Berkhidmat dengan Kajian Adat

Ketika menulis tentang Dr. Teuku Muttaqin Mansur, saya teringat pada tiga hal. Pertama, usahanya untuk menyambung semangat hukum adat, sepertinya tidak bisa diragukan. Usaha aktifnya selama ini, membuahkan banyak hasil. Universitas Syiah Kuala (USK) sendiri …

Ketika menulis tentang Dr. Teuku Muttaqin Mansur, saya teringat pada tiga hal. Pertama, usahanya untuk menyambung semangat hukum adat, sepertinya tidak bisa diragukan. Usaha aktifnya selama ini, membuahkan banyak hasil. Universitas Syiah Kuala (USK) sendiri berhasil melaksanakan sejumlah even, termasuk membina hubungan dengan lembaga yang berkaitan dengan pengembangan hukum adat.

Kedua, saya juga teringat pada usahanya memperkenalkan kopiah Aceh. Kopiah dengan warna dasar kuning dan hitam, kini menjadi penanda penting bagi Aceh. Ketika kopiah ini diperkenalkan, banyak orang mencibir. Apalagi saat ia mempelopori dan mengkampanyekan secara masif. Orang lain mengira seolah ini urusan bisnis. Ketika tercapai hasil, orang baru sadar bahwa penanda Aceh mesti digerakkan penggunaannya. Orang tidak merasa canggung ketika menggunakannya. Ia sendiri membuktikan kemana pun menggunakan kopiah ini.

Ketiga, hal yang lebih penting, saya kira sebagai pimpinan di Unit Pengelola Teknis (UPT) Mata Kuliah Umum (MKU), ia telah menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Ia menerobos sejumlah hal penting dalam pengelolaan akademik MKU. Dengan kreativitasnya, ia berhasil melaksanakan banyak kegiatan yang tidak mengeluarkan anggaran yang berarti. Sejumlah pembicara bisa diundang dengan bekal silaturrahmi dan pertemanan. Hal lain karena ia sangat intens berkomunikasi dengan berbagai pihak, terutama untuk menyelesaikan hal-hal yang terkait akademik.

Saya ingin memberi fokus pada MKU ini. Tidak mudah mengelola ratusan kelas mahasiswa semester awal yang masuk ke Universitas Syiah Kuala. MKU persis seperti beranda depan bagi mahasiswa baru yang akan menyelesaikan kuliahnya di kampus ini. Proses yang dilakukan di beranda ini sangat penting dan menentukan dalam berbagai aktivitas selanjutnya.

Tidak berlebih jika saya sebut bahwa sejumlah hal, ia berhasil menampakkan perkembangan menggembirakan bagi banyak pihak. Bagi saya, berbagai aktivitas ini bukan sesuatu yang mudah.

Atas catatan ini, jelas Doktor Teuku Muttaqin Mansur, bagi saya sangat berbeda dengan sejumlah anak muda lain yang sejawat dengannya. Setidaknya dari semangat dalam mencapai target sesuatu ke arah yang lebih baik. Apalagi dengan mentalitas yang saling mendukung dan menganggap semua orang punya peran masing-masing.

Sebelumnya saya melihat semangatnya yang menggebu saat menyelesaikan kuliah. Tampak pada cita-cita untuk menyelesaikan jenjang pendidikan hingga doktoral, yang tidak mudah dimiliki semua orang. Suatu waktu kami saling bercerita, dan ini sangat serius serta tidak dibuat-buat. Katanya, untuk menyelesaikan sarjana saja, anak-anak kampung seperti kami ini sudah bersyukur, apalagi bisa sampai menyelesaikan hingga level tertinggi.

Pilihan untuk kuliah, selama ini, saya kira bukan pilihan sederhana. Mungkin karena bukan pilihan yang sederhana ini, membuat pilihan ini tidak menarik bagi banyak orang. Besarnya pengorbanan yang harus ditempuh, menjadi alasan lainnya. Saya merasakan semangatnya yang menggebu dalam mencapai target ini.

Saya sudah mengenalnya lama. Ada satu permintaan yang tidak tertunaikan waktu ia masih mahasiswa sarjana Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry. Ia sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa. Saya diundang untuk memberi materi bagi mahasiswa baru Jurusan Siyasah Fakultas Syariah. Acara ini menandai akhir dari proses pengenalan mahasiswa baru. Acara dilaksanakan di pinggir Banda Aceh. Kapasitas saya sebagai Ketua Umum Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) diundang bersama Ketua Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMUR), Kautsar (mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dari Partai Aceh, yang sekarang menjadi salah satu sekretaris di DPP Partai Demokrat).

Waktu itu saya belum memiliki motor. Orang kampung saya yang kuliah di Fakultas Ekonomi dan tinggal di Krueng Sabe, sering meminjamkan motor Honda 800 untuk saya pakai hari-hari. Namun entah mengapa, hari itu ia sedang ada di Banda Aceh. Tidak ada alternatif lain, juga tidak tersedia alat komunikasi, selain saya memutuskan tidak menghadiri dan membatalkan secara sepihak. Dari adik saya yang juga kuliah di Fakultas Syariah waktu itu, diceritakan nama saya sudah terlanjur diceritakan menggebu-gebu bagi mahasiswa baru itu.

