Memperbaiki Kualitas Struktur

Ada banyak hal yang disebut dalam buku Lawrence M. Friedman (1969; 1975), The Legal System: A Social Science Perspective. Friedman adalah lulusan University of Chicago Law School, yang kemudian mengajar antara lain di Stanford University. …

Ada banyak hal yang disebut dalam buku Lawrence M. Friedman (1969; 1975), The Legal System: A Social Science Perspective. Friedman adalah lulusan University of Chicago Law School, yang kemudian mengajar antara lain di Stanford University. Tetapi di antara sekian banyak substansi yang disampaikan, hal yang paling direkam adalah elemen sistem hukum yang disebut dalam tiga: substance; structure, dan culture.

Apa yang diungkapkan tersebut, sejumlah kita menyederhanakan konsepnya yang sesungguhnya dalam. Apa yang disebut sebagai legal substance, langsung kita bingkai secara sederhana sebagai isi dari hukum. Dengan konsep dan varian yang beragam, hukum itu pun langsung menunjuk kepada konsep yang konkret berupa peraturan perundang-undangan. Sekedar catatan, bahwa Friedman yang hidup dalam sistem hukum berbeda dari bangsa kita, harus menjadi catatan tersendiri.

Begitu juga dengan legal strukture, kita sebut saja dengan lembaga penegak hukum, ada yang menyebut termasuk di dalamnya pranata hukum. Semua perangkat dan kelembagaan yang menentukan bahwa legal substance itu akan berjalan sebagaimana yang dicita-citakan. Hukum harus dijalankan, karena hukum yang hanya untuk dilihat-lihat saja, boleh sebut sebagai hukum yang mati. Saya teringat pada catatan Scholten tentang ini.

Selanjutnya tentang legal culture, yang dilihat sebagai apa yang dipikirkan oleh masyarakat pendukung hukum. Apa yang disebut sebagai budaya, adalah pemikiran dan ide yang mendukung pada pelaksanaan hukum.

Salah seorang guru saya, Barda Nawawi Arief, dosen pidana di Universitas Diponegoro, membandingkan apa yang disebut Friedman melalui substance, strukture and culture, dengan keberadaan sopir plus surat izin mengemudi, mesin, dan bensin sebagai satu rangkaian kebutuhan. Semuanya tidak bisa dipisah-pisahkan.

Dasar yang disebutkan Friedman ini, banyak digunakan para peneliti hukum yang melihatnya dalam ruang realitas. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, juga dominan mendasari dari apa yang diungkapkan oleh Friedman.

Saya teringat dalam satu kuliah Profesor Satjipto Rahardjo, yang menyebutkan bahwa substansi, struktur, dan kultur, ketiganya harus baik. Namun ia memilih struktur yang baik jika ada pilihan lain yang buruk. ia menganalogikan bahwa hukum yang buruk itu akan berpotensi baik di tangan struktur yang baik. Sebaliknya, hukum yang baik, berada pada struktur yang buruk, hasilnya berpotensi sekali akan buruk.

Saya hanya akan menajamkan apa yang disebut Profesor Satjipto Rahardjo itu, melalui realitas penegakan hukum dengan keberadaan para mafia hukum. Sejumlah sarjana hukum, termasuk mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana, khusus menulis tulisan yang berjudul “Mafioso”.

Secara kata, mafioso bisa diartikan dengan anggota mafia. Sedangkan mafia itu sendiri sebagai sebuah perkumpuhan yang bergerak di bidang kejahatan. Perkumpulan ini sering berhubungan dengan jalur-jalur struktur resmi, sehingga dikenal adanya mafia peradilan, dan semacamnya. Potret mafia peradilan bisa digambarkan sebagai sebuah kekuatan struktur formal yang bisa menggerakkan profesinya untuk membebaskan mereka yang bersalah. Upaya membebaskan ini sendiri tidak bebas dari kompensasi tertentu, yang umumnya selama ini dikenal adalah uang. Dalam banyak kasus yang terjadi, kompensasi bisa juga secara politik (semacam barter).

Dengan demikian, secara sederhana yang ingin digambarkan bahwa mafioso tidak bisa dipisahkan dari fenomena perselingkuhan antara para penegak hukum dan profesi yang terkait dengannya sebagai struktur mulia, dengan para pencari penjahat yang ingin terbebas dari kasusnya.

Banyak terjadi kasus semacam ini. Mereka yang mengungkap juga banyak. Tinta yang satu belum kering mengungkap ada orang yang seharusnya sedang berada di tahanan, tiba-tiba difoto sedang makan di restoran mewah bersama anggota keluarga besarnya. Seperti tidak takut terendus oleh publik. Bahkan mereka yang seperti itu, berada di tempat-tempat yang bisa dijangkau oleh publik secara keseluruhan.

Saya tidak bisa membayangkan, seseorang yang ditahan dengan kasus sangat penting, tiba-tiba keluar berita suratkabar, orang itu sedang jalan-jalan di Singapura, atau malah sedang nonton pertandingan tenis lapangan berlevel internasional. Bukankah seharusnya sudah diperkirakan dalam ruang publik semacam itu, peluang untuk ditemukan sangat besar, walau dengan memakai rambut dan kumis palsu?

Banyak kelonggaran didapat oleh mereka yang sedang didakwa kasus kriminal, diberikan oleh oknum-oknum penegak hukum. Sekali lagi bahwa pemberian kelonggaran ini, sangat sulit dipercaya jika tidak ada kompensasi. Belum lagi apa yang mereka dapat selama dalam tahanan dan lembaga pemasyarakatan? Orang-orang tertentu bisa menikmati berbagai fasilitas berkelas, dengan berbagai fasilitas di dalamnya. Sangat miris ketika membandingkan dengan tempat diberlakukan dan ditahan mereka yang melakukan kejahatan kelas teri. Suratkabar menyebutkan denga istilah fasilitas bintang lima.

Setelah ditelusuri, kompensasi itu yang didapat secara bergerombol, ada juga yang didapat secara pribadi. Secara bergerombol, karena ternyata sejumlah tagihan yang seharusnya sudah dibayar negara, kenyataannya dilunaskan oleh mereka yang mendapat fasilitas bintang lima itu. Bayaran uang kepada oknum-oknum penegak hukum, selama ini paling banyak ditemukan kasus.

Di luar sana publik kelas bawah menyebut orang yang sering tidak tahan ketika berhadapan dengan tumpukan uang. Mata ijo. Godaan atas nama uang sering membuat orang seketika mabuk dan mau melakukan apa saja, termasuk dalam hal yang disebut di atas. Sebenarnya pada posisi ini, para oknum sendiri sedang menempatkan dirinya pada kelas yang sangat rendah. Mereka sudah mendapatkan berbagai fasilitas dari negara, masih bersekutu untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari orang yang seharusnya dihukum maksimal oleh negara melalui alat-alatnya.

Maka tidak mengherankan, ketika orang-orang yang terkenal jahat karena perilakunya, namun tetap mendapat perlakuan istimewa. Ketika mendapatkan kasus-kasus semacam ini, sesungguhnya negara bukan saja sedang ditampar oleh oknum-oknum di dalamnya, melainkan juga sedang dibuat hina dalam lubang yang dalam.

Saat melihat realitas ini, terus terang saya teringat pada apa yang pernah diungkapkan Profesor Satjipto Rahardjo, bahwa hukum yang baik, di tangan struktur yang buruk, lebih besar berpeluang buruk dibandingkan baik.

Leave a Comment