Refleksi Kerusakan Hutan Berkelanjutan

Catatan hitam melalui wajah banjir akibat perusakan hutan, kembali tertitah dengan sempurna di Aceh akhir tahun ini. Saya berharap opini sederhana ini bisa menjadi bahan refleksi akhir tahun, paling minimal kita akan berusaha berpikir agar …

Catatan hitam melalui wajah banjir akibat perusakan hutan, kembali tertitah dengan sempurna di Aceh akhir tahun ini. Saya berharap opini sederhana ini bisa menjadi bahan refleksi akhir tahun, paling minimal kita akan berusaha berpikir agar kerusakan hutan yang berkelanjutan itu harus dihentikan. Barangkali terlalu muluk jika berharap langkah nyata melalui grand design menghentikan kerusakan hutan, dalam waktu dekat.

Terjadinya banjir seperti pertengahan Desember 2020 lalu, dalam konteks lingkungan dan bencana, selalu ada dua pandangan dalam menyikapinya. Pertama, mereka yang beranggapan bahwa bencana itu selalu sebagai bentuk cobaan. Benar bahwa secara religius, apapun yang kita alami merupakan ujian bagi manusia untuk naik kelas. Namun menerima sepenuhnya tanpa mengoreksi keadaan, terutama bencana, tak lebih dari sikap hidup pasrah.

Kedua, untuk bencana yang diakibatkan oleh kegagalan dalam pengelolaan kebijakan, selalu ada pihak yang bisa diminta pertanggungjawaban. Kita akan berusaha keluar dari kasus kerusakan lingkungan. Dengan demikian, kerusakan hutan tidak mungkin bebas dari tanggung jawab struktur. Orang-orang yang kebetulan memiliki tanggung jawab dalam menjaga dan melindungi hutan, tetapi tidak berusaha menjaganya dengan kebijakan, tunggulah suatu saat akan mendapatkan ganjarannya.

Saya lebih memilih posisi kedua. Bukan mengabaikan bencana sebagai cobaan, namun setiap bencana bisa dicari pemicunya. Manusia sebagai makhluk berpikir tidak boleh pasrah terhadap tangan-tangan kotor yang sepertinya terus-menerus merusak lingkungan.

Ada kontradiksi saat mendapatkan bencana semacam ini. Kita mengakui diri sebagai manusia yang dipengaruhi nilai religius. Namun seringkali tidak ambil pusing terhadap kerusakan hutan yang terus terjadi. Di negara orang yang memisahkan dirinya dari nilai religius, saat terjadi bencana akibat kegagalan kebijakan, selalu ada pejabat yang mundur karena merasa malu. Keadaan ini berbanding terbalik justru di tempat kita yang manusia bernilai religius. Kita dengan cepat berlindung bahwa bencana merupakan cobaan yang harus kita terima. Berapa banyak struktur di negeri-negeri yang mengaku bermoral, tetapi tidak memiliki rasa bersalah saat tidak mampu menjaga hutan dari kerusakan?

 

Siapa peduli kerusakan?

Siapa peduli dengan kerusakan hutan? Bukankah banjir juga bisa menjadi ajang bagi kita semua untuk memperlihatkan betapa kita berbudi baik? Begitu banjir, kita akan mengunjungi para korban dengan membawa bantuan. Setelah itu, lalu kita lupa lagi bahwa masalah hakiki adalah kerusakan hutan yang kian parah.

Banjir terjadi sejak 5 Desember, lalu meluas dalam waktu selama seminggu di pesisir Utara dan Timur (Serambi, 6/12/2020). Puncak banjir terjadi pada 8-9 Desember (Serambi, 9/12/2020). Namun sejumlah wilayah kembali merasakan banjir pada 12 Desember (Serambi, 13/12/2020).

Dari sejumlah berita yang saya kutip, selalu ada bantuan dan kunjungan. Termasuk pada pejabat dan para istri, datang silih berganti ke lokasi-lokasi banjir. Belum lagi muncul banyak pihak yang mengumpulkan bantuan untuk para korban. Saya kira sebuah empati dan simpati yang patut dicontoh.

