Anak-anak

Tidak perlu memarahi anak-anak yang datang ke tempat ibadah. Mereka, anak-anak kita, saat berkumpul sesamanya, memiliki rasa tersendiri. Perhatikanlah anak-anak yang bahkan di rumah agak diam, mungkin di sini mereka akan bergembira. Ada rasa tertentu …

Tidak perlu memarahi anak-anak yang datang ke tempat ibadah. Mereka, anak-anak kita, saat berkumpul sesamanya, memiliki rasa tersendiri. Perhatikanlah anak-anak yang bahkan di rumah agak diam, mungkin di sini mereka akan bergembira. Ada rasa tertentu yang membuat mereka bisa bergembira. Konteks gembira yang saya maksud adalah anak-anak yang bertemu dengan teman seusianya.

Orang tua hanya perlu mengarahkan. Hal yang perlu dilakukan menstimulus mereka agar selalu datang saat ibadah, namun mereka menahan diri dari berbagai hal yang dapat mengganggu. Sekali lagi bahwa tidak perlu memarahi, karena bagaimana rasa orang tua akan berpengaruh terhadap mereka.

Sayang sekali kalau orang tua yang memarahi anak, lalu mereka memilih untuk tidak datang lagi dan memilih tempat lain. Di sinilah orang tua tidak boleh egois, mereka harus bersedia membantu anak-anak mengarahkan untuk mendapatkan jalannya yang lurus.

Bukankah itu yang kita rasakan? Dalam bulan ini, anak-anak juga membuat kemeriahan tersendiri. Maklum, biasanya anak-anak memang suka ramai. Semakin banyak orang, kadangkala bisa membuat mereka semakin gembira. Sebaliknya, ada orang dewasa yang tidak merasa bahagia berada di tempat yang dipenuhi anak-anak. Anak yang sudah terlatih, bisa menyalurkan kebahagiaannya secara positif. Namun anak-anak yang masih berproses, biasanya cenderung membuat keramaian tersendiri.

Tidak ada yang harus disalahkan. Sudah begitu adanya. Tinggal saja bagaimana anak-anak diarahkan, dengan cara yang diterima oleh anak. Orang dewasa sering keliru, karena menganggap segala hal dengan alat ukur orang dewasa. Cara inilah yang harus diubah. Orang dewasa harus masuk ke dunia anak-anak untuk memahami bagaimana sesungguhnya mereka. Intinya adalah pada cara memahami. Proses ini membutuhkan kesabaran, tentu saja.

Namun tahukah kita, bahwa kondisi anak-anak tersebut juga dipicu oleh keramaian orang dewasa juga. Dalam bulan ini, sudah menjadi kebiasaan, orang tua juga semakin rajin. Lantas, bila mengikuti kebiasaan tahun-tahun sebelumnya, sesudah bulan ini selesai, maka kondisi kembali seperti semula. Mari kita berdoa, semoga hal itu tidak terulang, dan semoga tahun-tahun mendatang, sepanjang waktu, beginilah ramainya orang beribadah.

Keramaian di bulan suci ini karena dalam bulan penuh rahmat, semua orang mengejar kelebihan. Ganjaran yang besar disediakan bagi mereka yang benar-benar melaksanakannya. Namun seharusnya tidak terputus. Hikmah dari bulan ini, seharusnya juga makin membuat dan memperkuat kondisi yang sama pada bulan-bulan sesudahnya. Jangan sampai masjid dan meunasah hanya tidak cukup tempat ketika bulan ini datang, sedang begitu selesai, lalu semua karpet, sajadah baru, dan sebagainya, digulung kembali untuk disimpan. Jamaah kembali hanya pada posisi satu atau dua shaf saja. Sekali lagi, mari kita berdoa agar ia tidak terjadi.

Kondisi ini yang seharusnya dijaga. Bahwa sesudah bulan ini, suasana juga sama. Dengan demikian, anak-anak yang sebagian mereka merasa gembira dengan suasana ramai, akan terus merasakan kegembiraannya. Tidak kemudian terputus. Penting anak-anak dijaga kegembiraan, agar mereka juga bersemangat untuk berada dalam kondisi yang gemilang.

Bukan berarti keberadaan mereka juga dibiarkan begitu saja. Perlu ada pengarahan. Dalam suasana seperti itu, walau dengan perasaan gembira, perlu dijaga ketertiban dan ketenangan suasana. Tidak boleh hanya beralasan bahwa sudah kondisi anak memang demikian. Di sinilah perlu peran orang tua untuk mengarahkan perilaku anak.

Ketika saya masih kecil, posisi kami selalu diatur dan ada orang yang mengaturnya. Anak-anak ketika dalam suasana ini tidak larut dengan rasa gembiranya sendiri sesama anak-anak. Mereka juga perlu dibimbing untuk menjaga kondisi orang tua. Demikian juga sebaliknya. Ada posisi saling menjaga. Orang tua juga perlu menjaga kenyamanan anak-anak ketika mereka dalam tempat demikian. Makanya dengan adanya pengaturan, membuat keadaan tidak terkotak sendiri-sendiri.

Kondisi ini sebenarnya juga cermin ruang kita yang lebih luas. Seorang yang masih sedikit pengalaman, perlu mendapatkan pengalaman yang lebih agar seseorang tidak terus terjebak dalam rasa dalam dirinya sendiri. Orang yang masih kurang, harus dibantu oleh orang yang memang sudah mapan. Demikian sebaliknya, tidak boleh orang yang mapan semena-mena terhadap orang yang kurang hanya karena mereka selaku penerima. Konteksnya bisa berbagai macam: materi maupun nonmateri. Orang yang memiliki ilmu tinggi sekalipun, harus membagi ilmu dengan kesantunan, bukan dengan arogan. Apalagi orang yang masih kurang ilmu, juga tidak boleh arogan dalam menerima ilmu dari mereka yang sudah mapan berilmu.

Seperti kondisi anak-anak yang berada dalam keramaian orang tua, maka mereka yang mendapatkan ilmu akan merasakan kebahagiaan beriringan dengan rasa gembira yang dirasakannya. Dua-duanya bisa didapatkan sekaligus apabila semuanya bisa melaksanakan peran dalam mengelola hidup secara optimal. Jadi mengapa merasa tidak bisa?

Jadi orang tua memang harus membiarkan mereka merasakan kebahagiaan dengan jalan diarahkan. Anak-anak sebagaimana mentalitasnya yang masih tumbuh, harus dipacu dengan semangat yang terarah, bukan dengan marah. Membutuhkan kesantunan dari orang tua dalam mengarahkan anak-anak yang datang ke tempat ibadah. Kesantunan ini tidak boleh luntur, namun ia boleh lentur. Maka perlu orang-orang khusus yang mampu menjaga stabilitas mentalitas ini.

Leave a Comment