Menakar Berkarya

Terkait dengan orientasi berkarya, ada ragam pendapat orang. Ada orang yang menghasilkan karya, sangat mementingkan pembaca. Sangat senang apabila jumlah pembaca banyak, namun tidak peduli materi apa yang didapat. Setiap karya dibayangkan sebagai jalan dan …

Terkait dengan orientasi berkarya, ada ragam pendapat orang. Ada orang yang menghasilkan karya, sangat mementingkan pembaca. Sangat senang apabila jumlah pembaca banyak, namun tidak peduli materi apa yang didapat. Setiap karya dibayangkan sebagai jalan dan ruang bagi kontribusi membangun peradaban. Satu-satunya yang didapat semacam kepuasan batin. Saya pernah mendapat orang yang seperti ini, yang memberi izin bukunya direproduksi sebanyak-banyaknya dan bukan tujuan komersil.

Ada orang yang membagi posisi. Untuk mereka yang berbisnis, orang ini juga menggunakan rumus untung-rugi. Sedangkan untuk mereka yang membutuhkan ilmu, karyanya tidak masalah direproduksi. Sebatas karyanya direproduksi untuk pendidikan, dianggap bukan masalah serius.

Satu tipe lain adalah berbisnis dengan karya. Setiap jengkal kata yang dikeluarkan selalu dihitung dengan potensi keuntungan. Berkarya itu dianggap sebagai bisnis murni. Apa yang dihasilkan dengan tekun menggunakan rumus dan perhitungan. Tidak boleh tidak.

Posisi untung rugi berbeda dengan pendaftaran hasil penciptaan. Proses ini antara lain dilakukan untuk menegaskan bahwa suatu karya itu milik orang tertentu, yang secara moral dan ekonomi harus diperhitungkan. Terkait ini ada dua tipe orang. Tipe pertama, mereka yang berpikir bahwa pada dasarnya apa yang kita ciptakan, pada dasarnya adalah lanjutan dari yang dipikirkan orang. Atas dasar itu, tidak perlu ada klaim bahwa sesuatu itu miliki seseorang. Sedangkan tipe satu lagi, yang merasa bahwa dari setiap karya selalu ada kebaruan yang memungkinkan dimiliki oleh mereka yang menemukan kebaruan itu.

Terlepas bagaimana tanggapan kita, saya ingin berbagi pengalaman. Suatu kali, ada satu pertanyaan mahasiswa yang hingga hari ini belum saya jawab. Menanyakan hukum mendaftarkan suatu karya cipta. Pertanyaan yang sulit untuk perkembangan hukum yang makin menuntut kepastian, pada saat yang sama hukum berpotensi meminggirkan nilai-nilai dan melaju kearah liberal.

Saya hanya memberikan beberapa fenomena. Perkembangan dunia menuntut adanya kepastian atas segala sesuatu. Sebuah karya kemudian diyakinkan atas kepunyaan moral dan bagian ekonomi. Secara moral, segala sesuatu yang menjadi hak kita, tidak mungkin dipunyai oleh orang lain. Secara ekonomi, apa yang menjadi karya kita, ketika dilakukan reproduksi oleh orang lain, seyogianya mengalir keuntungan secara ekonomi kepada pembuatnya.

Tetapi marilah kita lihat kenyataan. Beberapa produk tradisional Indonesia yang sudah dimiliki oleh orang lain. Apa yang menyebabkan seni perak daerah tertentu diklaim oleh orang lain sebagai pemiliknya. Atau seni batik yang beralih cipta. Jangan-jangan nanti suatu saat, apa yang diklaim sebagai masakan tradisional sekarang ini, akan menjadi kepunyaan cipta karya orang per orang.

Apa yang dapat memberikan jaminan bahwa hukum betul-betul akan menjamin seseorang benar-benar sebagai pemilik suatu kekayaan cipta. Sepertinya tidak ada yang bisa menjamin. Kita tidak boleh lupa. Apa yang kita punya, merupakan serangkaian proses kehidupan. Sehingga apapun yang kita temukan saat ini, merupakan serangkaian dari temuan-temuan sebelumnya.

Adalah aneh bila temuan saat ini, sama sekali melupakan temuan-temuan sebelumnya. Untuk hal ini, orang-orang yang mengklaim kekayaan ciptanya dan mendaftarkan secara hukum, tidak boleh melupakan perkembangan demikian. Tetapi hukum ingin kepastian yang kerapkali minus berbagai pertimbangan di atas.

Di sini, saya teringat bagaimana orang-orang dahulu di tempat kita yang tidak berani mengklaim akan kekayaan cipta. Sangat banyak buku lama, yang tidak menulis nama penulisnya. Atau pun kalau menulis, dengan nama tempat atau nama samaran, yang seolah publik tidak penting untuk mengetahui namanya.

Kita juga menyaksikan bagaimana orang dulu, selalu memulai dengan pengakuan “hamba yang fakir”. Sesuatu yang ada, merupakan untaian dari sesuatu yang lain, yang sudah ada sebelumnya.

Belum lagi mengukur tentang keikhlasan. Orang-orang yang melahirkan karya, tidak mempermasalahkan karyanya akan dipakai oleh siapa. Seperti ada niat bahwa apa yang menjadi karyanya akan menjadi media yang memudahkan umat manusia. Sehingga tidak ada ketakutan bahwa karyanya akan diklaim oleh orang lain sebagai miliknya.

Atau barangkali, dunia memang sudah sulit untuk saling percaya. Kepura-puraan sudah menjadi elemen utama dalam kehidupan. Dengan mudah, kekayaan karya sesuatu yang sebenarnya dilahirkan oleh orang, dengan mudah diklaim sebagai karya orang pada masa sesudahnya. Dalam konteks ini, apakah berkorelasi dengan moralitas yang telah rusak? Entah. Suatu kali saya akan bercerita kepada mahasiswa saya tentang fenomena itu.

Leave a Comment