Makan-makan

Banyak momentum yang diakhiri dengan makan-makan. Di tempat kita, hajatan makan banyak jumlahnya. Rasanya sepanjang tahun, momentum untuk makan-makan terus tersedia. Mulai dari momentum sederhana hingga momentum yang tidak sederhana. Mulai dari hajata yang ringan …

Banyak momentum yang diakhiri dengan makan-makan. Di tempat kita, hajatan makan banyak jumlahnya. Rasanya sepanjang tahun, momentum untuk makan-makan terus tersedia. Mulai dari momentum sederhana hingga momentum yang tidak sederhana. Mulai dari hajata yang ringan dan biasa-biasa saja, sampai pada hajatan yang penting dan luar biasa.

Kita bisa membayangkan, betapa besar peran masing-masing orang yang dibutuhkan untuk menyukseskan hajatan. Seperti sebuah mesin raksasa, semua komponen dibutuhkan agar semua bergerak sesuai dengan yang diharapkan. Tidak jarang, bahkan untuk hajatan yang sangat penting, dipersiapkan berlapis-lapis alternatif rencana dalam menyukseskan hajatan tersebut.

Sebuah hajatan akan tercederai saat ada satu komponen saja tidak bergerak. Semua sudah dipersiapkan, tiba-tiba mereka yang mengurusi undangan tidak maksimal, maka hasilnya bisa ditebak. Di sini, sebuah hajatan selalu ditentukan oleh orang yang datang. Hajatan yang minim kehadiran undangan, akan dipertanyakan, karena itu menyangkut marwah. Begitu juga sebaliknya, undangan yang banyak, namun tidak diantisipasi dengan bagian yang mengurusi makanan.

Untuk semua hajatan, perhatian saya lebih suka terhadap mereka yang menyiapkan makanan di dapur. Apalagi untuk mempersiapkan makan besar, tentu membutuhkan orang-orang khusus. Maulid, momentum memperingati lahirnya Rasul, sudah dilewati selama tiga bulan perayaan dalam masyarakat kita. Ke depan menunggu bulan Ramadhan.

Puasa tahun ini, kampung tempat saya tinggal, menyelenggarakan buka puasa bersama. Suatu hajatan yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Modal buka puasa dari bersama saling menyumbang. Masyarakat bersepakat saling menyumbang sukarela. Bukti sukarela, karena sumbangan itu, tidak didatangi ke masing-masing keluarga. Akan tetapi pihak keluarga yang menyerahkan kepada pimpinan lorong. Hanya orang yang berkenan saja yang mengantar ke rumah kepala lorong. Inilah sukarela. Tidak ada yang merasa ada penyumbang dan yang disumbang. Apalagi uang itu digunakan untuk memasak gulai daging lembu, sebanyak 14 kuali. Orang yang ikut menyumbang akan mendapatkan satu panci kuah. Dengan bekal itu, keluarga yang ingin ikut menyediakan makanan berbuka, akan menaruh kuah dalam makanan yang diantar ke mushalla.

Saya menyaksikan dengan teliti, bagaimana 14 kuah belanga/kuali itu dimasak. Saya datang sejak daging dipotong dan dicincang. Orang duduk berdumpuk di lapangan voli kampung. Digelar alas duduk, lalu semua dengan pisau masing-masing berkontribusi memotong daging. Ada pihak yang kemudian mencuci bagian daging –terutama isi dalam. Ada yang membawa kapak untuk memotong tulang. Ada pula yang ahlinya memperlakukan isi dalam lainnya.

Tempat duduk antara satu tumpuk dengan tumpuk lain, jelas memiliki keahlian berbeda. Orang yang baru seperti saya, hanya mungkin duduk pada tumpuk mencingcang daging. Tidak pada bagian lain. Pekerjaan ini lebih mudah dan bisa dilakukan siapa saja.

Setelah semua selesai hingga dibersihkan, ada petugas yang membagi tumpuk dan membagi rata semua daging dan tulangnya. Semua harus seimbang untuk 14 kuali itu. Lalu 14 tumpuk diaduk dan dibersihkan hingga ditaruh dalam kuali besar. Dengan deretan 14 dapur, tampak berderet dengan masing-masing sudah ada pengendalinya. Hal ini juga tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Sama seperti orang yang bertugas mengaduk bumbu dan kelapa. Tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Saya perhatikan, bahwa yang mengaduk dalam 14 kuali besar itu, hanya tiga atau empat orang saja. Tidak semua. Ada proses tertentu yang sepertinya diturunkan bagi mereka yang bisa sehati dengan memasak. Mungkin petugas ini juga yang mengontrol masak dalam rangka hajatan apa pun di kampung ini.

Jadi untuk masak saja, sudah diatur pengontrolnya sedemikian rupa. Orang yang bisa memberikan hati seutuhnya dalam memasak. Apa yang kita makan ketika berbuka, melewati sebuah proses panjang yang tumpuk tanggung jawab masing-masing sudah jelas. Apa yang biasa dilakukan oleh orang tertentu, tidak dilakukan oleh orang lain, kecuali yang bersangkutan sudah merekom untuk mempersiapkan generasi selanjutnya.

Inilah salah satu momentum makan bersama yang saya lewati. Betapa mereka sudah fasih berbagi tugas. Bukan berbagi tumpuk.

Leave a Comment