Menulislah untuk Rakyat, Menyambut 32 Tahun Serambi Indonesia

Judul tulisan ini, saya kutip dari pesan seorang guru besar saat ujian terbuka doktoral saya di Universitas Diponegoro, Semarang. Menulislah untuk rakyat. Dimaksudkan agar seorang terpelajar itu senantiasa berusaha menyampaikan pengetahuan untuk publik. Ruang sosial …

Judul tulisan ini, saya kutip dari pesan seorang guru besar saat ujian terbuka doktoral saya di Universitas Diponegoro, Semarang. Menulislah untuk rakyat. Dimaksudkan agar seorang terpelajar itu senantiasa berusaha menyampaikan pengetahuan untuk publik. Ruang sosial membutuhkan orang-orang yang akan memberi pencerahan sekaligus pemahaman terkait masalah yang timbul dalam masyarakat.

Kata-kata ini sendiri keluar dari tim promotor saya saat diperkenalkan kepada hadirin. Setiap mahasiswa yang akan ujian, terlebih dahulu diperkenalkan oleh tim promotor kepada semua undangan yang hadir. Perkenalan itu disampaikan melalui sebuah riwayat hidup singkat yang sengaja disusun. Waktu itu saya menyusun riwayat hidup dengan menyertakan pengalaman menulis opini di Serambi Indonesia dalam waktu setahun terakhir (kalau tidak salah jumlahnya delapan). Tidak saya duga, promotor saya justru memberi perhatian pada karya ini ketimbang membacakan artikel-artikel yang pernah saya tulis pada jurnal ilmiah, baik nasional maupun internasional.

Ada catatan penting yang diberikannya saat itu. Pertama, tidak mudah menulis opini karena ia mewakili bahasa publik. Tidak semua orang kampus mampu menyampaikan dengan kadar bahasa publik. Seorang penulis juga harus mampu menyampaikan sesuatu secara tuntas dalam karya singkat sekitar 600-800 kata saja. Kedua, opini langsung berhadapan dengan rasa dan simpati pembaca publik. Suka atau tidaknya seorang pembaca, akan langsung dikomentari dan bisa didengar oleh orang-orang lain yang membacanya. Pembaca bisa memberikan pendapatnya tentang penulis dan apa yang dituliskannya itu secara terbuka. Ketiga, secara tidak langsung, penulis opini itu berusaha menyelesaikan masalah-masalah yang muncul dalam masyarakat. Keadaan ini bisa saja berdampak positif dan negatif bagi kampus. Untuk hal yang tidak menimbulkan pro-kontra, maka akan menaikkan pamor kampus. Sebaliknya, jika sebuah karya menimbulkan perdebatan, bisa saja akan berdampak negatif bagi kampus.

Tiga alasan itulah, menjadi pertimbangan pengalaman menulis opini dibacakan di depan undangan. Seorang penulis publik, dipandang sudah menggunakan rasa dan batin publik dalam menulis. Atas dasar itu, saya dititip pesan untuk terus menulis untuk publik.

 

Menjaga keseimbangan

Tentu sebagai seorang akademisi, kami juga dituntut untuk bisa mengkomunikasikan hasil-hasil temuan dalam jurnal-jurnal ilmiah. Tidak berhenti pada opini saja. Dengan demikian, penting menyeimbangkan menulis di jurnal dengan di suratkabar.

Masalahnya adalah kepiawaian menulis dalam jurnal ilmiah juga dibutuhkan. Dengan karakter yang berbeda dibandingkan bahasa yang digunakan dalam menulis opini, artikel ilmiah dimaksudkan sebagai hasil pemikiran akademisi dalam menyelesaikan suatu masalah dengan rumus ilmiah. Jurnal penting dalam rangka mengkomunikasikan berbagai temuan dan pemikiran ilmiah. Namun seorang akademisi, tidak boleh melupakan untuk menulis dalam suratkabar yang beredar secara luas untuk masyarakat.

