Bahasa Jiwa

Menjenguk orang yang sedang dirawat di rumah sakit, bisa terlihat sejumlah hal yang bisa kita petik hikmahnya. Terutama orang yang sudah berusia lanjut, mengurusnya lebih rumit dari yang usia biasa. Mereka yang sudah berusia lanjut, …

Menjenguk orang yang sedang dirawat di rumah sakit, bisa terlihat sejumlah hal yang bisa kita petik hikmahnya. Terutama orang yang sudah berusia lanjut, mengurusnya lebih rumit dari yang usia biasa. Mereka yang sudah berusia lanjut, perilakunya bahkan sudah kembali seperti anak-anak. Rotasi perilaku dari perjalanan umum manusia, sudah terang disebutkan dalam al Quran, bahwa ketika seseorang pada usia tertentu, perilaku dan mentalnya sudah seperti anak-anak kembali.

Mereka yang mengurusi orang sakit, di rumah sakit, selain anggota keluarga, juga ada mereka yang berprofesi sebagai petugas medis. Melalui anggota keluarga dan petugas medis ini, kita bisa melihat bagaimana bahasa hati dipergunakan. Bahasa hati akan menjalar melalui perilaku dan tutur bahasa yang digunakan. Seperti orang yang sedang menyusun dan merangkai kata, dalam berkata-kata sekalipun, orang memungkinkan memilih kata-kata yang baik dan menyejukkan.

Tidak sedikit orang yang tambah bersemangat bukan karena terapi medis, melainkan karena penggunaan kata-kata yang enak. Ada orang yang merasa sudah sembuh ketika ditangani oleh orang yang ia rasa sangat enak bahasanya. Sebaliknya, orang-orang seperti kehilangan jiwa saat mendapatkan yang sebaliknya.

Kesehatan jiwa merupakan hal yang lain lagi. Orang yang sakit fisik bisa terganggu jiwa, namun mereka yang memang dari awal bermasalah dengan jiwa, memiliki ruang penanganan tersendiri.

Sudah beberapa kali saya berkesempatan –dengan sengaja—mengunjungi rumah sakit jiwa. Di luar kunjungan sengaja itu, ada juga kunjungan lain untuk menjenguk orang tertentu yang kebetulan sedang berobat di sana. Orang-orang yang berobat ke sini, atau yang dibawa keluarganya ke rumah sakit ini, adalah mereka yang secara nyata bermasalah dengan pikiran, perasaan, dan perilakunya. Mereka sudah tidak bisa membedakan yang mana yang halusinasi dan yang mana yang nyata. Ini yang akut, yang mungkin bagi mereka yang menderita di awal –berupa gejala-gejala—belum seperti yang disebutkan.

Saya tidak ingin membatasi diri dengan gejala orang sakit jiwa demikian. Saya ingin mengungkapkan yang lain, bahwa di luar mereka yang sebenarnya sudah berada dalam perawatan, masih ada di luar itu yang tidak bisa membedakan yang nyata dan yang tidak nyata. Orang yang secara fisik terlihat gagah dan sehat, pikiran juga sempurna, namun perilaku kadang cacat. Atau sebaliknya, fisik dan perilaku gagah, namun pikiran yang kacau.

Atas alasan itu, yang beberapa kali menggunakan waktu khusus untuk melihat secara langsung dan belajar beradaptasi dengan kehidupan mereka yang di sana. Dalam beberapa kali kesempatan tersebut, ketika sampai di pintu, saya melihat dua golongan yang sudah dipecahkan. Satu golongan masih di dalam ruangan, dengan pintu tertutup. Satu golongan lain sudah ada di luar ruangan. Mereka sebenarnya sedikit bebas, namun tetap dikontrol dan pada waktunya akan masuk ke ruangan. Untuk golongan ini, ada beberapa orang yang sudah bisa beradaptasi, misalnya membantu aktivitas tertentu di sekitar rumah sakit. Orang ini sudah mampu melakukan tugas-tugas tertentu yang diberikan, misalnya meminta bantu foto kopi, dan semacamnya.

Ketika masuk ke ruangan mereka, ada dua hal yang umumnya diminta, rokok sebatang atau uang Rp seribu. Dalam beberapa kesempatan saya berkunjung ke sini, dua hal itu yang sering diminta. Saya membawa uang ribuan, dan tidak pernah membawa rokok.

Hal lain yang terasa, dari mereka yang masih di ruangan tertutup adalah, menertawakan kita yang datang. Saya tidak mampu menangkap mengapa mereka menertawakan saya yang datang. Sekiranya saya menebak-nebak, mungkin mereka menganggap kita yang melebihi dari apa yang mereka derita. Entahlah.

Orang-orang yang sehat jiwa dan raga, tidak ada salahnya untuk sering-sering belajar dari mereka yang menderita salah satunya. Ketabahan orang sakit raga atau mereka yang menderita sakit jiwa. Dua-duanya harus didekati secara manusiawi. Orang sakit tidak boleh ditinggalkan begitu saja. Dengan mengunjungi orang sakit, di satu sisi akan muncul rasa syukur, di sisi lain akan memberi semangat untuk sembuh bagi mereka yang sakit.

Mereka yang sakit jiwa, juga tidak boleh ditinggalkan. Mereka harus kita dekati dengan sepenuh jiwa, bukan ditinggalkan begitu saja. Sekiranya kita tanya ahli media, baik yang jiwa atau bukan, komunikasi yang baik rasanya menjadi salah satu jalan ampuh yang menyembuhkan orang sakit.

Leave a Comment