Ada pepatah Aceh yang menyebutkan, “jak menurot tapak, duek menurot punggong” (jalan menurut ukuran langkah, duduk menurut ukuran pantat). Pepatah semacam ini, untuk generasi zaman “now” sudah dianggap bukan saja tidak cocok bagi mereka, melainkan juga tidak cocok untuk zaman “old”. Padahal, pepatah ini adalah ungkapan yang memperingatkan manusia berperilaku apa adanya. Tidak boleh berlebihan, apalagi untuk hal-hal yang sesungguhnya tidak dimiliki untuk hidup berlebihan tersebut.
Pepatah pada dasarnya peribahasa yang mengandung nasihat atau ajaran dari orang tua-tua. Dengan peribahasa, menjadi salah satu cara orang tua memberi nasihat untuk generasi yang lebih muda. Harapannya tentu saja berubah dan mengambil hikmah dari perjalanan panjang mereka.
Ada dua iktibar yang bisa dipetik. Pertama, jujur pada kondisi apa adanya. Tidak boleh mengaku memiliki segalanya, sedangkan kenyataannya nol besar. Kedua, untuk orang yang memiliki segalanya pun, tidak boleh mengumbarnya secara berlebihan.
Generasi sekarang bisa membayangkan betapa hidup terlihat penuh kepura-puraan. Dengan bantuan alat komunikasi dan teknologi informasi, memudahkan manusia untuk secara sempurna menampakkan kepura-puraannya itu. Semua hal diumbar ke orang lain, tidak peduli etis atau tidak. Bahkan untuk hal yang sakral seperti ibadah sekali pun, tiada henti berbagi kepada banyak orang.
Mohon maaf, seseorang yang saya kenal, tiba-tiba mengatakan sesuatu yang mungkin penting kepada saya. Ia seorang mahasiswa, dengan bersahaja dan terang benderang menceritakan begini.
Ia seringkali dicuekin sama teman akrabnya. Berulang kali. Teman akrabnya, menurutnya, terlalu sibuk dengan handphonenya. Sedang ia –menurutnya sebagai sosialita—membutuhkan teman yang memperhatikannya ketika sedang berbicara.
Ketika pergi ke mana pun, temannya sering tidak fokus. Ia seperti tidak mendengar apa yang dibicarakannya. Temannya itu, bahkan memiliki tiga handphone. Bahkan ketika ia mengurus ketiga-tiganya, perhatian sebagian besar dihabiskan untuk urusan itu.
Banyak yang ia ungkapkan, namun secara sederhana yang saya catat –kurang lebih—begitu. Saya tanya ke dia. Apakah tiga handphone aktif tiga-tiganya? Apakah ia memisahkan urusan masing-masing handphone? Misalnya untuk handphone satu untuk keluarga, handphone dua untuk teman, dan handphone tiga untuk orang yang baru dikenalnya?
Ia tidak bisa memastikan pertanyaan saya. Yang jelas, menurutnya, ketiga-tiganya aktif dan dia sibuk dengan itu.
Hal lain yang menarik bagi saya adalah orang yang saya kenal menyebutnya sosialita. Istilah ini saya tanyakan maksudnya. Menurutnya, sosialita yang ia pahami karena ia selama ini juga memiliki jaringan media sosial. Dengan aktif di media sosial, menurutnya, sudah termasuk kategori sosialita.
Di sinilah menariknya. Saya ceritakan pemahaman saya tentang sosialita. Menurut saya, sosialita untuk orang yang dari segi strata –khususnya ekonomi—termasuk dalam kategori mapan. Artinya orang yang masuk kategori ini, kebutuhan materi hidupnya sudah lebih dari cukup. Syarat lain adalah mereka yang berkecukupan itu, memiliki semangat sosial yang tinggi –dalam arti suka menolong orang lain terkait dengan keadaan masyarakat di sekelilingnya.
Prinsipnya ada segolongan orang yang berkelas. Mereka memiliki tempat tersendiri dalam pergaulan masyarakat. Tempat tersebut berbeda dengan orang kebanyakan. Bahkan mereka sendiri juga memiliki kotak masing-masing. Segolongan tertentu bisa jadi memiliki tempat tertentu dengan lingkup pembicaraan tertentu dan suka pada hal tertentu. Misalnya sekelompok orang yang selalu bertemu di restoran mewah, berbicara selalu tentang sepatu mewah. Ada segolongan orang lain, bertemu di tempat lain dengan hal lain. Namun secara umum, ada juga yang suka pada semua hal: perhiasan, sepatu, tas mewah –yang harganya mungkin kalau dikasih tahu ke orang kampung, akan langsung terhenyak.
Nah, golongan inilah, yang kemudian mengorganisir diri untuk membantu orang lain dalam bentuk darma tertentu. Secara sosial, kehidupan mewah yang ingin hadir dalam hiruk pikuk jiwa sosial.
Saya katakan kepada orang yang saya kenal, begitulah pemahaman saya tentang sosialita. Hanya terbatas pada aktif di media sosial, belum tentu masuk dalam kategori ini. Waktu itu, kepada orang yang saya kenal, tidak lagi saya tanyakan apakah ia setuju atau tidak dengan pendapat saya.