Berusaha Memahami Kisah Orang Kecil

Rasanya tidak perlu mengatasnamakan orang lain. Seorang yang saya kenal, rela menelusuri dan merasakan suasana kampung terpencil, bukan karena ingin mengungkapkan kepada orang-orang mengenai mereka yang tinggal di sana. Melainkan hanya sekedar merasakan bagaimana terjepitnya …

Rasanya tidak perlu mengatasnamakan orang lain. Seorang yang saya kenal, rela menelusuri dan merasakan suasana kampung terpencil, bukan karena ingin mengungkapkan kepada orang-orang mengenai mereka yang tinggal di sana. Melainkan hanya sekedar merasakan bagaimana terjepitnya hidup dan kehidupan mereka. Sepulang dari tempat itu, ia berharap banyak bersyukur karena kondisi tempatnya tinggal mudah dalam segala urusan.

Soal akses menjadi hal yang krusial. Mereka yang tinggal di tempat terpencil, tidak dengan mudah bisa mencapai sesuatu. Termasuk dalam hal bagaimana mereka memenuhi kebutuhan pokok. Ada keuntungan bagi mereka, dengan sangat optimal memanfaatkan segala yang tersedia di alam dalam kehidupannya. Tidak ada yang tidak bisa dalam kehidupan mereka. Sebaliknya, kita semakin hari semakin banyak mengeluh.

Dengan kondisi kita yang meriah, masih banyak mengeluh karena tidak semua fasilitas sudah kita peroleh. Seorang yang saya kenal di atas, tempat saya sesekali bercermin, tidak perlu mengurut dada saat semua hal belum tersedia. Ia sering membandingkan bagaimana tempat-tempat yang pernah ia kunjungi, yang sangat minim fasilitas.

Suatu pagi saya berkesempatan bertatap muka dengan orang yang tinggal jauh. Dalam satu seminar yang memperbincangkan perlindungan guru daerah terpencil dan pulai kecil, saya bertemu dan berdiskusi dengan orang daratan yang menjadi guru di wilayah kepulauan. Orang yang berasal dari pesisir timur, namun mendapat tugas untuk mengajar di kawasan pulau bagian barat Indonesia –wilayah yang berdampingan langsung dengan Samudera Hindia.

Ada dua hal yang sangat menarik bagi saya. Pertama tentang akses ke sana. Kedua mengenai kondisi infrastruktur, termasuk fasilitas sekolah yang sangat minim sekali. Terus-terang, mendengar cerita begitu, membayangkan saja sudah membuat saya harus surut beberapa langkah. Tetapi untuk orang-orang yang bersemangat untuk mencerdaskan anak bangsa di kawasan-kawasan begitu, harus diangkat salut.

Apa yang ada di benak kita, melihat belum semua daerah terjangkau listrik. Untuk mengirim pesan pendek saja harus datang ke tempat tertentu yang ada signalnya. Belum lagi ketika memiliki beberapa kartu anjungan tunai mandiri, namun tidak bisa dipergunakan karena tidak ada bank yang ada ke sana. Untuk berbagai fasilitas, mereka harus keluar naik perahu mesin yang hanya mampu dilakukan beberpa kali dalam seminggu. Tidak mungkin setiap hari karena semua harus diukur dengan kemampuan ekonomi mereka.

Ia tidak masalah dengan semua kesulitan hidup yang dialami. Masalahnya adalah ketika berada di sekolah, ia merasakan kemampuan anak didiknya yang biasa-biasa saja. Ia termasuk guru yang ingin, suatu waktu menyaksikan ada anak didiknya yang sewaktu wisuda dipanggil ke depan sebagai sarjana dari wilayah pulau. Memiliki kualitas tinggi. Namun ia sendiri meragukan itu. Katanya, tidak mungkin dengan fasilitas yang tersedia.

Pesannya sederhana, ia ingin pejabat mengetahui persis berbagai kekurangan di kawasan terpecil dan pulau. Dengan memahami kondisi masa kebijakan juga akan berubah. Tidak boleh menganggap semua masalah sama antara satu daerah dengan daerah lain, atau antara daratan dengan pulau. Fasilitas yang berbeda akan melahirkan semangat belajar yang juga berbeda. Hal ini yang harus dipahami secara utuh oleh siapa pun.

Untuk mendapatkan kualitas yang sama, guru ini tidak ingin mendapat banyak kompesasi kepada anak didiknya. Ia juga berharap anak didiknya akan berhasil berkompetisi dalam semua hal pendidikan. Bukan karena orang pulau, lalu meminta semua dimudahkan. Tidak demikian. Namun pencapaian kondisi itu ada syaratnya. Sekolah yang di sana memiliki fasilitas yang paling tidak mendekati wilayah daratan. Seandainya dengan fasilitas demikian, kemudian kualitas juga tidak berubah, maka guru dan pihak sekolah menjadi patut dipersalahkan.

Guru yang saya kenal waktu itu, sudah sebelas tahun mengajar. Hanya bisa pulang maksimal dua kali dalam setahun ke kampung halamannya. Ia ingin yang mengajar nanti ada anak didiknya dari wilayah itu. Tidak lagi orang dari daerah lain. Bayangkan dengan kondisi itu, guru tersebut masih bercita-cita demikian, mengapa kita yang tinggal di tempat normal, di kampung halaman sendiri, justru tidak bisa bercita-cita yang lebih besar dan lebih hebat dari itu?

Leave a Comment