Memesinkan Manusia dan Memanusiakan Mesin

Mesin, barangkali bisa mewakili kepentingan yang cepat, tepat, dan tidak ada perlawanan. Dengan mesin, rumus tinggal dimainkan. Ingin menggunakan ukuran tertentu, berhasil melaksanakan sekian dalam waktu yang ditentukan, lalu tinggal klik tombol, semua dijalankan. Tidak …

Mesin, barangkali bisa mewakili kepentingan yang cepat, tepat, dan tidak ada perlawanan. Dengan mesin, rumus tinggal dimainkan. Ingin menggunakan ukuran tertentu, berhasil melaksanakan sekian dalam waktu yang ditentukan, lalu tinggal klik tombol, semua dijalankan. Tidak ada kebutuhan makan dan minum. Tidak ada berbagai biaya yang harus dikeluarkan, selain untuk kebutuhan perbaikan dan perawatan.

Berbeda dengan manusia, yang banyak sekali kebutuhan. Belum lagi banyak sekali permintaan. Dari tahun ke tahun, berbagai kebutuhan meningkat. Belum lagi masalah komunikasi antara pemberi tugas dengan yang melaksanakannya, tidak jarang terjadi bantah-bantahan.

Perbandingan demikian, hanya melihat dari sisi praktis. Tidak dari sisi lain. Sehingga mesin dianggap sebagian pihak, dapat menyelesaikan banyak hal. Hanya butuh sejumlah orang yang mengoperasionalkan saja. Selebihnya akan dilaksanakan oleh mesin. Apakah persoalan sesederhana itu?

Sejak abad pertengahan, pertanyaan semacam itu sepertinya sudah muncul. Menggunakan mesin untuk mengganti banyak peran manusia. Terlalu banyak yang harus diperhitungkan dengan menggunakan tenaga manusia. Dalam hubungan kerja, manusia dianggap terlalu banyak kebutuhan. Selalu menuntut bayaran lebih. Waktu yang tidak efektif. Tenaga yang tidak selalu siap sedia. Bahkan yang lebih sulit, kondisi jiwa berpengaruh kepada peningkatan kinerja. Penggunaan mesin dianggap akan lebih hemat dan efektif, ketimbang tenaga manusia.

Ada yang dilupakan dari logika demikian, bahwa berhadapan dengan mesin justru mematikan jiwa kemanusiaan orang sebagai manusia. Menggunakan tenaga manusia justru –seyogianya—mendidik kita untuk menghargai bagaimana manusia itu. Perbedaan yang sangat terasa ketika seseorang berhadapan dengan mesin.

Wujud lain kontestasi ini, saya belajar dari suatu kali berbelanja di satu pusat pertokoan kota. Di sini, pemilik toko menjadikan tenaga kerja beberapa orang untuk menyambut para tamu. Sesiapa yang datang, akan ditawarkan untuk masuk ke toko miliknya. Tugas tenaga kerja tersebut, mungkin kita anggap sesederhana ini. Mereka tersenyum dan merayu calon pelanggan. Tentu, senyuman itu harus keluar dengan proses yang rasional. Senyuman pahit justru akan menjauhkan calon pelanggan.

Ungkapan yang sering terdengar ketika kita melewati pertokoan semacam ini adalah: mari bapak, silakan masuk, lihat-lihat dulu, kami punya produk baru yang menarik, kualitas super dengan harga yang terjangkau. Mari pak, silakan.

Tugas tenaga yang di depan, mengajak pelanggannya masuk. Seyogianya ketika sampai di dalam, ada urusan yang lain lagi. Calon pelanggan akan membeli atau tidak ketika sampai di dalam toko, menjadi urusan yang lain lagi. Ketika berhasil membawa calon pelanggan masuk ke dalam toko, baginya, satu tugasnya sudah selesai.

Ketika mengunjungi lagi pertokoan itu untuk kali lain, suasana tampak berubah. Sudah tidak ada lagi tenaga yang biasanya ada di depan. Orang-orang yang dahulu mempersilakan pelanggan untuk masuk, kini sudah digantikan dengan suara mesin. Suara yang mengundang dan berulang-ulang meminta calon pelanggan untuk masuk dan melihat barang yang mereka punya. Sedangkan mereka hanya menyediakan tenaga yang di dalam saja.

Ini pula yang dilakukan manajemen angkutan. Dahulu untuk memberitahukan apapun dilakukan oleh suara manusia secara langsung. Kini, semuanya sudah diubah. Untuk informasi apapun, tinggal diputar-putar suara yang sudah direkam, dengan kualitas dan tekanan suara yang selalu sama –sesuatu yang bisa berubah-ubah dilakukan oleh manusia. Tidak masalah lagi berapa ribu kali akan disampaikan informasi kepada penumpang dan pelanggan. Manusia hanya tinggal menekan tombol tertentu, dan apa yang mau disampaikan segera tersampaikan dengan kualitas yang sama.

Tentu ada keuntungan tertentu yang diperoleh oleh mereka, dengan cara demikian. Namun bukan berarti tidak ada kerugian. Hal terbesar yang menjadi kerugian terbesar bagi mereka adalah mengabaikan proses memanusiakan manusia sebagai manusia secara sempurna.

Kenyataannya, proses pemanusiaan manusia sebagai manusia secara sempurna, yang membuat hidup dan kehidupan semakin berarti dari waktu ke waktu. Tidak usah terlalu risau.

Leave a Comment