Amanah

Apa yang kita lakukan, selalu akan ada pertanggungjawaban. Tiga pertanyaan pokok yang akan berhadapan dengan masing-masing orang, adalah: dari mana dan dikemanakan harta kita? Untuk urusan apa kita habiskan? Dengan demikian, semua hal, selalu akan …

Apa yang kita lakukan, selalu akan ada pertanggungjawaban. Tiga pertanyaan pokok yang akan berhadapan dengan masing-masing orang, adalah: dari mana dan dikemanakan harta kita? Untuk urusan apa kita habiskan?

Dengan demikian, semua hal, selalu akan ada pertanyaan, kita manfaatkan untuk yang baik atau buruk? Termasuk dalam hal ini adalah amanah. Kata ini sangat luas sekali maksudnya. Namun jika ingin fokus, dapat disebut ia sebagai titipan. Sesuatu yang sementara dititipkan kepada kita, baik itu harta, anak, maupun kuasa atau jabatan.

Sayangnya banyak kita yang sering lupa diri. Ketika mendapatkan amanah atau titipan, kita sering berpikir mumpung. Ketika berpikir demikian, amanah atau titipan itu tidak diterima dengan lapang dada dan penuh tanggung jawab, melainkan dikejar-kejar sekuat tenaga.

Sindrom jabatan, sering menghinggap. Makanya mencari-cari jabatan dianggap bukan sesuatu yang aneh dalam kehidupan kekinian. Mungkin tampak ada yang berbeda. Kalau dahulu, orang menolak ketika diberikan jabatan. Kini, orang malah melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan jabatan itu. Bahkan tidak saja dengan melakukan hal-hal yang legal. Untuk memperoleh jabatan, tidak jarang, orang melakukan hal-hal yang tidak legal. Ironisnya, hal yang tidak rasional pun ada yang dilakukan.

Pada taraf terakhir, boleh dibilang sudah pada level menuhankan jabatan. Pada level ini, apabila tidak memiliki jabatan, akan merasakan dunia ini gelap. Karena kehilangan jabatan, keluarganya digadai-gadai.

Anehnya, apabila orang-orang yang menolak diberikan jabatan, pada masa sekarang, justru dianggap aneh. Tidak jarang dianggap gila, tidak normal, dan semacamnya. Dalam bahasa komunitas, kondisi demikian bisa dimasukkan dalam kategori merusak sistem. Maksudnya ada suatu pola yang sudah jamak dilakukan, ketika ada seseorang yang tidak melakukan atau tidak mau melakukan, dianggap bukan hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga merugikan orang lain.

Seseorang yang mendapatkan jabatan, seringkali tidak berhenti pada kepentingan dirinya. Sebuah jabatan bisa jadi terkait dengan banyak orang lain. Makanya tidak mengherankan ketika seseorang harus memperoleh jabatan dengan iming-iming tertentu, maka akan ada yang menanggung iming-iming itu. Pihak ketiga yang menanggung iming-iming demikian, juga pada dasarnya sedang membentuk iming-iming yang lebih besar. Dalam interaksi, namanya kepentingan, baik materi maupun non materi.

Untuk jabatan yang lebih besar, modal –katakanlah demikian—yang dikeluarkan bisa jadi lebih besar. Tentu sebanding dengan iming-iming sesudahnya.

Ironisnya kondisi demikian tidak bisa dikejar oleh hukum. Hukum hanya menjangkau yang dianggap lebih konkret. Untuk iming-iming, katanya masih sulit dibuktikan –walau tidak jarang terjadi di depan mata.

Kekuatan untuk membenci ini harus mulai dibangun. Orang-orang yang mengejar jabatan, orang-orang yang berkepentingan dengan jabatan, orang-orang yang memberi dan menerima iming-iming untuk jabatan, pada dasarnya seperti komplotan. Semua bisa terlibat.

Namun apa yang terjadi sekarang? Justru untuk iming-iming yang super besar dibiarkan dan dianggap bukan masalah. Malah orang-orang yang dekat dengan lingkaran demikian dianggap hebat dan maju.

Kondisi demikian pula yang menyebabkan, dalam satu diskusi, ada yang tanya, mengapa orang-orang kenyataannya suka mencari jabatan? Waktu itu ada yang menjawab begini: karena ketika mendapat jabatan, ketika mendapat kuasa, kita lebih enak mengontrol kiri kanan. Lebih kasar lagi, dengan ada jabatan, dengan ada kuasa, tidak jarang membalas dendam kesumat untuk para pelawan.

Kita harus mengingatkan kepada semua pemegang jabatan –apapun—bahwa jabatan adalah amanah. Orang-orang sudah tahu jabatan bukan hanya harus dipertanggungjawaban kepada sesama manusia, tetapi juga Pencipta. Manusia boleh dipermainkan, tetapi Pencipta tidak. Percayalah.

Leave a Comment