga selesai pada tahun 2017. Pada kuliah kedua ini, tidak kami biarkan ia seorang diri. Isu yang ditulis itu kami bantu menjadi pendengar dan teman diskusi yang baik. Saat ia merasakan membutuhkan nalar dan berbagai penyelesaian konsep, kami harus hadir mendengarkan dan sejauh mungkin bisa memberikan berbagai pendapat terkait isu itu.
Begitulah. Satu tempat di Lamnyong, yang diberikan seorang familinya, sangat membantu tempat kami sering duduk sambil berdiskusi. Selain Dr. Teuku Muttaqin Mansur, ada Dr. Mukhlisuddin Ilyas dan Dr. KBA. Bukan hanya karya tulis Teungku Adli yang kami diskusikan, melainkan karya tulis saya juga dibedah dan didiskusikan di tempat ini. Berbagai hasil diskusi sangat berarti bagi usaha perbaikan dari karya kami masing-masing.
Ada hal lain yang dilakukan Teungku Adli saat membawa saya untuk menjadi bagian dari lingkungan kampus, dengan bantuan sejumlah pihak. Satu hal yang dia ungkap, adalah peluang untuk melakukan reproduksi karya keilmuan bisa dilakukan dengan nyaman di kampus.
Hal yang menarik, sebelum ia selesaikan secara tuntas pendidikan doktoralnya, ia masih sempat berpikir untuk mendirikan sebuah dayah di pinggiran Krueng Meurah, Batee Iliek. Kawasan Subung. Sejumlah Waled di Samalanga menyahuti ide ini untuk direalisasikan. Bersama Waled yang sekarang memimpin dayah, Teungku Adli secara bersama-sama membangun dayah di Subung ini.
Saya bersama istri sering berkunjung ke Subung, jika sedang di kampung. Atau saat lewat, saya menghubungi Teungku Adli dan Waled meminta izin singgah ke dayah.Teungku Adli dan Waled sepertinya punya visi besar membangun pendidikan Aceh, terutama pendidikan dayah. Dayah ini, sepertinya menjadi ruang pembuktian mereka untuk visi besar itu. Secara konsep, Waled menjadi salah satu tokoh agama yang saya kenal dengan orientasi mempertahankan pendidikan dayah lengkap dengan kurikulumnya. Tanpa bercampur dengan kurikulum umum.
Dari pinggir jalan raya, Medan-Banda Aceh, siapa pun bisa menyaksikan perkembangan dayah itu dilihat dari jauh. Bangunan yang terus bertambah. Dengan geliat semakin terasa sebagai kampung pendidikan dayah yang menjadi idaman Waled. Saya kira bukan hal mudah untuk mencapai titik akhir ini, saat dunia sedang berhadapan dengan banyak godaan. Secara khusus, hal ini saya ingatkan kepada Teungku Adli untuk terus-menerus secara makro berpikir untuk pendidikan.
Ada cerita yang menyentuh dari Subung ini, saat suatu kali saya dan istri berkunjung ke sana. Istri saya ada di dalam rumah Waled bersama Umi. Saat kami bertiga duduk di bale, Teungku Adli menyampaikan permintaan sederhana. Kalau akhir waktu hidupnya di dunia tiba, ia hanya ingin dikasih satu tempat kecil di sudut Subung sebagai lokasi makamnya.