Orang sering mempertentangkan antara yang namanya teori dan praktik. Orang-orang yang menguasai teori saja, menyebut praktik bukan urusannya. Sedangkan mereka yang selalu berhadapan dengan praktik, berpikir bahwa mereka yang hanya berkutat pada teori, seperti berada di atas awan, tidak di landasan bumi.
Tidak ada yang salah dengan teori dan praktik. Masing-masing memiliki guna. Orang yang berteori, ketika menjauhkan praktik, bisa tidak aplikatif apa yang dipikirkan. Sebaliknya, mereka yang praktik berangkat dari kekosongan teori, juga bukan langkah yang bijak.
Intinya ada ruang untuk dipertemukan. Perdebatan yang saling mengkotak-kotakkan bukan lagi jalan keluar. Namun bukan berarti tidak menerima orang yang hanya mampu berteori atau berpraktik saja. Biarlah orang yang mampu berteori, menggunakan ilmunya itu untuk memberi masukan kepada yang berpraktik. Demikian juga dengan mereka yang berada di garik praktik, tidak usah mempermasalahkan jika ada masukan dari kaum pemberi yang menggeluti teori.
Suatu kali saya mendapat kesempatan bersama-sama dengan mereka yang sudah pernah belajar agama di negara lain. Ketika mendapat kesempatan emas demikian, saya rasa, bukan kesempatan biasa. Saya sering berpapasan, namun sangat jarang berdiskusi dan saling mendengar satu sama lain. Kali saya, saya duduk di baris yang sama bangku pesawat dalam suatu perjalanan.
Ada banyak hal yang bisa kita dengar. Mulai dari ilmunya hingga cara mereka mendapatkan ilmu atau proses. Dua-duanya menarik. Orang yang banyak mendapatkan ilmu, tidak melupakan prosesnya karena ternyata ada banyak jalan berliku. Seorang yang sudah berpendidikan tinggi dan berilmu dalam, dengan proses yang panjang, tentu akan melahirkan usaha untuk mengembangkannya lebih keras lagi.
Di samping itu, juga ada banyak ragam lainnya. Mendapatkan ilmu tidak saja di tempat yang tepat, melainkan juga dari orang-orang yang tepat. Karena dalam perkembangannya, kalau kita lihat, apa yang ada dalam kenyataan banyak kebalikannya. Orang banyak mendapatkan ilmu dari tempat yang tidak tepat, juga dari orang yang sangat tidak tepat.
Orang yang duduk di samping saya dalam pesawat, bercerita tentang dua-duanya sekaligus. Ketika awal masuk ke tempat pendidikan, ia mendapatkan banyak hal sekaligus. Ia harus mengurusi kebutuhan diri sendiri dalam berbagai hal. Untuk melaksanakan ibadah, karena di awalnya ia termasuk orang yang tidak disiplin, komitmen kedisiplinnya digembleng. Contoh paling dekat adalah jadwal pelaksanaan shalat dan masuk kelas. Pada saat yang sama, ia juga mendapatkan keteladanan langsung dari guru-gurunya.
Perbicaraan kami kemudian fokus kepada sikap teladan. Sikap ini sangat penting karena dalam kenyataan, ada orang yang diketahui pandai namun tidak direalisasikan kepandaiannya dalam kehidupan. Banyak orang yang memahami agama secara fasih, namun giliran mempraktikkan dalam kenyataan, seperti berat. Jelas ada kesenjangan antara dua hal ini. Dan seyogianya dua-duanya saling menuntun untuk kehidupan yang lebih baik.
Saya menceritakan kepadanya. Suatu kali saya pernah melihat orang-orang dengan memakai simbol-simbol keulamaan, namun dalam praktiknya tidak santun kepada orang. Orang yang menutup aurat namun suka memamer kesombongan dalam bentuk lain. Orang yang rajin beribadah, tetapi tidak tercermin dalam sikap hidupnya yang arogan. Bukan berarti bahwa orang boleh membuka aurat atau meninggalkan ibadah. Karena dua hal itu berbeda. Idealnya orang yang melakukan ibadah, akan terbawa dalam kehidupannya secara nyata. Namun demikian ketika ada orang yang rajin beribadah lalu sikapnya tidak bisa dijadikan teladan, maka bukan berarti kita boleh meninggalkan ibadah.
Orang yang duduk di samping saya, menceritakan biografi Nabi Muhammad saw dengan fasih. Katanya, melalui beliaulah seluruh jiwa raga yang seharusnya bisa diteladani. Orang yang mendapatkan akhlak beliau, tetapi tidak menerapkannya dalam kehidupan nyata, pada dasarnya sama dengan mengabaikannya.
Sebelum mendengar lebih mendalam, petugas sudah mengumumkan, “waktu mendarat telah tiba, silakan pasang sabuk pengaman, menegakkan sandaran kursi, membuka penutup jendela…”