Menunduklah Seperti Padi

Dulu saya sering mengikuti ujian terbuka teman. Dalam setiap even , selalu diingatkan oleh pimpinan kampus, bahwa mereka yang sudah selesai harus melihat bagaimana padi. Tanaman ini, semakin menguning, ia semakin menunduk. Tanaman ini menjadi …

Dulu saya sering mengikuti ujian terbuka teman. Dalam setiap even , selalu diingatkan oleh pimpinan kampus, bahwa mereka yang sudah selesai harus melihat bagaimana padi. Tanaman ini, semakin menguning, ia semakin menunduk. Tanaman ini menjadi kebutuhan vital bagi banyak orang, terutama Asia. Namun ia tidak merasa diri harus menempatkan sebagai pihak yang sangat dibutuhkan.

Pesan ini selalu diberikan kepada mereka yang telah memperoleh gelar tertinggi. Ilmu itu persis seperti titipan yang lain, harus diperlakukan sebaik-baiknya. Seperti harta dan anak, yang sewaktu-waktu bisa diambil oleh pemiliknya. Orang yang berilmu tidak bisa mengklaim ilmu yang dipunyai akan bertahan lama. Sedikit saja nikmat kesehatan dicabut, maka ilmu itu akan hancur lebur dari seseorang.

Hal ini seyogianya selalu menjadi ingatan, bahwa seseorang yang sudah berilmu tidak boleh lupa diri. Seperti orang berharta, jangan berpikir harta akan abadi. Dengan berpikir demikian, orang-orang yang berilmu akan menunduk dalam. Tidak sebatas menyadari kefanaan ilmunya, melainkan juga kefanaan dirinya.

Saya ingin mengingatkan sebuah kisah. Suatu kali, Musa merasa ilmunya sudah tinggi. Akan tetapi Allah menegurnya dengan perjumpaannya dengan Khaidr. Bertemu dengan manusia pilihan yang berilmu di perjumpaan laut, adalah keinginan Musa. Ketika bertemu, Musa meminta ikut Khaidr, namun ia memberi syarat agar tidak menegurnya. Musa tidak tahan akan hal tersebut, sehingga masa berpisah mereka akhirnya sampai juga. Peristiwa ini terekam dalam al-Quran Surat al Kahfi mulai ayat 60.

Barangkali kita sudah memahami posisi Musa. Musa tidak hanya seorang Nabi. Ia juga seorang Rasul, dan bahkan lima Rasul yang memiliki gelar ulul azmi. Musa yang sudah berposisi demikian, kadang-kadang harus ditegur, konon lagi manusia. Bedanya mungkin pada peristiwa selanjutnya. Makhluk manusia pilihan akan segera memohon ampun kepada Allah, sedang sebagian manusia akan semakin sombong tidak tahu diri.

Pertanyaannya adalah bagaimana dengan kita, para sarjana, magister, doktor, post doktor, dan profesor atau orang-orang yang menguasai berilmu agama. Adakah di antara kita, dengan amanah memiliki ilmu yang diberikan Allah, lalu secara serampangan menggunakannya? Ataukah dengan ilmu yang secuil yang kita miliki, lantas menjadi senjata untuk saling mengadu domba manusia?

Orang-orang yang makin tinggi ilmu, dalam kehidupannya seharusnya makin menunduk. Orang-orang yang pandai, ulama-ulama besar, para intelektual sesungguhnya, tidak merasa mereka sudah memiliki ilmu yang tinggi. Justru biasanya orang yang menganggap ilmu dirinya yang sudah tinggi, sebenarnya orang yang masih rendah.

Ada konsekuensi ketika mereka sudah berilmu tinggi, yakni menyebarkan ilmunya kepada sebanyak mungkin manusia. Orang-orang yang sudah berhenti menyebarkan ilmunya, merupakan orang-orang yang belum tinggi tingkat keilmuannya. Karena ilmu adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan, otomatis semakin banyak orang yang tersebar ilmunya makan semakin mudah jalan hidup seseorang.

Dengan konsekuensi demikian, maka penyebaran ilmu juga semakin terbuka. Semakin banyak orang dengan tidak memandang strata sosial, akan bisa mendapatkan ilmu dengan mudah. Orang yang memiliki ilmu semakin terbuka untuk mengajarkan ilmunya kepada siapa saja. Tidak terkecuali. Dengan posisi demikian, maka seharusnya akses kepada ilmu juga semakin mudah dan berbiaya murah. Tidak boleh hanya untuk mendapatkan ilmu orang harus membayar mahal, yang tidak bisa dijangkau secara ekonomi oleh semua orang. Inilah yang harus diperhatikan.

Paling tidak inilah alasan paling kuat bagi mereka yang mengajarkan ilmu secara gratis. Tidak boleh orang-orang yang membagi ilmunya demikian dianggap sudah membuat semuanya serba murah. Dalam ilmu, tidak ada menghitung murah atau mahal. Tidak pula menganggap orang yang berbagi ilmu secara luas dianggap sebagai orang yang mengobral.

Perlu kekuatan untuk menyiapkan generasi muda berkualitas bagi semuanya, mampu atau tidak mampu. Orang-orang yang aksesnya terbatas, biayanya tidak ada, sangat penting diperhatikan oleh orang-orang pandai di sekelilingnya.

Percayalah, atas nama ilmu, tidak usah ada konsep tambah-tambah, kali-kali, atau kurang-kurang. Mari semakin banyak orang berilmu untuk selalu berbagi-bagi. Tidak akan berkurang sedikit pun ilmu yang kita bagi-bagikan itu.

Leave a Comment