Lubang Jalan

Pagi tadi, saat mengajar tentang pemerintahan, saya sebut tentang lubang di jalan. Dalam minggu ini, sudah dua kali saya pulang kampung. Kepentingan menjenguk orang tua. Lalu ada famili yang meninggal, pulang lagi untuk bertakziah. Saya …

Pagi tadi, saat mengajar tentang pemerintahan, saya sebut tentang lubang di jalan. Dalam minggu ini, sudah dua kali saya pulang kampung. Kepentingan menjenguk orang tua. Lalu ada famili yang meninggal, pulang lagi untuk bertakziah. Saya bercerita ke mahasiswa bahwa sepanjang perjalanan, saya menghitung jumlah lubang. Bukan apa-apa. Lubang di jalan itu, sebagian sudah sangat membahayakan. Bukan sembarang lubang. Ada yang cukup riskan bagi kendaraan roda dua. Tidak sedikit pula yang akan membahayakan bagi mobil bila terperosok ke dalamnya. Tapi respons dari mahasiswa juga menarik bagi saya.

Dari rumah saya hingga sampai di perbatasan Pidie dan Pidie Jaya, saya temui 11 lubang yang tergolong riskan. Lalu dari Lueng Putu itu (perbatasan Pidie dan Pidie jaya), hingga sampai di perbatasan Pidie dan Aceh Besar, saya menghitung 226 lubang. Sedangkan dari sana hingga ke Lambaro, mencapai 351 lubang. Siang itu, saya menghitung 588 lubang di jalan. Sebagian lubang menganga siapa pun bisa melihatnya. Di sejumlah jembatan penting, lubang itu lebar dan panjang, seperti tidak ada yang peduli. Belum lagi lubang yang tingkat kedalamnya mengerikan. Begitulah kondisi jalan kita, jalan nasional. Dan tadi ketika saya ceritakan tentang lubang ini, mahasiswa heran dan sebagian memilih tertawa.

Saya dengar sayub beberapa kata mahasiswa: kok saya bisa mengingat jumlah lubang. Sesampai di rumah, hari itu, soal lubang ini saya buat status. Sebagian saya sampaikan kepada orang yang saya kenal. Bukan apa-apa, hanya untuk saling mengingatkan. Tapi soal saya cerita ke mahasiswa, saya melihat dalam perspektif pengetahuan. Pertanyaan ke mahasiswa, apakah mereka yang bertanggung jawab terhadap jalan merasa gelisahkah dengan kondisi jalan yang begini? Jika ada merasa gelisah, bagaimana bisa lubang itu dibiarkan berwaktu-waktu.

Saat status itu saya buat, sejumlah orang mengirimkan kisahnya kecelakaan di jalan karena lubang. Salah satunya mahasiswa yang sedang saya bimbing karya tulisnya. Ketika orang tidak mempermasalahkan, bisa jadi karena berpikir tentang kesejahteraan umum yang masih lemah. Bagaimana bisa kendaraan kita membayar pajak dengan baik, sedangkan di jalan yang digunakan, kondisinya banyak titik membahayakan? Lalu jika kemudian ada orang yang mengalami kecelakaan menggugatnya untuk menuntut keadilan, lantas kita anggapkah itu sebagai bagian dari mempermasalahkan negara?

Berhadapan dengan mereka yang tidak gelisah dengan ancaman jiwa orang, seolah terbiasa di tempat-tempat yang tidak peduli pada kebahagiaan semua. Sepertinya kita sedang merasa sakit dan tidak peduli pada hal krusial yang mengancam nyawa manusia, seolah ia tidak berharga. Menceritakan hal ini sebagai bahan pengetahuan di dalam kelas, ternyata tidak selalu bisa ditangkap makna hakikinya. Sebagian malah terfokus untuk hal yang seolah ia remeh temeh.

Dengan demikian, tidak semua orang fokus pada substansi. Sebagian kita mungkin sibuk mempertanyakan mengapa remeh-temeh ini menjadi penting diangkat. Bagi Sebagian orang, tidak gelisah karena merasa lubang itu hanya soal remeh-temeh. Begitu sederhana kita beranggapan tentang lubang, sehingga jika ada pengendara yang kecelakaan karena terperosok dalam lubang, kita sudah tidak mempermasalahkannya. Sebulan yang lalu, saya berangkat ke Langsa, dalam kondisi sedikit hujan sehingga tidak bisa meraba-raba lubang yang ada di jalan karena ada air, ban mobil meletus. Dalam kondisi hujan, mengapa hal yang begitu, disebabkan karena lubang di jalan. Pada posisi seperti ini pun, kita seperti terpaksa memilih tidak bersuara apa-apa.

Leave a Comment