Mendudukan Lembaga Adat

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sudah masuk agenda revisi. Hanya sebagai pengingat saja, undang-undang ini lahir dari tindak lanjut penandatanganan perdamaian antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka, 15 Agustus 2005 di Helsinki, …

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sudah masuk agenda revisi. Hanya sebagai pengingat saja, undang-undang ini lahir dari tindak lanjut penandatanganan perdamaian antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka, 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Ada konsensus politik, hitam di atas putih, setelah MoU, dengan lahirnya undang-undang ini yang kemudian diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 1 Agustus 2006.

Untuk menegaskan betapa penting undang-undang ini bagi Aceh, secara akademis, kami melaksanakan sejumlah kegiatan. Ada Seminar Nasional “10 Tahun UUPA”, penerbitan buku “Bukan Undang-Undang Biasa”, serta tiga artikel di jurnal ilmiah tentang hubungan bagaimana ruang realitas Aceh terhadap pembentukan hukum. Pada kolom opini, tiga tulisan saya amat berhubungan, yakni “Masih Pentingkah UUPA” (Serambi, 18/8/2021), “Sewindu UUPA” (Serambi, 12/8/2014), dan “Pertaruhan UUPA” (Serambi, 27/2/2020).

Sebagaimana konsep hukum pada umumnya, UUPA juga terus dituntut untuk menyesuaikan dengan berbagai perkembangan. Setelah 18 tahun, tidak mungkin kita melupakan dua hal. Pertama, sebuah UU selalu saja akan butuh penguatan dengan berbagai perubahan yang menuntut UU ini juga berubah. Kedua, selalu juga ada gap antara pengaturan dengan pelaksanaan. Dengan dua alasan itu, secara akademis, perubahan itu dapat dipahami dengan baik.

Dari sejumlah draf revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang muncul ke publik, saya tertarik pada satu draf yang selama ini dilakukan sosialisasi versi Dewan Perwakilan Daerah Aceh (DPRA). Dan dari draf ini, saya hanya memberi catatan pada draf revisi Pasal 98, khusus berkaitan dengan lembaga adat. Catatan ini, jika pun nanti tidak ditampung dalam draf final, paling tidak sudah menuntaskan kewajiban moral saya untuk memberi masukan bagi kebaikan bersama.

Dalam draf yang ingin direvisi, sejumlah lembaga adat ingin dihapus. Bagi saya sejumlah lembaga adat ini bukan main-main fungsinya. Lembaga yang ingin dihapus, meliputi: imeum mukim atau nama lain, imeum chik atau nama lain, keuchik atau nama lain, tuha peut atau nama lain, dan tuha lapan atau nama lain.

Bagi saya yang menekuni hukum adat, keberadaan lembaga itu dalam realitas sosial kemasyarakatan, sangat mutlak sifatnya. Di tangan-tangan tokoh adat itulah Sebagian masalah dalam masyarakat selesai atau diselesaikan. Jika dikembalikan ke konsep, penyelesaian masalah ini berada pada titik pikir harmoni sosial sebagai kekayaan penting dalam masyarakat.

Para penstudi hukum adat, umumnya berpikir kunci terpenting dari satu pembangunan besar bangsa, dimulai dengan kondisi harmoni. Tidak mungkin melakukan sesuatu, sedang dalam masyarakat berselimak masalah. Dan masalah yang ada tersebut, tidak mungkin semua ditumpahkan untuk diselesaikan oleh lembaga-lembaga penegak hukum dalam makna formal.

Saya berharap kita membuka diri untuk melihat kecenderungan realitas berhukum di negeri kita. Saat lembaga-lembaga penegak hukum formal sedang bergerak untuk menyelesaikan masalah kecil yang muncul pada tingkat bawah, keadaan sebaliknya justru dari kita. Lembaga-lembaga yang menyelesaikan masalah-masalah kecil tingkat bawah itu, justru ingin diabaikan dalam pengakuan legalitas formal.

 

Butuh kehati-hatian

Keadaan yang kontradiktif tersebut, barangkali bisa menjadi upaya pengingat agar kita berpikir kembali untuk mempermak pasal tersebut. Dalam kajian saya selama ini, menemukan semua lembaga penegak hukum justru semakin membuka diri dengan konsep-konsep penyelesaian sengketa yang berbasis adat. Walau tidak sama persis, konsep-konsep restorative justice yang sangat dekat dengan cara berpikir orang-orang adat, kini semakin dipraktikkan oleh lembaga-lembaga negara.