Ada sesuatu yang berbeda antara jurnal yang terbit secara berkala dengan koran yang terbit tiap hari dan menyebar ke ruang-ruang publik. Jurnal disampaikan dengan bahasan dan struktur yang ilmiah. Berbeda dengan koran, yang sebagiannya dengan menggunakan bahasa sehari-hari. Dari aspek ini, mungkin apa yang disampaikan melalui koran jauh lebih dijangkau secara cepat bagi publik.

Kelebihan itulah, bisa digunakan oleh orang pandai untuk menyampaikan pikirannya dengan bahasa rakyat. Dengan bahasa yang dipahami oleh mereka yang membutuhkan. Sekali lagi, langkah ini juga tak hendak menyebutkan ruang ini lebih penting dibandingkan dengan yang lain. Yang jelas semua ruang harus dimanfaatkan untuk kemaslahatan orang banyak.

Sama seperti menulis di jurnal, tujuan menulis di koran juga terkait agar perkembangan ilmu pengetahuan dan tawaran pemikiran dapat berlangsung dan dipahami oleh masyarakat bawah. Apalagi menulis di koran juga memiliki kesulitan tersendiri. Seseorang harus memahami kemampuan dalam penyampaikan yang mudah dipahami orang banyak, terutama ketika menulis terkait apa yang akan disampaikan untuk masyarakat bawah.

 

Pertama dimuat

Saya tidak ingat persis tahun berapa pertama menulis opini di koran Serambi Indonesia. Ada dua hal yang pasti. Pertama, saya menulis sejak mahasiswa, masuk Universitas Syiah Kuala tahun 1996 dan mulai aktif di Bagian Hubungan Masyarakat Biro Rektor setahun kemudian. Sejak 1996 sudah mendapat kesempatan aktif di Senat Mahasiswa, hingga tahun 2000 dipercayakan memimpin Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM). Jika merujuk pada waktu ini, kemungkinan karya di koran ini pertama dimuat dalam rentang tahun 1997-1998.

Kedua, selain opini, saya juga di awal-awal pernah mengisi satu esai budaya. Saya ingat, seminggu sebelum dimuat, saya diperkenalkan secara khusus oleh Nurdin F Joes kepada almarhum Hasyim KS. Perkenalan ini karena Hasyim KS dalam satu forum menanyakan kepada seniman siapa yang mengenal nama saya. Waktu itu, kalau tidak salah, Nurdin F Joes yang menanggapi. Kesan saya waktu adalah betapa pentingnya seseorang yang bisa tembus kolom budaya tersebut. Setelah ini, opini pun mulai saya isi.

Suatu kali, saat awal-awal kantor Serambi Indonesia pindah ke tempat sekarang ini, saya pernah datang untuk menelusuri dokumen opini. Saya berharap ada catatan yang bisa ditelusuri, menyangkut kapan persisnya pertama saya menulis, serta melacak sesungguhnya sudah berapa karya yang dimuat koran ini sepanjang lebih 20 tahun saya menulis.

Dalam rentang waktu tersebut, secara pribadi saya juga merasakan dampak. Saya hanya ingin melukiskan dampak positif, yakni ketika nama disebut, orang akan langsung merasa dekat dan familiar. Untuk kawasan-kawasan yang di ujung kampung pun, selama di sana terjangkau dengan koran, maka mereka dengan mudah mengingat nama.

Satu pertanyaan dari seorang teman yang terlalu muluk bila saya jawab. Pertanyaannya adalah seberapa besar kontribusi saya terhadap Serambi. Untuk jawaban ini, rasanya terlalu kecil kontribusi. Sebaliknya saya merasakan hal-hal positif dan strategis dengan menulis opini di halaman ini. Saya berusaha mengingat pesan guru, menulislah untuk orang banyak, sepanjang waktu, selama hayat masih dikandung badan. (st_aceh@yahoo.co.id)

Serambi Indonesia, 9 Februari 2021
https://aceh.tribunnews.com/2021/02/09/menulislah-untuk-rakyat

Leave a Comment