Keteladanan dalam Hukum

Pertanyaan ini sudah muncul berulang-ulang: sejauhmana pentingnya keteladanan dalam penegakan hukum? Sepertinya, jika merujuk pada apa yang disebut Lawrence W. Friedman tentang hukum terdiri dari tiga elemen –substansi, struktur, dan kultur—maka terkait dengan penegakan hukum …

Pertanyaan ini sudah muncul berulang-ulang: sejauhmana pentingnya keteladanan dalam penegakan hukum? Sepertinya, jika merujuk pada apa yang disebut Lawrence W. Friedman tentang hukum terdiri dari tiga elemen –substansi, struktur, dan kultur—maka terkait dengan penegakan hukum itu tidak mungkin menghindari contoh yang baik. Substansi yang bagus, berada di tangan struktur yang buruk, maka penegakan hukum hancur. Dua-duanya juga akan sia-sia dalam masyarakat yang tidak berkesadaran hukum. Tentu kondisi ini berada dalam satu gerbong, satu rangkaian, dimana kesadaran hukum masyarakat sendiri ditentukan oleh banyak hal lainnya.

Hal inilah yang saya selalu ceritakan di dalam kelas, bahwa pelaksanaan hukum yang baik selalu ditentukan oleh contoh-contohnya yang baik. Adalah petaka, ketika lembaga semisal ketua dan hakim pada Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), Pengadilan Tinggi, atau Pengadilan Negeri, bahkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kasus suap sudah sering tertangkap tangan. Pimpinan MK sudah beberapa yang bermasalah. Kasusnya bisa berbagai macam. Ada yang mengadili kasus sengketa pemilihan kepala daerah, atau lainnya. berbagai peristiwa semacam ini sekaligus menandakan semakin miskinnya keteladanan sebagai bagian penting dalam penegakan hukum di Indonesia.

Keteladanan tersebut makin senjakala, karena banyak yang ditangkap ternyata tidk sendiri. Ada yang sedang dengan pengusaha, atau para pejabat, baik pusat maupun daerah. Banyak kasus yang ditangkap KPK menggambarkan keteladanan itu semakin dipertanyakan.

Saya tidak akan ulangi nama-nama orang yang sudah ditangkap KPK, lengkap dengan jabatannya. Angggap saja semua sudah tahu. Tidak juga berapa ratus kasus yang sudah terjadi. kepala daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, tidak sedikit. Politisi, dari berbagai partai, juga tidak sedikit. Bahkan partai yang sehari-hari beriklan sebagai bersih, juga berselimak para koruptor.

Ironisnya, orang-orang yang berada di lembaga yudikatif. Orang-orang yang seharusnya sebagai benteng terakhir penegakan hukum, justru banyak bermasalah dengan hukum. Orang-orang yang seharusnya sudah tidak boleh tergoda dengan berbagai godaan.

Semua realitas ini menunjukkan bahwa kondisi negara kita sedang sangat memprihatinkan. Dengan berbagai kejadian tangkap tangan seyogianya memberi aba-aba bagi peringatan akan kebangkrutan negara bila tidak segera ditangani.

Jelaslah kondisi bangsa kita sudah member aba-aba akan kebangkrutan keteladanan yang seharusnya menjadi modal sosial paling besar dalam pembangunan bangsa.

Dari segi konsep, keteladanan adalah sesuatu yang patut dijadikan contoh, seperti perbuatan, kelakuan, sifat, dan sebagainya. Keteladanan lebih kepada sesuatu yang sudah terbentuk dalam diri masing-masing. Orang-orang yang dapat diteladani, maka perbuatan, kelakuan, sifat, adalah sesuatu dalam jiwa yang baik.

Perbuatan, kelakuan, dan sikap tersebut pada dasarnya tidak bisa ditipu. Orang-orang yang memperlihatkan tipu daya yang seolah-olah bias diteladani, disebut dengan munafik. Dalam Islam, paling tidak ada tiga wujud orang munafik, yakni: (1) seseorang yang berbicara tapi tidak seperti apa adanya; (2) seseorang yang berjanji tapi tidak ditepati; (3) seseorang yang diberikan amanah tapi ia berkhianat atas amanah tersebut (Sabda Rasulullah saw).

Orang-orang yang melakukan korupsi pada dasarnya sedag menjadi orang yang munafik. Ketiga syarat yang disebutkan sebagai orang munafik tampil pada setiap sosok yang melakukan korupsi. Indikator kemunafikan dari seseorang yang korupsi, antara lain bisa dilihat pada tidak benarnya berbicara, tidak menepati janji, dan berkhianat terhadap amanah.

Seseorang yang melakukan korupsi, tidak akan berbicara jujur apa adanya. Harta dan uang masuk disembunyikan dengan berbagai cara. Akuntabilitas yang diwajibkan oleh hukum, secara norma diselesaikan dengan laporan palsu, dan semacamnya. Orang yang korup juga tidak bisa dipegang janjinya. Mentalitas tidak jujur menguat dengan sendirinya. Hingga dengan korupsi, menggambarkan ada proses pengkhianatan yang terjadi terhadap amanah yang berikan.

Mengikuti orang-orang yang tersandung kasus korupsi, kita bisa menyaksikan bagaimana sosok-sosok tersebut tidak berbicara apa adanya. Kerapkali kita dengar dari sosok-sosok yang diduga korup, misalnya dengan kata-kata: “bila saya korup, gantung saya di monas”, atau “bila saya korup, potong jari saya”, atau “bila saya korup, hukum mati saya”.

Kata-kata demikian sering terdengar pada pelaku yang kemudian ada yang terbukti korup. Namun ketika ketahuan dan sudah ada keputusan hukum tetap sebagai koruptor, kata-kata yang pernah diucapkan hilang bak di telan bumi.

Kata-kata demikian sering diungkapkan oleh pejabat publik, politisi, bahkan penegak hukum. Coba bayangkan orang-orang yang sedang gencar-gencarnya tampil dalam iklan dengan bunyi tolak korupsi, tiba-tiba tertangkap tangan korupsi. Bukankah segala sesuatu dilihat orang tidak dengan omongan, tapi dengan perilaku?

Kata-kata terakhir yang disebut menggambarkan bahwa keteladanan itu didapat setelah seseorang dilihat perilakunya. Tidak penting apa yang dibicarakan, walau berbuih-buih mulutnya. Perilakunya yang memperlihatkan apakah seseorang itu benar sesuai antara perkataan dan perbuatan.

Menurut saya, itulah keteladanan.

Ketika pertanyaan semacam ini muncul dalam kelas, percayalah ia tidak bisa dianggap sederhana. Keteladanan dalam penegakan hukum ibarat menggunakan bensin saat membakar daa suasana yang terik. Pada masyarakat yang miskin keteladanan, saat terjadi kebakaran, persis seperti bertambahnya bensin.

Leave a Comment