Cakap Serupa Bikin

Sekira beberapa hari terakhir, saya mendapat sebuah kiriman hasil riset, yang menggambarkan sejumlah negara yang memiliki posisi paling tinggi bagi pencapaian kebahagiaan negerinya. Maksud kebahagiaan ini sangat luas. Pemimpin negara yang berhasil memberikan kenyaman bagi …

Sekira beberapa hari terakhir, saya mendapat sebuah kiriman hasil riset, yang menggambarkan sejumlah negara yang memiliki posisi paling tinggi bagi pencapaian kebahagiaan negerinya. Maksud kebahagiaan ini sangat luas. Pemimpin negara yang berhasil memberikan kenyaman bagi warganya.

Dalam berbagai hal, pemimpin harus melakukan kewajibannya secara maksimal. Menjamin pelayanan publik benar-benar dilakukan, dan memastikan semua warga mendapatkannya dengan baik, tidak hanya terbatas pada warga yang sempurna, melainkan juga warga yang cacat. Selain itu, tingkat keamanan yang tinggi, sehingga warga yang keluar rumah tidak berhadapan dengan suasana yang menyeramkan. Begitu juga dengan penggunaan anggaran yang tepat, tidak menerima segala sesuatu secara tidak sah dan main belakang.

Penilaian semua aspek itu yang dinilai, dan sejumlah negara kecil yang minoritas muslim mendapat nilai tertinggi untuk itu. Sedangkan sejumlah negara, bahkan negara yang mayoritas muslim, dalam riset itu, berada di nomor-nomor buncit. Banyak kita yang harus melakukan instrospeksi, terutama pemimpin-pemimpin muslim, untuk berbuat dalam memimpin sebagaimana telah digariskan dalam ajaran yang diyakininya.

Ada satu ungkapan yang ingin menegaskan pentingnya hidup selaras antara perkataan dengan perbuatan: cakap serupa bikin. Harus ada upaya untuk menggunakan dasar dalam beragama, untuk diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Isi yang ada dalam kitab suci tidak sebatas hanya untuk diucap, melainkan harus diimplementasikan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Terkait dengan mentalitas, ada yang harus dibenahi. Saya teringat sebuah pesan yang dikirim seorang senior saya. Orang ini membantu saya dulu ketika mahasiswa. Dalam pesannya, ia menyebut ada seorang pemimpin yang ilmu agama biasa-biasa saja, namun memiliki tekad kuat untuk hidup bersih. Rumahnya dibuka seluas-luasnya untuk orang banyak.

Terkait dengan ini, bisa jadi ada perbedaan pendapat. Ada yang menyebut bahwa pemimpin tidak terlalu harus memahami ilmu agama secara mendalam. Golongan yang terakhir ini, memisahkan tegas antara urusan agama dan urusan jabatan. Orang-orang yang sudah mendapat amanah tertentu, maka berbagai ilmu dan nilai yang terkait dengan agama, ditinggalkan di tempatnya.

Corak demikian, jika dirunut ke belakang, berasal dari cara berpikir pada satu zaman yang memisahkan urusan keukhrawian dengan urusan keduniaan. Karena sumber itu yang diklaim sebagai pusat ilmu, lalu ia menyebar ke semua penjuru, lalu diikuti pula dengan sepenuh jiwa oleh orang-orang yang yakin dengannya.

Antara keduniaan dan keukhrawian dibatasi. Belum lagi kenyataannya muncul orang-orang tertentu yang memiliki latar belakang partai politik yang berdasarkan nilai keagamaan, lalu tersangkut dengan korupsi. Sudah memunculkan simpulan bahwa tepat memisahkan agama dan urusan-urusan yang terkait kekuasaan. Padahal nilai agama itu untuk dijalankan, bukan untuk simbol. Namun yang jamak terjadi, apa yang sering disimbolkan identik dengan nilai agama, digunakan dengan berbagai tujuan. Mereka yang ditangkap memerkosa, lalu ketika disidang, memakai kupiah yang sering dipakai dalam menjalankan perintah Tuhan. Betapa menjadi berita besar ketika ada seorang yang berbaju koko mencuri emas semayam, yang seolah bisa diklaim yang bersangkutan sebagai representasi bahwa nilai agama memang hanya cocok didudukkan hanya di rumah ibadah saja. Kini, malah, ketika hijab itu menjadi tren dan dianggap model yang luar biasa, siapa pun bisa bertukar gaya.

Padahal agama itu tidak sebatas itu. Agama harus merasuk ke mentalitas. Orang tidak melakukan manipulasi, korupsi, membunuh, atau mencuri, bukan karena takut hukuman manusia, tetapi ada garansi yang dijanjikan Pencipta. Melakukan sesuatu yang bisa bersembunyi dari penglihatan manusia, tidak bisa menghindar dari Pemilik Kekuasaan yang sesungguhnya.

Seorang pemimpin yang penguasaan agama kecil dalam satu kesempatan menyebut, bahwa seharusnya apa yang dilakukannya harus selaras dengan apa yang dipahaminya dari ajaran agama. Tidak boleh tidak. Itulah pesan yang saya ingat dari kiriman senior saya waktu itu. Sayangnya, saya katakan kepada senior saya itu, justru di sekeliling kita, banyak orang memiliki ilmu agama, memakai simbol-simbolnya, namun perilakunya tidak selaras.

Mulut selalu mengungkap yang baik, namun tangan dan kaki tidak bisa menghindar dari yang buruk. Mentalitas inilah yang harus kita luruskan. Kitab suci tidak boleh hanya dasar mengungkap, melainkan ia wajib menjadi dasar dalam perilaku. Tidak cukup orang hanya berkata dengan mengutip kitab suci, melainkan harus diikuti dalam kehidupan nyata.

Zaman penuh kemunafikan, menyebabkan kita tidak bisa mencapai kualitas kehidupan yang tinggi. Seyogianya itu menjadi bahan iktibar bagi kita untuk masa depan. Tidak penting menyalahkan pihak fulin dan fulan. Semua dibutuhkan perannya. Masing-masing harus sudah mulai sekarang juga, untuk selaras antara perkataan yang baik, dengan perbuatan yang baik pula.

Leave a Comment