Anggaran

Sejak ada anggaran yang melimpah, kontestasi pimpinan kampung juga semakin semarak. Anggaran yang tidak dibarengi dengan penguatan sumber daya manusia dan moral manusianya, tidak membuat kampung lebih baik. Dengan kondisi yang acak-acakan, justru semakin membuat …

Sejak ada anggaran yang melimpah, kontestasi pimpinan kampung juga semakin semarak. Anggaran yang tidak dibarengi dengan penguatan sumber daya manusia dan moral manusianya, tidak membuat kampung lebih baik. Dengan kondisi yang acak-acakan, justru semakin membuat kampung-kampung terpuruk.

Masalah bukan boleh atau tidaknya ada anggaran. Pembangunan tentu membutuhkan modal yang tidak sedikit. Jalan kampung tidak mungkin dibiarkan dengan lubang terus menganga. Namun memperbaiki jalan ternyata tidak semata tinggal pesan pasir dan semen. Ada berbagai proses jalan belakang yang tidak mungkin semua orang memahaminya.

Belum lagi masalah bagi-bagi kue. Jika diibaratkan setumpuk daging, sejumlah pihak kadang-kadang harus dibagi daging itu. Sasaran yang dibagi tidak jelas. Justru tidak jarang orang yang mendapat bagian adalah mereka yang sesungguhnya tidak ada urusan. Tiba-tiba mendapat momentum dan seolah ada peran yang tidak sedikit, lalu kue itu dibagi.

Selain dibagi normal, ada juga yang berebut. Berusaha saling mencolek dari satu tangan ke tangan lain. Berbagai tangan ada yang sekali masuk dalam kotak kue yang memang terbatas. Jika ditamsilkan, begitulah dinamika kekinian.

Saya ingin bercerita bahwa di satu kampung, saya menyaksikan perkembangan pemilihan kepala kampungnya. Dari awal, saya mengikuti proses tersebut. Dan menyedihkan sekali. Kampung itu, sebelum ada undang-undang yang bicara tentang uang kampung, tidak banyak yang mau jadi kepala kampung. Ada satu tokoh yang bagi mereka mampu mengayomi masyarakatnya. Awalnya mereka berkeinginan untuk bersatu memilih calon pemimpin mereka itu. Tetapi rupanya peraturan tidak membolehkan begitu. Dalam setiap upaya mencari calon pemimpin, orang harus dikontestasikan. Calon pemimpin tidak boleh hanya satu. Untuk kampung yang calon hanya satu, tetap akan disanding dengan orang lain, yang namanya pengantar. Dalam bahasa lokal, ia dianggap seperti pengantar pengantin. Orang-orang yang hanya mengantar ke rumah pasangannya.

Menurut yang membuat peraturan, tidak demokratis bila pemimpin hanya satu. Setiap pemilihan seolah selalu harus berkontes, sehingga dalam kampung-kampung yang masyarakatnya hanya ingin menentukan satu calon pun, tidak bisa melakukannya. Orang yang memilih pun harus menggunakan haknya secara tertutup. Sekiranya ada karakter terbuka, di mana satu komunitas bisa memilih pemimpinnya dengan lapang dada, dianggap sebagai langkah mundur.

Soal satu atau dua calon, memang ada banyak kemungkinan. Satu calon, bisa saja muncul tidak secara alami. Munculnya calon tunggal bisa karena ada tekanan, agar calon lain redup. Apalagi jika calon tunggal itu kuat dan gagah. Para pendukungnya lalu memakai jurus mabuk, memalak sekiranya ada yang ingin menggunakan haknya untuk dipilih. Kemungkinan lain, calon tunggal akan memudahkan mengontrol kemungkinan lawan. Terutama mereka yang sedang berkuasa dan ingin maju lagi, biasanya peluang mereka lebih kuat karena didukung oleh mesin kekuasaan.

Sebaliknya, adakah yang menjamin bahwa ada calon lebih dari satu tidak ada muatan kepentingan di dalamnya. Fenomena antar pengantin itu jelas sekali bahwa bisa muncul calon pemimpin pinokio, yang pengaturnya juga calon lain yang lebih kuat. Bisa saja demikian.

Konon, belakangan, kabarnya, setelah banyak uang ingin ditumpahkan ke kampung-kampung, minat calon kepala kampung semakin banyak. Dalam masyarakat kita, dahulu kala, orang-orang yang ingin menjadi pemimpin, lebih dahulu mengukur diri. Orang yang memimpin, tidak hanya berkemampuan fisik, tetapi juga mental –jiwa dan raga. Alasan sederhana, karena orang yang menjadi rakyat, pada akhirnya akan melaporkan semua masalah yang dihadapi kepada pemimpin, agar diselesaikan. Dari awal, untuk memimpin kampung, sudah menyadari bahwa mereka dipilih untuk menyelesaikan masalah, bukan untuk membuat dan meninggalkan masalah. Atas dasar ini, pemimpin tidak boleh mengeluh.

Sekarang ini, ketika tumpuk diperkirakan makin besar, banyak muncul orang-orang yang –mohon maaf, persoalan diri saja belum terselesaikan. Dengan kondisi begitu, ditambah aroma kontestasi yang semakin lebat, banyak kampung yang masyarakatnya sudah berkotak-kotak. Pada posisi begitu, ada orang menganggap calon tunggal tidak bisa menyelesaikan masalah, namun bukan berarti calon tidak tunggal tidak meninggalkan banyak masalah.

Leave a Comment