Cabul

Konten porno itu tidak sederhana. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi definisi istilah porno yang sama dengan pornografi dan cabul. Pornografi adalah: “(1) penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; …

Konten porno itu tidak sederhana. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi definisi istilah porno yang sama dengan pornografi dan cabul. Pornografi adalah: “(1) penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; (2) bahan bacaan yang sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks”. Sedangkan kata cabul, adalah “keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan)”.

Dengan dasar itu, maka konten porno bukan sesuatu yang netral. Maksudnya dari awal ia dilahirkan, memang sudah muncul sejumlah kepentingan. Bisa jadi orang-orang akan berbeda menanggapi ragam kepentingan itu. Karena posisi beragam, maka tanggapan orang yang menghukum pelaku dan pembuat porno, juga beragam. Tidak sedikit orang yang menganggap porno, walau ia sudah dihadirkan ke ruang publik, masih dianggap sebagai wilayahnya individu dan privat.

Seharusnya ketika ia sudah menyebar seperti virus, karena memang ada agenda dan maksud, kemudian sudah bisa dijangkau oleh publik, ia tidak lagi masalah pribadi masing-masing. Sesuatu yang sudah menjangkau publik lebih luas, maka efek juga akan semakin meluas. Oleh karena itu, penanganan yang serius merupakan langkah penting.

Bagi saya, konten semacam ini akhirnya akan mematikan mentalitas. Sekira dua minggu lalu saya menerima kiriman seseorang yang sebenarnya isi yang disampaikan sudah viral. Dalam sebuah seminar, seorang psikiater menyebutkan fenomena yang bagi saya sungguh mengerikan. Anak-anak yang masih seusia sekolah menengah, sudah terbiasa bukan saja dengan mengakses konten porno yang media dan ruangnya sudah sangat bebas, melainkan mereka sendiri yang melakukan hal demikian. Ironisnya semakin longgar orang tua memberi perhatian kepada anak-anaknya, sehingga tak jarang perilaku yang demikian justru terjadi di rumah masing-masing.

Dalam satu grup pertemanan yang lain, saya juga mendapatkan kiriman mengenai sebuah surat yang ditemukan seorang guru kelas sebuah sekolah dasar. Isi surat itu adalah permintaan hadiah untuk dicium oleh lawan jenisnya, yang sudah dianggap sebagai pacarnya. Apa yang terjadi ketika seorang anak berusia sekolah dasar, menulis surat menggunakan bahasa, misalnya (maaf) “sudah lama tidak making love”. Pembicaraan demikian, yang mana untuk orang dewasa saja tidak layak diungkapkan untuk orang yang bukan pasangannya yang sah.

Namun bukankah berbagai fenomena tidak berlalu dengan sendirinya? Jika mengacu makna porno, maka keterkaitan dengan desain besar pasti ada. Tetapi siapakah yang mendesain itu secara global dan apa kepentingannya? Entah.

Sebagai catatan, ada satu teman saya lagi, mengirim satu berita yang menurut saya juga lebih mengerikan. Tahun 2016, negeri kita menjadi pengunduh konten porno nomor dua di dunia, setelah Amerika. Padahal sebelumnya, berada di urutan ketiga dan keenam. Dan yang lebih mencengangkan, pengunduh berbagai konten tersebut, didominasi oleh usia remaja.

Di dunia, selama dikenal konten porno diunduh oleh orang-orang di sejumlah negara, yakni Amerika Serikat, Indonesia, Inggris, Jerman, Prancis, Kanada, Jepang, Australia, dan merambah ke Turki, Kepulauan Virginia. Dalam sehari, jutaan domain porno bertambah. Mengakses semakin mudah, walau alat pelacaknya juga semakin canggih.

Sebuah penelitian yang dipublish JAMA Psychiatry 2014, ada hal yang sangat fatal sebagai efek dari porno, adalah berdampak buruk pada kesehatan otak. Volume otak di daerah striatum mengalami penyusutan. Striatum merupakan daerah di otak yang berkaitan dengan motivasi (nationalgeographic.co.id, 17 Agustus 2015).

Penelitian lain dari Cambridge Univerisity menyebutkan, otak orang yang suka menonton video porno mirip dengan pecandu narkoba (Kompas, 16 Agustus 2015). Malah untuk anak-anak, efeknya jauh lebih dahsyat, karena ia memutar fungsi otak dan menstimulasi berdasarkan imajinasi dari porno. Kondisi ini mirip dengan kecanduan, yang untuk memungsikan kembali seperti semula akan membutuhkan proses pemulihan.

Secara sosial, waktu yang dihabiskan untuk mengakses dan menonton porno juga berisiko dalam hubungan sosial lebih luas. Ketika perhatian sudah tersita, masalah pekerjaan akan terabaikan.

Kengeriannya ketika orang secara sosial tidak malu lagi dengan konten porno. Padahal malu itu sebuah posisi yang menentukan keberdayaan seseorang secara sosial. Dalam agama, malu menjadi nilai yang akan menjadi cermin dan menguatkan keimanan seseorang. Kehilangan rasa malu, bukan saja tidak lagi memberi arti secanggih apapun alat yang bisa melacak pengunduh konten porno. Efek lebih jauh ketika kita tidak lagi takut terhadap ganjaran yang dijanjikan dalam agama.

Leave a Comment