Menyamakan Titik Pandang

Saya tidak bisa membayangkan saat menemui sejumlah orang yang ingin diwawancarai di lapangan, tidak memahami pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Lebih parah, pertanyaan-pertanyaan yang tidak dipahami itu, dipaksa dijawab dan menggambarkan seolah-olah mereka tahu masalah. Lalu apa …

Saya tidak bisa membayangkan saat menemui sejumlah orang yang ingin diwawancarai di lapangan, tidak memahami pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Lebih parah, pertanyaan-pertanyaan yang tidak dipahami itu, dipaksa dijawab dan menggambarkan seolah-olah mereka tahu masalah. Lalu apa yang dijawab itu, dibawa pulang peneliti untuk dianalisis dan ditulis dalam laporannya dan secara berjenjang hasil ini bisa jadi akan digunakan untuk berbagai kepentingan. Penelitian yang berbasis pada kepentingan kebijakan, tentu akan digunakan dalam rangka menyusun kebijakan tertentu yang dibutuhkan.

Penelitian yang bertumpu pada observasi juga demikian. Apalagi untuk observasi yang terlibat. Seorang peneliti harus berangkat dari pemahamannya dalam melakukan apa yang dilakukan oleh pihak yang diobservasi. Tidak mungkin melakukan sesuatu yang dilakukan orang lain, sedangkan kita tidak memahaminya. Proses ini hendaknya diawali dengan proses belajar. Tujuannya agar apa yang diobservasi dengan apa yang ditangkap oleh observer, berada dalam frekuensi yang sama.

Saat melakukan wawancara, saya biasanya memastikan keadaan ini. Saya berusaha memastikan bahwa apa yang saya tanya itu dipahami oleh orang tersebut. Keliru dalam memahami pertanyaan, berkemungkinan salah dalam memberi jawaban. Inilah yang saya sebut agar penanya dan orang yang ditanya berada dalam frekuensi yang sama.

Jika ada orang yang baru, proses ini terkesan menggurui. Kita menjumpai orang-orang tertentu untuk kepentingan penelitian, apalagi jika lokasi jauh dari tempat tinggal kita, akan membutuhkan waktu dan biaya untuk menjumpai kembali hanya gara-gara tidak nyambung rasa.

Dalam konteks inilah, saya kira menyamakan frekuensi sangat dibutuhkan. Secara umum, konsep ini akan dibangun sejak dari awal, apakah penelitian akan dimulai dari temuan lapangan atau dimulai dari teori. Sejumlah penelitian yang saya lakukan, khususnya penelitian hukum, bertumpu pada cara berpikir induktif. Peneliti terjun ke lapangan, akan mengutamakan berbagai makna, berbasis persepsi. Hubungan peneliti dan yang diteliti adalah sejajar (equality), yakni antara subjek dengan subjek. Peneliti mencoba melakukan pemahaman latar belakang pemikiran dari tindakan subjek, dengan memperlakukannya sebagai narasumber.

Corak penelitian ini termasuk dalam tradisi kualitatif, yang termasuk dalam aliran non-doktrinal. Tradisi ini diharapkan dapat mengungkapkan makna simbolik dari para pelaku sosial. Dalam hal ini, Saya merujuk pada apa yang disampaikan Soetandyo Wignjosoebroto, dalam bukunya “Ragam-ragam Penelitian Hukum”. Menurutnya, penelitian nondoktrinal menempatkan hasil amatan atas realitas-realitas sosial untuk ditempatkan sebagai proposisi umum. Di sini yang dicari lewat proses searching and researching bukan dasar-dasar pembenaran berlakunya sesuatu norma, melainkan pola-pola keajegan maupun korelasi antara berbagai gejala yang memanifestasikan hadirnya hukum di alam kenyataan. Istilah nondoktrinal sendiri berlawanan dengan doktrinal, yang menunjuk pada ajaran hukum yang didasarkan pada premis bahwa hukum merupakan norma yang mengatur kehidupan masyarakat.

Apa yang disebut sebagai kualitatif, pada dasarnya menunjuk pada data kualitatif, ungkapan atau catatan orang atau tingkah laku yang terobservasi.

Jika berangkat dari pemahaman bahwa studi hukum itu memiliki dua corak, yakni konsep norma dan konsep realitas, maka pemahaman dan penyamaan titik pandang, sangat dibutuhkan dalam melihat hukum dalam ranah implementasi. Hukum sebagai subsistem yang tidak terbebas pengaruh-kaitannya dengan berbagai subsistem yang lain. Dalam konteks inilah, berangkat dari frekuensi yang sama dalam melihat apa yang ingin didalami, sebagai sesuatu yang penting bagi peneliti.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

[es-te, Selasa, 20 September 2022]

Leave a Comment