Etika Perang

Suatu kali, saya membaca sejumlah buku sejarah Islam, terutama yang terkait dengan etika perang yang berlangsung antara waktu lima abad pertama Islam menjadi kekuatan penting dunia. Pertanyaannya apakah dalam perang mengenal etika? Ini pertanyaan yang …

Suatu kali, saya membaca sejumlah buku sejarah Islam, terutama yang terkait dengan etika perang yang berlangsung antara waktu lima abad pertama Islam menjadi kekuatan penting dunia. Pertanyaannya apakah dalam perang mengenal etika? Ini pertanyaan yang menarik. Dari segi konsep, etika itu, oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebut sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Dari sejarahnya, usaha untuk mendapatkan apa yang menjadi etika itu, sudah dilakukan manusia berpuluh abad yang lalu. Sesuatu yang baik dan buruk, pada akhirnya bisa diverifikasi melalui perilaku. Maka sesuatu perilaku yang sudah dianggap baik, ketika ia akan melahirkan implikasi yang buruk, secara konsep juga akan ditelusuri hingga ke dasar.

Lantas mengapa etika ini dibutuhkan dalam perang? Nah membaca perjalanan sejarah dari dulu hingga sekarang, perang berlangsung dari satu waktu ke waktu lain. Sebagian orang beranggapan bahwa ada saja perang yang tidak mungkin dihindari –dalam perjalanannya. Ketika ada yang beranggapan demikian, jalur alternatif pun dipersiapkan, antara lain mengurut kembali pihak-pihak yang akan berperang. Dalam masyarakat tertentu, orang-orang di dalamnya bisa dibagi ke dalam tiga kekuatan (dua kekuatan aktif, satu kekuatan pasif). Pertama, kekuatan utama mereka yang ikut secara langsung melalui fisiknya untuk berperang. Orang-orang memiliki fisik yang kokoh dan kuat, akan mengisi kekuatan ini, dengan berbagai ajaran, ideologi, dan kepentingan di belakangnya. Kedua, ada kekuatan lapis kedua sebagai pihak yang mendukung mereka yang berperang. Pada lapis ini, mereka yang menyediakan alat berperang, alat untuk bertahan semacam pakaian besi, mengisi barisan untuk mengobati mereka yang menjadi korban, serta orang-orang yang mempersiapkan makanan dan minuman. Ketiga, golongan pasif yang biasanya mereka hanya menunggui kampung mereka. Apapun kemungkinan, apakah menang atau kalah, golongan pasif ini tetap akan mendapatkan eksesnya.

Saya ingin mengungkapkan bagaimana potret perang pada masa lalu itu, yang saya sebut sebagai perang sangat gentlement. Mereka yang ingin berperang, menyepakati waktu dan tempat; kapan dan dimana mereka akan berperang dengan saling berhadap-hadapan. Lawan yang akan dihadapi dengan jelas ada di depan mata, dan bukannya berada di suatu tempat yang tidak bisa dipandang.

Begitulah. Saya ingin berbicara pada golongan yang ketiga ini. Mereka umumnya (sebagian) perempuan, orang tua, orang cacat, dan anak-anak. Golongan yang disebutkan ini umumnya membutuhkan keberpihakan dalam hal apapun. Etika yang saya maksud penting untuk menjaga mereka yang berada pada golongan demikian. Orang-orang yang ketika kalah berperang, pihak yang pasif ini akan tetap mendapatkan hak hidup. Mereka bisa memilih kehidupan untuk dilanjutkan. Pilihan ini berbeda dengan mereka yang ikut berperang, biasanya menyerah sekalipun akan tetap mendapatkan hukuman.

Dalam sejumlah catatan disebutkan tidak boleh mereka yang pasif ini diperlakukan secara tidak manusiawi, baik dengan fisik, mental, maupun sisi tertentu yang tidak terlihat. Mereka tidak boleh diperangi ketika pihaknya sudah kalah dan hancur-lebur. Mereka juga tidak boleh disakiti, sebagaimana ada negara yang kalah perang, lalu menyiram bom kimia untuk mereka yang sudah tidak mampu bergerak. Itulah rumus perang yang semakin modern zaman, ternyata sudah mulai ditinggalkan. Kita hidup di zaman yang manusia di dalamnya sudah tidak bernilai. Tangan-tangan baja dan bengis, dalam waktu sekejap bisa menghabiskan ribuan manusia: terang-terangan maupun dengan pelan-pelan dan tidak terlihat.

Leave a Comment