Pilihan untuk menggunakan konsep ini, tak semata soal keinginan mengurangi jumlah kasus yang masuk ke hilir (pengadilan). Ada tujuan besar lain yang saya tangkap, yakni menyelamatkan keadaan harmoni sosial setelah selesai proses berhukum dilakukan. Dengan kombinasi orientasi kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum, diharapkan restorative justice berpeluang menjadi jalan keluar masalah dan fondasi kebangsaan.

Tentu saja saat fenomena itu berlangsung di banyak tempat dan lembaga lain, bukankah menjadi aneh Aceh yang memiliki keistimewaan dan kekhususan, justru ingin membuangnya?

Atas dasar itulah, saya berharap pilihan revisi pasal ini harap dipikirkan kembali. Apalagi revisi pasal ini justru tidak kuat secara akademis. Draf revisi UUPA yang saya pegang, berisi 159 halaman. Dari sejumlah penjelasan dan kajian akademik, perubahan pasal ini tidak saya temui. Kondisi ini, bagi saya sebagai akademisi, ingin memberi dua catatan sederhana tapi sangat penting. Pertama, dapat disimpulkan secara konsep penyusunan undang-undang yang baik, ada pendekatan yang dilompati. Hal ini seyogianya jangan diabai. Kedua, keselarasan antara konsep kajian dengan draf materi perubahan, menjadi sesuatu yang sangat penting, dan idealnya jangan ada perbedaan. Dalam hal ini, jika pun pasal ini benar-benar ingin direvisi, maka harus beranjak dari kajian akademiknya.

 

Konsep lembaga adat

Saya kira keliru, jika berpikir secara konsep lembaga adat harus disamakan dengan cara berpikir lembaga formal. Saya memahami, ada sebagian pihak yang ingin melakukan rekonseptualisasi terkait lembaga adat. Secara sederhana, lembaga-lembaga yang secara formal mengurusi pemerintah(an), diklaim tidak boleh lagi sebagai lembaga adat. Misalnya gampong (dengan geusyik sebagai pimpinannya), sebagai eksekutif, pada saat yang sama dianggap tidak bisa melaksanakan fungsi penyelesaian sengketa, yang lebih dekat ke yudikatif.

Dalam ruang sosial di bawah, cara melihat masalah tidak bisa dengan konsep hitam-putih yang demikian. Itulah alasan mengapa saya memandang keliru upaya revisi pasal ini. Kekuasaan eksekutif pada ruang sosial di bawah lebih lentur mengingat tujuannya menyelaraskan berbagai kepentingan yang berbeda. Jadi tidak bisa disamakan dengan kekuasaan eksekutif pemerintah yang di atasnya.

Dengan kacamata akademis, kondisi inilah yang diingatkan dua tokoh sosiologi, Max Weber dan Emile Durkheim dalam melihat ketokohan, kepercayaan, dan pelapisan sosial. Saya kira pengkaji hukum adat, sedikit banyak melihat semua konsep tersebut dalam memahami konteks lembaga adat.

Alasan ini pula, idealnya dalam kajian akademik dikuatkan dengan perkiraan dampak apa yang akan dirasakan sosial-kemasyarakatan di Aceh ketika sejumlah lembaga adat yang ingin dihapus itu benar-benar tidak ada lagi.

Sebagai akademisi, saya memandang artikel-artikel ilmiah yang mengurai bagaimana komposisi lembaga adat, hendaknya menjadi rujukan dalam mendudukkan lembaga adat di Aceh. Ketika menyamakan satu lembaga dengan lembaga lain, harus didudukkan titik-titik penyelaras penilainya, agar apa yang dianggap memungkinkan dalam lembaga formal, tidak langsung dianggap sama ketika berhadapan dengan lembaga nonformal.

Memahami konsep dan konteks sangat penting dalam sebuah rekonstruksi pengaturan. Debat antara posisi declaire dan recognitie saja belum selesai dalam kajian adat dan hukum adat. Jadi jika ada yang menyebut karena lembaga formal tidak boleh disokong pengaturan hukum negara, itu juga sebagai kekeliruan lainnya yang mesti diluruskan.

Dalam hukum modern yang menganggap hukum tertulis sebagai satu-satunya hukum, jelas tidak mungkin membiarkan posisi hukum adat itu dalam kondisi tidak tercatat. Barangkali ini menjadi daya terakhir untuk saling mengingatkan bagi kebaikan Aceh masa depan. Wallahu’aklam.

Leave a Comment