Saya tidak tahu persis mengapa saya yang dipilih untuk mengisi acara. Satu yang pasti, kami tinggal di tempat yang sama. Di sana kamis berdikusi tidak terbatas. Semua hal, mulai dari cerita kampung, hingga cerita orang-orang kampung. Mulai cerita bagaimana kepahitan orang-orang kampung secara politik dan ekonomi, hingga bagaimana gerakan mahasiswa yang kembang-kempis berhadapan dengan zaman yang tidak menentu.

Politik represif. Keamanan tidak stabil. Efeknya kemana-mana. Ruang-ruang kuliah tidak bisa berlangsung normal. Proses pendidikan tidak bisa berlangsung secara optimal. Satu hal serius yang kami turut gelisahkan dari kondisi daerah semacam ini adalah generasi yang berpendidikan mengalami keterancaman.

Saat masih konflik (tahun 2000-an), sekali waktu diundang ke rumahnya. Entah Anda bisa membayangkan bagaimana kondisi Beuracan waktu itu. Kalau dengan gampong saya jauh beda. Kecuali Pante Raja secara keseluruhan, kondisi konflik mungkin sedikit mirip Beuracan. Pante Raja memiliki akses “jalan lingkar”, dari sepanjang Beuracan, Puduek di Kecamatan Trienggading, lalu dari Pante Raja menuju Cubo hingga Jiem-Jiem Kecamatan Bandar Baru.

Kondisi konflik yang menyebabkan Teuku Multazam (alumni magister teknik Universitas Sepuluh November Surabaya, turut mengajar sejumlah mata kuliah pada program diploma Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, dan sekarang sudah menjadi dosen tetap Fakultas Teknik Universitas Malikussaleh), adiknya Teuku Muttaqin, harus lebih cepat ke Banda Aceh, sebelum kuliah sarjana. Berbagai godaan dan hal-hal di luar nalar berlangsung di kampung. Saya bisa menangkap maksud bagaimana keluarga ini berusaha anaknya harus mencapai sarjana. Konflik sering membawa seseorang tidak mampu menyelesaikan pendidikannya dengan baik.

Saya ingat persis untuk sampai ke Beuracan, waktu itu, tidak peduli untuk kepentingan menghadiri hajatan khawuri atau kepentingan lain, tetap akan diperiksa menurut standar yang sama oleh pos polisi maupun pos tentara. Standar ini yang saya kira dirasakan hampir semua orang waktu itu. Tidak hanya saat masuk kampung, bahkan sepanjang jalan nasional, pemeriksaan tetap ada.

Saya punya tanggung jawab lebih waktu itu karena dipercayakan teman-teman untuk mengurus Asrama Mahasiswa Kabupaten Pidie di Banda Aceh, sebelum kabupaten ini pisah dengan Pidie Jaya. Pada saat yang sama, sejumlah jabatan lain dipercayakan. Koordinator Pos Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia Forum Komunikasi Generasi Muda Pidie (Fokusgampi), Ketua Umum MPM Unsyiah, dan Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum. Atas berbagai amanah itu, sewaktu-waktu dapat undangan entah acara apa, menjadi beban tersendiri jika tidak dihadiri.

Menghadiri undangan ke Beuracan, antara lain karena alasan “terpaksa” ini. Tetapi kami lakoni. Saya dan teman-teman dengan menyewa minibus, sering memenuhi undangan semacam ini. Bahkan ke lokasi-lokasi lain, seperti Tiro, Tangse dan Geumpang, yang ada teman kami dan mengundang saat ada hajatan, kami usahakan hadir. Sejumlah kegiatan pengabdian yang dilaksanakan saat itu, juga mengalami sejumlah masalah yang tidak sederhana.

Setelah sekian lama, saya pribadi baru merasakan betapa efek konflik turut menempa kita termasuk dalam hal kesetiaan kita terhadap orang-orang yang kita kenal. Pelajaran ini pula yang diberikan orang tua kami dulu, bahwa silaturrahmi itu memiliki implikasi dan semangat yang luar biasa dalam kehidupan manusia.

Saat di rumah Teuku Muttaqin, orang tuanya Teungku Teuku Mansur berbincang dengan anak muda seperti saya. Hingga sampai pertanyaan dimana kampung hingga anak siapa. Rupanya, abu saya, Teungku Umar Achmad, memiliki hubungan yang baik dengan ayahnya. Komunikasi yang memungkinkan satu sama lain mengetahui informasi yang demikian. Saya dapat kabar, ayahnya itu alumni dari pelatihan Pelajar Islam Indonesia (PII).

Sesama orang tua yang saling bertemu dalam sejumlah kesempatan. Sewaktu saya kecil, sejumlah orang politik mengantar baju partai politik yang warna warni itu. Sekarang baru saya paham betapa tarikan untuk terjun ke politik terhadap orang-orang seperti orang tua saya ternyata kuat sekali. Baju-baju di lemari setelah abu saya meninggal, saya menemukan sebagai saksinya.

