Banyak orang yang tidak bisa menerima kekalahan dengan lapang dada. Baik dalam konteks olahraga, maupun dalam kehidupan nyata. Olahraga itu hanya sebuah permainan. Suatu aktivitas, yang hakikatnya hanya untuk mencari menang dan kalah. Namun sebuah permainan, walau untuk tujuan praktis itu, tetap menuntut mereka yang kompetisi untuk selalu bermain secara fair. Proses yang demikian, membuat mereka yang menekuni olahraga apapun, seharusnya terus belajar menghadapi berbagai kenyataan di depan matanya. Menang atau kalah.
Permainan itu sama dengan kehidupan, yang dalam bahasa agama juga diingatkan bahwa sama seperti permainan itu. Bagaimana kehidupan didayung akan menentukan bagaimana irama jalannya perahu. Orang-orang yang terus belajar menghadapi berbagai kenyataan permainan dalam hidup, terus memperbaiki diri dengan belajar.
Memperbaiki diri dengan terus belajar inilah, yang membuat bisa menjalani aktivitasnya dengan sportif. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan seseorang menerima hasil apa adanya. Orang tidak bisa menerima hasil, bisa disebabkan karena latihan yang dilakukan telah membuat ekspektasi terlalu tinggi, tidak diiringin kesiapan mental yang cukup. Atau, mereka yang terlalu percaya diri sudah di atas angin, lantas tidak percaya ketika berada dan terjerambab di dasar lumpur.
Itulah kehidupan. Pengalaman saya yang terbiasa melihat dalam laga-laga sepak bola kampung, menggambarkan ada suasana yang demikian. Ada tim yang tidak hadir, atau memilih meninggalkan lapangan karena berbagai kesalahan. Terbiasa dengan pilihan demikian, karena ada yang tidak mampu dicerna, atau tidak percaya pada sistem permainan, malah satu lagi yang sangat kronis, “aku”. Pilihan yang terakhir, membuat semuanya tidak bisa berkata apa-apa, kalau sudah bilang “dengan aku”, maka semua alternatif pilihan sudah tidak berlaku. Pilihan yang dipilih adalah pulang. Untuk pilihan begini, di laga-laga kampung, langsung diberikan skor menang telak 5-0. Tim-tim yang melakukan aksi itu, bisa jadi tidak perlu merasa bersalah, karena dengan alasan yang tepat, sekiranya bisa dijelaskan, maka mereka bisa menjadi pahlawan. Orang-orang kampung akan bilang, “dengan tim kami”.
Namun apa yang terjadi bila peristiwa demikian menimpa tim-tim hebat? Di mana yang salah? Kenyataannya ada. Dalam beberapa laga penting di republik ini, saya melihat bagaimana sebuah tim besar dengan mudah mengambil pilihan pulang atau tidak melanjutkan pertandingan. Belum lagi dalam sebuah pertandingan, yang bermain ternyata tak sekedar taktik sepak bola, tetapi keberanian dan ketangkasan memainkan kaki dan tangan sekaligus, melalui konsep karate, tinju, atau perpaduan keduanya. Betapa tak berdaya ketika di lapangan orang tak berdaya memainkan jurus sepak bola yang sebenarnya. Pengadil berada dalam tekanan penuh, tidak bisa menghindar, malah bisa menjadi sasaran keroyokan. Tim manajer yang seharusnya mendampingi tim secara arif, justru kadang menjadi provokator yang membuat sebuah pertandingan menjadi ajang perkelahian.
Sekiranya ada ruang muncur ke belakang, beberapa pertanyaan menarik direnungi. mengapa wasit dengan mudah diminta gonta-ganti. Kepercayaan terhadap wasit, seharusnya menjadi nomor satu. Akan tetapi wasit juga manusia. Sekeras apapun ia dilatih, pandangannya tetap terbatas, dan kadangkala tidak bisa dilawan ketepatan mesin perekam. Di lain waktu, mesin juga berbatas. Kondisi ini seyogianya dipahami oleh semua pelaku sepak bola. Bahwa di luar pelatihan ketrampilan, ada hal lain yang harus bisa diyakinkan, yakni membuat orang percaya terhadap wasit. Masalahnya catatan sepakbola tak begitu bagus dengan banyaknya coreng-moreng oleh beberapa pihak. Atur skor, menyiapkan pemenang, dan sebagainya. Belum lagi antar organisasi saling adu mulut hingga adu badan.
Dalam sebuah pertandingan juga ada mekanisme aturan. Seorang wasit yang dirasakan melakukan kesalahan, ada mekanisme yang tersedia untuk menggugatnya. Mengapa jalan ini tidak efektif, barangkali juga disebabkan ada pengalaman buruk. Penegak aturan tidak dipercaya karena sering jangankan untuk adil pada orang lain, malah untuk diri sendiri masih bermasalah.
Di lapangan ada pengawas, lalu mengapa posisi ini tidak dipandang bisa menyelesaikan masalah? Semakin ke depan, semakin sulit menjawab permasalahan. Semakin sulit memetakan perkembangan sepak bola. Barangkali seperti kata seorang teman, kita kayak tidak bisa meninggalkan pola laga antar kampung –dengan segenap dinamikanya.
Maka proses belajar tidak saja dibutuhkan oleh mereka yang berlaga kampung dan kampungan, kepongahan ini tidak jarang dialami mereka yang hebat dan cerdas. Mereka belum bisa belajar sportif yang sesungguhnya.