Ada teman saya yang sengaja datang ke lokasi banjir membawa bantuan menurut kemampuannya. Ia bergumul dengan air banjir, berbasah-basah, demi mencapai korban banjir, yang menurutnya, kondisi juga dalam kondisi basah berhari-hari. Alasan teman saya sangat sederhana dan manusiawi. Beliau ingin merasakan bagaimana menderitanya orang-orang ketika berada pada posisi korban banjir. Untuk hal ini, saya tidak bisa membayangkan bagaimana derita sesungguhnya.

Derita dari banjir, juga sering saya dengar dari ibu saya di kampung. Kebetulan rumah kami yang dekat dengan sungai, sudah terbiasa dengan kondisi banjir. Setiap awan hitam terlihat di pucuk sungai, warga sudah terbiasa untuk bersiap-siap. Tidak ada lagi gugatan, walau kerap terdengar keluhan. Walau kita tahu bahwa di pucuk sana, ada hutan yang sudah dibabat habis.

 

Refleksi Perusakan?

Siapa yang melakukan pembabatan hutan itu? Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAKA), awal 2020 merilis data penting. Menurut mereka, tahun 2019, Aceh kehilangan tutupan hutan sekitar 15 ribu hektare. Tahukah kita bahwa dengan seluas itu, dalam sehari Aceh kehilangan hutan 41 hektare? Sekali lagi, siapa yang peduli?

Bagaimana Yayasan HAKA menemukan data? Suatu kali saya sempat berkunjung ke sekretariat mereka di pinggiran Banda Aceh. Waktu itu, saya diperlihatkan tenaga lapangan mereka yang memantau secara langsung. Mereka selalu bisa berkomunikasi tentang apa yang mereka temukan. Di samping itu, yayasan ini juga punya relawan, baik laki-laki maupun perempuan, yang secara sukarela keluar masuk hutan untuk memastikan tidak ada yang merusak hutan.

Sebenarnya selain dari tenaga lapangan, ada cara sederhana lain yang bisa mendapatkan bagaimana tampilan hutan yang rusak, dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Dan ini juga digunakan sebagai salah satu cara memantau hutan oleh Yayasan HAKA. Siapa pun dari kita, dengan modal telepon pintar murah, dapat menggunakan fasilitas google untuk melihat alam Aceh.

Selain dari kantor HAKA, kami juga pernah mendapatkan gambaran secara langsung. Ketika melakukan penelitian pada September 2020, bersama beberapa dosen Fakultas Hukum Unsyiah, kami sempat singgah di Pining, kampung di pinggir gunung Leuser. Kami mendapat cerita secara langsung dari para tetua adat hutan, bagaimana kekayaan hutan itu terancam. Banyak tangan yang ingin memanfaatkannya tanpa mempedulikan mereka yang akan menjadi korban bencana.

Realitas ini, seyogianya melahirkan semangat untuk saling berefleksi, apakah yang terjadi kerusakan atau perusakan? Maksud kedua kata ini tentu berbeda, walau sama-sama berasal dari kata “rusak”. Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan “rusak” sebagai keadaan yang sudah tidak sempurna; sudah tidak baik; sudah tidak utuh. Beda kerusakan dengan pengrusakan adalah pada peran bagaimana ia diposisikan. Kerusakan menggambarkan perihal rusak. Namun perusakan bermakna proses, cara, perbuatan merusakkan (menjadikan atau menyebabkan rusak).

Maka apa yang terjadi dengan hutan Aceh, sesungguhnya adalah perusakan. Bahkan kondisi hutan yang rusak dapat dipastikan sebagai proses yang disengaja. Mereka yang merusak, mengambil untung dengan mengeksploitasi hutan tanpa mempertimbangkan akibat bagi orang lain.

Proses perusakan ini sendiri dapat terjadi secara legal atau ilegal. Mereka yang melakukannya di luar kendali kebijakan, sering disebut sebagai perbuatan ilegal. Namun di luar itu, ada perusakan yang disebabkan alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Ada kawasan hutan, yang diubah menjadi perkebunan, bahkan dengan jenis tanaman yang berdampak buruk.

Sudah seharusnya struktur kebijakan berpikir keras untuk menghentikan perusakan hutan, baik secara legal, apalagi ilegal. Para ahli harus terlibat untuk memikirkan grand design bagaimana perusakan hutan ini dihentikan secara bertahap. Jika bisa harus dihentikan dengan segera.

https://aceh.tribunnews.com/2020/12/31/refleksi-kerusakan-hutan-berkelanjutan

Leave a Comment