Model Hukum yang Baik

Saya masih ingat apa yang pernah diingatkan seorang guru saya, Profesor Satjipto Rahardjo, bahwa substansi hukum yang baik, harus didukung oleh struktur hukum yang baik. Keberadaan teks hukum yang baik saja belum cukup, karena ia …

Saya masih ingat apa yang pernah diingatkan seorang guru saya, Profesor Satjipto Rahardjo, bahwa substansi hukum yang baik, harus didukung oleh struktur hukum yang baik. Keberadaan teks hukum yang baik saja belum cukup, karena ia masih harus dikendalikan oleh mereka yang baik pula. Orang yang baik harus hidup dalam koloni orang baik. Satu orang baik, saat berada dalam lingkaran koloni yang buruk, bahasa kerennya, ia berkemungkinan akan terikut arus.

Soal struktur ini, saya ingin lukiskan bagaimana akhir-akhir ini, berita miring mengenai penjara sedang banyak mencuat. Penjara yang seharusnya menjadi tempatnya “pemanusiaan” para mafia, kini terkesan yang berlangsung sebaliknya, justru mafia yang mengontrol penjara. Kesan ini setidaknya bisa ditelusuri melalui fenomena berbagai temuan. Ada peredaran narkoba, napi keluar masuk, mereka yang mendapat fasilitas luar biasa, bahkan napi yang mengontrol narkoba dari dalam penjara. Semua itu memberi kesan betapa longgarnya penjara dan mulai disangsikan penjara sebagai tempat yang efektif untuk pembinaan. Sebaliknya, karena temuan tersebut mengisyaratkan ada oknum yang berposisi mafia, maka penjara sesungguhnya sedang dibina dan diatur oleh mafia yang ada di dalamnya.

Secara internal, penjara tidak memiliki cukup kekuatan untuk mengontrol dan melakukan berbagai pemeriksaan rutin. Kekuatan ini dipengaruhi pula oleh berbagai kepentingan internal masing-masing. Untuk kekuatan pengamanan, penjara juga dibantu pengamanan oleh struktur keamanan.

Pertanyaan yang muncul adalah ada kekuatan besar apa di dalam penjara sehingga pejabat yang mengurusi penjara seperti tidak bisa tuntas menertibkan temuan-temuan tersebut?

Pertanyaan lain yang krusial, adalah masihkah penjara bisa diandalkan dalam memanusiakan manusia yang melakukan kejahatan? Mengapa harus ada penjara bila ternyata daftar hitam perilaku mafia ternyata bisa memperdaya aparat negara? Kondisi tersebut menjadi tugas berat di tengah lembaga hukum dan pelaksanaan hukum di negara ini yang tengah disorot kanan-kiri.

Memang dalam optik pengetahuan, fenomena semacam ini memang bukanlah sesuatu yang asing. Karut-marut dalam lembaga hukum, sering diistilahkan dengan ”sarang laba-laba”. Istilah ini dimunculkan Honore de Balzac (Pilippe Sands, 2005). Sarang laba-laba untuk memperlihatkan bahwa hanya kekuatan kecil saja yang membuat lembaga hukum berdaya. Sedangkan untuk kekuatan-kekuatan besar, malah sarang laba-laba yang menjadi korban. Ia digulung bersamaan dengan laba-labanya. Fenomena ini bisa dilihat kasat mata. Misalnya ketika mafia-mafia besar ditangkap dan ditahan untuk dibina, ternyata di dalamnya yang berlangsung sebaliknya: mafialah yang mengontrol segalanya.

Kondisi inilah, oleh Donald Black, telah lama mengingatkan kita mengenai adanya kecenderungan lembaga-lembaga kuasa memberikan pelayanan yang lebih baik terhadap mereka yang memiliki uang yang lebih, dibandingkan dengan mereka yang berkelas kere. Apa yang diungkapkan Black, mengingatkan kita pada beberapa terpidana koruptor di penjara negeri kita, yang di dalamnya terdapat berbagai fasilitas mewah. Fasilitas ‘wah’ dimiliki ruang kamar di dalam penjara. Ketika kasus itu terbongkar, mereka yang bertanggung jawab berdalih: “fasilitas itu tidak berlebihan”. Padahal jelas-jelas, tidak ada tahanan lain dari mereka yang tidak berduit bisa mendapatkan fasilitas serupa.

Pada waktu terungkap kejadian itu, hingga pada level menteri pun ribut. Katanya, “kasus seperti itu memalukan sekali”. Diakui bahwa mafia tidak boleh dikasih hati. Namun apa yang terjadi? Kasus-kasus tersebut pelan-pelan terulang kembali.

Ada yang dengan guyon malah membuat kita makin bertanya-tanya, benarkah petinggi hukum itu ribut gara-gara tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu dengan kenyataan dalam penegakan hukum di negeri kita?

Satjipto Rahardjo (2009) berulang-ulang mengingatkan kita mengenai pentingnya menggunakan “cara-cara yang luar biasa” untuk menghadapi para mafia. Tidak mampu lagi cara-cara yang biasa digunakan untuk menghadapi orang-orang yang melakukan kejahatan yang bertaraf luar biasa. Ia juga mengingatkan pentingnya memperbanyak orang-orang yang bisa melakukan penegakan hukum secara luar biasa. Satjipto Rahardjo sadar bahwa ada oknum yang menegakkan hukum sudah menjadi bagian dari mereka yang menghancurkan hukum.

Untuk menghadapi kondisi tersebut, sudah tidak cukup lagi dengan proses-proses yang biasa. Kasus tersebut menampakkan kepada kita betapa cara-cara yang luar biasa harus dilakukan dalam menghadapi mafia. Karena para mafia, baik di dalam maupun di luar tahanan atau penjara, sama saja. Di dalam penjara sekalipun, mereka memiliki segenap daya untuk mengontrol semuanya.

Jelas bahwa mafia memiliki kuasa dan jaringan yang menentukan arah kuasa mereka. Ada oknum penegak hukum yang rela menjadi bagian dari mafia. Tidak mungkin penjara terlihat begitu rupa, sekiranya tidak ada keterlibatan oknum di dalamnya. Makanya oknum-oknum seperti itu juga harus ditemukan dengan cara-cara yang luar biasa. Jangan biarkan oknum jaringan mafia menjadi duri dalam daging bagi lembaga hukum di negeri ini.

Jangan biarkan hingga suatu saat, mungkin kita sendiri akan bertanya, pada siapa lagi harapan akan ditaruh, bila di sekeliling kita, pelan-pelan tidak ada lagi yang bisa kita percaya. Tentu, sebelum semuanya terlanjur dianggap biasa, sesuatu yang berdampaik buruk dalam hukum, harus mendapat perhatian kita semuanya. Masing-masing elemen harus memperbaiki terhadap upaya membawa hukum ke arah yang lebih positif.

Leave a Comment