Kompas

Rencana itu penting dalam kehidupan manusia. Seseorang persis seperti berada dalam sebuah belantara. Walau tamsil ini sangat ilutif, mungkin dengan berbagai tayangan alam liar yang pernah ditonton di televisi, bisa menjadi gambaran apa yang bisa …

Rencana itu penting dalam kehidupan manusia. Seseorang persis seperti berada dalam sebuah belantara. Walau tamsil ini sangat ilutif, mungkin dengan berbagai tayangan alam liar yang pernah ditonton di televisi, bisa menjadi gambaran apa yang bisa dilakukan oleh mereka yang terjebak di hutan belantara.

Orang yang terjebak dalam alam liar, dia berhadapan, paling tidak dengan dua hal krusial. Pertama, potensi berhadapan dengan berbagai binatang liar, yang sebagiannya akan vis a vis dengan orang itu. Kedua, potensi tidak bisa keluar dari sana seterusnya, selama petunjuk atau jalan keluar tidak dimiliki bayangan.

Mereka yang memiliki rencana dari awal, sebelum berangkat sudah mempersiapkan beberapa hal yang akan dijalankan, biasanya lebih mudah dibandingkan mereka yang sama sekali tidak memilikinya. Tingkat kepanikan juga tidak setinggi mereka yang tidak mempersiapkan diri. Salah satu rencana itu, dapat dilihat melalui persiapan peta yang detail.

Pada galibnya, peta itu adalah penunjuk. Dengan bantuan teknologi, skala peta sudah demikian bisa diperjelas. Peta bahkan bisa untuk melihat tampung rumah-rumah kita.

Saya dulu pernah menanyakan ke guru geografi waktu sekolah menengah pertama. Ada buku yang memuat peta masa silam, ketika negeri kita masih berjaya. Siapa yang buat peta itu? Tanya saya waktu itu. Saya bingung. Kenyataannya, wilayah tempat tinggal kita pun, bila kita bandingkan dengan peta masa dahulu, rasanya tidak ada yang berbeda –kecuali hanya skala yang semakin besar dan jelas.

Saya tidak ingat persis apa yang dijawab guru saya waktu itu. Namun ingatan ini teringat kembali ketika dalam suatu diskusi, seorang pemateri menggunakan peta sebagai analog. Katanya sederhana, bahwa apa yang kita kenal dengan hukum, itu tidak seperti kita membaca peta. Seandainya peta yang kita kenal, maka sudah jelas dimana jalan, alur, atau laut.

Membaca peta sudah jelas letak dengan persis dengan titik-titik koordinatnya yang sudah tegas. Jalan-jalan berdasarkan titik itu juga sudah benderang. Sedangkan hukum, kenyataannya tidak seperti itu. Dalam relasi sosial, ia berkorespondensi dengan banyak hal, banyak aspek dan ruang.

Ingatan ini, juga pernah terdengar dari orang lain lagi. Hukum itu, katanya tidak seperti rumus matematika. Melihat hukum tidak seperti mengkalkulasi angka lewat tambah atau kurang. Angka ditambah angka akan melahirkan angka yang pasti. Demikian juga sebaliknya, angka dikurang dengan angka, juga akan melahirkan angka yang pasti.

Hukum, nyatanya tidak demikian. Walau dalam hukum sudah ditentukan bahwa melakukan pelanggaran atau kejahatan tertentu berimplikasi sekian, dalam kenyataan, berbagai orang menikmati pengalaman yang berbeda.

Sekarang ini, kita sedang merasakan lawak luar biasa. Orang-orang yang sedang dihukum, tetapi mengendalikan penjaga penjara dan mengendali kejahatan dari baliknya. Betapa banyak orang-orang yang menjaga kerangkeng orang jahat, justru dikerjai oleh orang yang di dalam kerangkeng. Orang-orang dalam kerangkeng sedang mengendalikan orang-orang yang di luar kerangkeng. Orang-orang yang dalam kerangkeng juga memiliki fasilitas dan kebutuhan yang diinginkan, sama seperti orang yang di luar kerangkeng. Parahnya, orang dalam kerangkeng juga bisa mendapatkan kebutuhan yang bisa jadi orang yang di luar kerangkeng pun, tidak bisa mendapatkannya.

Luar biasa. Itulah hukum. Tidak matematis.

Ketika berhadapan dengan tujuan keadilan, maka kepastian menjadi tanda tanya. Membaca hukum untuk menggapai keadilan, caranya bisa berbeda. Teringat dalam diskusi di atas, disebut tidak sama dengan seseorang yang sedang menjelajah peta –walau peta buta sekalipun. Maksudnya peta yang belum ada penjelasan tuntas, atau keterangan lengkap.

Pada taraf ini, orang-orang yang belajar hukum, harus malu melihat realitas hukum kita. Apalagi orang-orang yang menjaga dan menegakkan hukum. Harusnya lebih malu lagi.

Leave a Comment