Etika

Tingkah laku menjadi salah satu yang sangat penting dalam pergaulan manusia. Sesama manusia memiliki standar perilaku yang akan digunakan. Batas ini yang nantinya akan menjaga sesama. Namun batas ini bukan berbicara boleh atau tidak boleh. …

Tingkah laku menjadi salah satu yang sangat penting dalam pergaulan manusia. Sesama manusia memiliki standar perilaku yang akan digunakan. Batas ini yang nantinya akan menjaga sesama. Namun batas ini bukan berbicara boleh atau tidak boleh. Standarnya akan lain dengan kacamata boleh atau tidak. Sesuatu yang menjaga perasaan orang lain, bisa jadi bukan sesuatu yang terlarang dilakukan. Ada sisi lain yang dilihat, yakni terkait dengan moral.

Dalam masing-masing masyarakat, standar moral pun bisa berbeda-beda. Saya terhenyak ketika ada seorang walikota di negeri orang, mundur hanya gara-gara ketahuan menggunakan kendaraan dinas dalam piknik keluarganya. Bukankah hal ini, mungkin bagi orang di negeri lain, atau negeri kita, dianggap sebagai yang biasa? Bahkan pejabat dari negeri kita, untuk hajatan keluarga pun tidak dibatasi penggunaan barang-barang negara.

Bagi pejabat di negeri itu, mundur itu tidak selalu dihitung dengan kerugian materi. Menggunakan kendaraan dinas untuk keluarga, mungkin secara materi tidak banyak yang merugikan negara. Namun dalam masyarakat yang sangat menjunjung nilai bersama, penggunaan kendaraan negara terbatas pada kepentingan negara saja. Tujuannya adalah memudahkan dalam memberi pelayanan kepada orang banyak.

Seseorang setelah disumpah akan menggunakaan segenap kemampuan bagi kepentingan orang banyak, di negeri kita biasa-biasa saja. Walau dengan sumpah. Kepentingan individu dan golongan, katanya tidak boleh lebih diutamakan. Kenyataannya apa yang terjadi?

Dalam wilayah yang lebih konkrit, penggunaan karya merupakan cermin dari etika. Tanpa terduga, suatu siang saya ketemu dengan seorang senior di tempat fotokopi. Waktu itu, saya mau memfoto kopi satu buku tentang sejarah Aceh. Buku yang menurut saya sangat penting untuk memahami Aceh secara menyeluruh. Buku itu ditulis seorang mantan pejabat Hindia Belanda yang pernah bertugas di Aceh. Namanya Karel, Federik, Hendrik van Langen. Ia pernah ditugaskan di wilayah Aceh ketika Gubernur van der Heijden (1877-1881), sebagai asisten Aceh Barat. Tiga tahun kemudian, ia menjadi asisten Aceh Besar. KFH van Langen dilahirkan di Willem I, dekat Ambarawa, Jawa Tengah.

Satu hal yang saya ungkapkan kepada senior saya, bahwa banyak pejabat Belanda ketika bertugas di Aceh, melahirkan banyak karya tertulis. Sebaliknya, kita banyak sekali pengalaman, tetapi tidak banyak yang melahirkan karya tulis. Rata-rata mereka yang menulis tentang Aceh, merupakan orang yang pernah bertugas di sini. Snouck Hurgrunje hanya beberapa saat, melahirkan berjilid-jilid. Demikian juga yang lain, yang menulis Aceh dalam berbagai wajah.

Kepada senior saya ungkapkan bahwa saya banyak mengunduh buku lama Aceh. Buku-buku yang sudah tidak direproduksi lagi (cetakannya). Ada satu laman yang menyediakan buku lama tersebut. Saya tidak memahami persis kerangka kerja dan struktur lembaga yang menyediakan laman tersebut. Yang jelas, banyak buku kemudian disediakan di laman itu.

Sekiranya masih ada penulis dan lembaga yang menerbitkan juga masih mereproduksi, maka melakukan reproduksi karya demikian dengan tanpa izin, jelas sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum. Buku adalah sebuah produk yang tergorong memiliki hak tertentu. Hak tersebut, secara moral dan ekonomi, tentu harus diakui dan dihormati. Menurut senior saya, bukunya termasuk dalam salah satu buku yang direproduksi tersebut.

Logika ini karena sebuah buku untuk menerbitkan membutuhkan modal. Penyiapan naskah dilakukan sampai bertahun, tiba-tiba oleh orang lain direproduksi sedemikian rupa. Malah senior saya menemukan bukunya direproduksi seorang penjual dalam rangka bisnis untuk penyediaan buku di perpustakaan daerah. Kondisi demikian sangat menyedihkan.

Saya sendiri, untuk hal tertentu berpikir berbeda. Untuk buku-buku lama yang sudah tidak diketahui di mana penerbitnya, silakan saja digunakan untuk dibaca oleh banyak orang. Akan tetapi bukan untuk dibisniskan. Sebaliknya, untuk buku yang masih ada penerbit dan penulis, maka harus ada izin. Yang menjadi catatan bahwa izin ini tidak semata-mata untuk urusan ekonomi, tetapi juga moral. Dalam konteks ini, tidak juga berarti moral sebagai izin pemilik, namun menurut saya termasuk etika bahwa menggunakan karya orang lain harus ada izinnya.

Izin ini bukan dalam konteks larangan untuk membaca, tetapi menggunakannya untuk tujuan di luar kepentingan baca-membaca. Buku adalah karya, karya adalah kekayaan, kekayaan adalah amanah Pencipta. Makanya pada saat yang sama, siapa pun, harus memosisikannya sebagai amanah.

Ketika hal ini disalahgunakan, apalagi dilakukan oleh mereka yang berkepentingan dengan orang banyak, sama seperti pejabat di negeri yang jauh, merasakan malu hanya karena persoalan kecil. Mereka mundur hanya dengan soal kecil menurut kita, tetapi menurut mereka, sudah merasakan malu tiada tara.

Leave a Comment