Ada tiga kasus yang lumayan sering saya sebut di dalam kelas. Kasus istri yang menjadi aktor utama membunuh suaminya yang seorang hakim. Kasus ini menarik, terutama untuk melihat bagaimana orang dekat itu bisa saja menjadi aktor penting dalam membunuh. Kasus lain, membunuh dengan sangat rapi yang menggunakan racun sianida, juga dilakukan oleh orang dekat. Skenario yang rapi, dari sejumlah potongan lokasi yang coba direkonstruksi, menggambarkan betapa aktor itu juga memiliki desain yang luar biasa. Kasus salah tangkap dan salah hukum, adalah gambaran lain dari penegakan hukum yang bisa saja keliru. Kasus-kasus peradilan sesat tidak terjadi satu atau dua. Banyak kasus peradilan sesat terjadi, di negeri ini dan sejumlah negara.
Sekitar sepuluh tahun lalu, saat awal-awal terbongkar kasus mutilasi, saat diberitakan ternyata ia menjadi daya tarik tersendiri. Sejumlah kasus mutilasi lain lalu terjadi. Kasus mutilasi di sebuah apertemen di Jakarta, dilakukan juga terhadap orang-orang dekat. Mereka yang memiliki jalinan asmara.
Semua kasus yang dibahas di ruang sidang, memperlihatkan apa banyak dimensi dari satu kejahatan. Apa yang terjadi sudah berdimensi jamak yang menjadi penyokong terjadinya kejahatan. Berbagai kejahatan yang terjadi di sekitar kita, harus dilihat dalam temuan yang utuh, tidak sepotong-sepotong. Hal ini penting agar dalam melihat satu kejahatan, semua korelasi bisa dibedah dan ditemukan langkah preventif apa yang bisa dilakukan.
Akhir-akhir ini mencuat lagi sejumlah kasus terkait dengan pelecehan dan kekerasan seksual. Tampak bahwa kasus pelecehan dan kekerasan seksual tak saja berbicara soal kuantitas, melainkan juga kualitas. Dari segi angka, grafik selalu menunjukkan adanya peningkatan. Jangan lupa, kualitas pola perilaku, juga semakin mencengangkan dari waktu ke waktu. Ada kalanya kita tidak duga banyak hal yang terjadi melewati akal sehat kita.
Ada dua bentuk yang semakin menyedihkan. Pertama, pelaku semakin berjubel dari segi jumlah. Tak peduli korban itu masih remaja atau anak-anak. Satu kasus 21 orang melakukan perkosaan terhadap seorang anak sekolah dasar, sungguh menyesakkan dada. Sama menyesakkan, ketika 14 remaja dan pemuda yang sebelumnya mengonsumsi minuman keras memerkosa remaja sekolah menengah pertama. Lebih ironis, ternyata dari sekian pelaku, juga ada yang masih anak-anak di bawah umur. Bagaimana potret masa depan anak-anak yang sudah nimbrung dalam satu rangkaian kejahatan itu? Tidak main-main, kejahatan yang menghancurkan masa depan orang lain.
Kedua, ada sejumlah kejadian yang berakhir dengan sangat mengerikan, yang mana pelaku membunuh korbannya. Bentuk kejahatan yang akhirnya bertambah, tidak sekedar perkosaan, juga turut membunuh. Posisi terakhir ini, penyebab juga terbelah. Ada yang memang direncanakan dari awal untuk membunuh korban. Akan tetapi dalam kasus terbatas, ada yang pembunuhan terjadi karena korban yang berusaha melawan. Tetapi ketahuilah, perbedaan antara berencana atau tidak, kadangkala tipis sekali. Setipis kulit ari. Tidak semua kasus dengan mudah ditemukan ia masuk berencana atau tidak. Seseorang yang awalnya tidak ada niat membunuh, tiba-tiba melakukan pembunuhan karena ada sebab lain, misalnya tidak bisa mengendalikan korbannya yang berteriak minta tolong.
Dua bentuk itu yang terungkap melalui media massa. Sementara pada saat yang sama, apa yang terungkap diyakini hanya puncak gunung es. Ada kemungkinan yang belum terungkap itu merupakan bagian besar yang masih tersisa. Kemungkinan ini masuk akal, kalau menjadikan berita media massa sebagai salah satu sumbernya. Setiap hari berita tentang kekerasan seksual selalu ada. Berbagai tayangan kriminal di televisi, juga mendukung kenyataan demikian.
Pertanyaannya adalah berbagai kenyataan kekerasan seksual yang mengerikan itu ada kemungkinan selesai begitu saja dengan lahirnya satu undang-undang? Tentu tidak. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) atau undang-undang yang sudah dan akan dilahirkan, hanya salah satu ancangan solusi di antara banyak solusi yang lain yang harus bangun dan selaras. Lantas apakah berbagai ancangan solusi lain yang di luar hukum itu juga bergerak serentak?
Pertanyaan terakhir ini sangat penting, terutama untuk membongkar tuntas berbagai faktor yang mengitari munculnya kekerasan seksual. Maka ketika berbagai faktor itu akan ditemukan, ancangan solusi yang akan dilahirkan juga tidak terlepas dari akar masalah.
Perppu sangat penting dalam rangka salah satu solusi, namun hendaknya tidak berhenti di situ. Hal lain yang tidak kalah penting adalah menyelesaikan apa yang menjadi penyebab atau pemicu. Di sini kasus menjadi semacam laboratorium untuk membedah dari berbagai bidang ilmu.
Kenyataannya kejahatan itu tak berdimensi tunggal. Satu kejahatan terkait-kelindan dengan banyak hal. Makanya setiap terjadinya kejahatan, selalu harus dilihat dari berbagai sisi yang terkait-kelindan itu. Solusinya pun demikian, ia merupakan hasil kombinasi dari teropong berbagai sisi.
Penekanan ini menjadi penting, antara lain misalnya pentingnya menjawab sejauhmana relasi kekerasan seksual dengan minuman keras. Atau benarkah masyarakat sudah terlalu tidak peduli terhadap sesama? Lalu apakah ada pengaruh corak budaya tertentu terhadap kekerasan seksual ini? Lantas bagaimana juga dengan tayangan-tayangan yang tidak mendidik yang bertabur?
Mengapa ada izin untuk menjual minuman keras, walau dipahami ia akan berisiko terhadap manusia? Lantas sejauhmana negara hadir untuk mengontrol atas izin yang berisiko itu?
Menjawab ada tidaknya relasi, akan memetakan masalah secara utuh. Dengan demikian, ketika kita mengayunkan langkah secara bersama, ia bergerak secara serentak. Tujuan utuhnya adalah memadukan langkah Perppu dengan berbagai langkah lain yang di luar Perppu. Tidak ada bunyi hentakan yang terpisah ketika langkah sudah diayun.
Ketika awal kuliah dulu, teringat satu hal dari buku Sudikno Mertokusumo (1988), Mengenal Hukum. Menurutnya, hukum selalu berhubungan dengan kehidupan manusia. Ketika berbicara tentang sehenap kehidupan manusia yang terkait dengan hukum itu, sungguh kita membicarakan sesuatu yang tidak terbatas. Maka langkah-langkah untuk hukum harus dibarengi dengan langkah-langkah untuk memperbaiki kualitas kehidupan manusia itu.