Sama seperti apa yang dilakoni Teuku Muttaqin, kami yang berasal dari kampung mengalami kendala yang sama. Mungkin Teungku Mansur Beuracan sudah lama berpesan terhadap anaknya, bahwa kewajiban mereka hanya mampu menyekolahkan anaknya hingga sarjana. Sementara untuk level selanjutnya, anak-anaknya yang harus berpikir sendiri.

Ampon Muttaqin ini sangat kreatif. Ia sadar dari awal bahwa pendidikan selepas sarjana tidak mungkin lagi berharap dari orang tua. Apalagi ayahnya meninggal dan menjadi korban tsunami, saat cita-cita magister hukum belum diselesaikan. Praktis ia berpikir sendiri untuk sekolah.

Pilihan sulit ia kembali ambil saat meneruskan pendidikan doktoral. Ia sudah diterima dan mendapat beasiswa pascasarjana di Universitas Brawijaya. Ia bahkan sudah melakoni pendidikan matrikulasi. Namun kondisi ibunya tidak memungkinkan ia berada terlalu jauh. Ia rembug dengan sejumlah teman, termasuk Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Teungku Muhammad Adli Abdullah, dan saya. Akhirnya ia memilih jalan lain untuk kuliah di tempat yang lebih dekat. Pilihannya waktu itu adalah Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Di sanalah ia meraih doktor hukum, dari Fakulti Undang-Undang.

Sebagai wujud dari komitmennya mengembangkan hukum adat, ia meneliti peradilan adat yang tidak banyak mendapat perhatian akademikus. Dengan modal ini, ia ingin memperkenalkan betapa harmoni itu sangat penting dalam ruang-ruang sosial kita. Ia bia mempertahankan disertasinya dengan baik dalam ujiannya.

Saya dan keluarga sering merepotkannya saat bolak-balik ke Kuala Lumpur. Maklum, saat itu, saya juga sedang berusaha menyelesaikan doktoral di Universitas Diponegoro. Menariknya, ketika berangkat atau pulang dari Semarang ke Banda Aceh, saya lebih sering memilih jalur Kuala Lumpur (dengan Air Asia). Selain harganya yang murah, pelayanan dari penerbangan ini juga lumayan baik, waktu itu.

Atas alasan itulah, saya merasakan kuliah itu bukan pilihan yang sederhana. Ketika kuliah doktoral itu, saya bisa merasakan perjuangannya tidak mudah. Teuku Muttaqin turut berpikir untuk banyak orang di sekelilingnya. Tak hanya pendidikan sendiri, ia juga turut berpikir bagaimana kuliah sarjana dan magister adiknya, Teuku Multazam, selesai juga.

Dengan biaya pendidikan yang tidak sedikit, sebagian juga ia pikir sendiri. Ia mendapat bantuan pendidikan Aceh, namun rasanya tidak semua hal bisa dibiayai dengan jumlah dana yang terbatas. Sewaktu ia kuliah, berkali saya jalan-jalan ke Kuala Lumpur dan “numpang” istirahat di rumah sewanya. Saya bisa merasakan bagaimana pengorbanan dalam menekuni pendidikan.

Ada banyak kenangan yang terawatt dengan baik. Ada kenangan yang bisa dibuka dan tidak sedikit, hanya kami yang merekamnya dalam ingatan. Mengunjungi pustaka yang pelayanan di atas rata-rata, menjadi tempat yang paling menarik. Masalahnya ketika makanan tidak terkontrol saat di seberang, saya pernah merasakan asam urat naik. Penyakit sederhana namun saya harus membuka sepatu saat berjalan kaki keluar dari pustaka. Jalan kaki menuju tempat pemberhentian bus.

Dalam sejumlah kesempatan, jika saya berangkat ke sana sendiri, selalu menumpang di rumah sewanya. Ternyata sejumlah teman, juga sering mendapat tumpangan di tenpat yang sama. Rumah yang terbuka, yang katanya, dibiayai dari setengah beasiswanya.

Saya ingin berbagi hikmah, bahwa tidak mudah menemukan anak mudah yang bisa berjuang secara paripurna semacam ini. Saat kondisi daerah tidak menentu, lalu orang tuanya menjadi korban tsunami, saat menempuh pendidikan lalu ibunya meninggal, terus membantu adiknya.

Saat duduk-duduk ngopi, satu hal yang paling membekas di batin saya. Katanya, tidak ada harta yang paling berharga selain meraih semua kesuksesan pendidikan itu dengan jalan yang lurus.

Saya ingin berbagi kisah ini untuk sebanyak mungkin anak muda yang akan menempuh pendidikan. Sungguh tidak ada yang sia-sia dari sebuah perjuangan untuk mencapai derajat pendidikan kita. Jangan pernah takut akan terhenti di jalan yang tidak semestinya. Perjuangan untuk mendapatkan pendidikan dengan baik, akan mendapat ganjaran besar sebagai kompensasinya.

Leave a Comment