Bagi-bagi dan Tambah-tambah

Rumus matematika itu pasti, namun dalam ruang sosial, penggunaannya tidak selalu sama dengan yang dipakai di dalam ruang kuliah. Konsep bagi-membagi, tambah-menambah, kurang-mengurangi, selalu sama. Satu tambah satu selalu dua. Dua kurang satu selalu satu. …

Rumus matematika itu pasti, namun dalam ruang sosial, penggunaannya tidak selalu sama dengan yang dipakai di dalam ruang kuliah. Konsep bagi-membagi, tambah-menambah, kurang-mengurangi, selalu sama. Satu tambah satu selalu dua. Dua kurang satu selalu satu. Tidak mungkin beda. Hal yang berbeda adalah ketika dalam konteks berelasi, memberi satu kepada orang lain, tidak selalu hasilnya orang lain akan memberi satu untuk kita. Pemberian orang bisa jadi berlipat ganda, atau bahkan tidak sama sekali.

Kehidupan yang dijalani tidak mungkin diukur dengan angka-angka yang pasti. Itulah yang saya maksudkan. Seseorang yang membutuhkan verifikasi mengenai apa yang akan dilakukan, tidak mungkin terlihat sebagaimana kita pakai rumus untuk mendapatkan hasilnya.

Orang yang menjaga lingkungan, tidak selalu akan membawa untung material dengan segera kepada yang bersangkutan. Memberi kesehatan kepada orang lain karena lingkungan yang terjaga, pada dasarnya merupakan hasil dari yang kita lakukan.

Hal di atas yang seharusnya dipahami siapapun. Seseorang yang berhenti merokok, misalnya tidak bisa memakai rumus tertentu, karena dengan demikian, ia bisa menghitung apa yang didapat secara konkret atas usahanya itu. Hal demikian yang saya alami. Teman akrab yang saya ceritakan sebelumnya, yang tidak percaya saya berhenti merokok, punya jurus jitu yang lain. Setiap saya ajak berhenti merokok, dengan bercanda penuh, ia berkomentar, bahwa ia tidak juga kaya karena berhenti merokok. Saya tahu untuk hal ini, ia sedang tidak serius. Sebagai teman, ia sering bercanda untuk hal apapun. Namun di luar canda atau bukan, masalah kaya menjadi sangat menarik. Bayangkan seseorang yang bisa menghabiskan rokok hingga empat atau lima bungkus sehari, dengan rata-rata harga rokok per bungkusnya Rp 12 ribu, maka dalam sebulan, seseorang bisa menghabiskan Rp 1,5 juta. Setahun, untuk kebutuhan rokok mencapai Rp 18 juta. Apabila usia merokok sudah melebihi 10 tahun, maka ada sekitar Rp 180 juta dihabiskan untuk rokok saja.

Tentu, kalkulasi mengenai rokok tidak sesederhana itu. Benar bahwa gambaran uang yang dihabiskan bisa ditentukan prakirannya. Yang lebih ironis, biaya yang dikeluarkan untuk rokok justru jauh lebih besar dibandingkan untuk hal-hal lain, yang kadang-kadang dari segi kepentingan jauh lebih hakiki ketimbang kebutuhan rokok. Sebuah keluarga sederhana menghabiskan 15 kilogram beras dalam seminggu, yang harganya sekitar Rp 150 ribu saja, berarti sebulan hanya Rp 600 ribu. Untuk kebutuhan demikian, tentu jauh di bawah kebutuhan rokok untuk satu orang saja.

Saya tidak ingin mengkalkulasi demikian. Karena kenyataannya, orang yang tidak merokok pun, jika ditimbang-timbang, kadang-kadang tidak juga bisa menyimpan uang sebesar Rp 18 juta per tahun yang seharusnya dihabiskan untuk rokok. Hal ini untuk melihat bagaimana candaan teman akrab saya tadi itu memang masuk akal. Dengan pertimbangan berbagai kondisi dan risiko, maka merokok itu sebagai kegiatan kesenangan –yang oleh sebagian orang mungkin dianggap sebagai kebutuhan. Untuk menghabiskan uang dalam konteks kesenangan, berat sekali untuk bisa dihitung-hitung. Orang-orang yang ingin bersenang-senang –terutama dalam konteks yang positif, jarang mengkalkulasi berapa yang sudah dihabiskan. Alasan orang kemudian disederhanakan, bahwa sebesar apapun biaya yang dikeluarkan, jika itu sebanding dengan kepuasan yang didapat, maka sungguh bukan masalah.

Sekiranya orang-orang yang menghabiskan biasa besar atas nama bersenang-senang, sudah berpikir demikian, mulai sekarang berpikirlah ulang. Ada banyak sekali tanggung jawab masing-masing yang tidak tertuntaskan karena secara tidak sadar sebagian besar sudah terhabiskan atas nama kesenangan tersebut.

Kepada teman akrab, saya katakan itu, walau sekali lagi, saya sadar betul ia sedang bercanda. Saya tidak ingin mengomentari mengapa candaannya itu. Namun dengan santai, saya jawab juga kepada teman akrab saya itu, bahwa kalkulasi saya juga bercanda. Khususnya untuknya, saya katakan sebagai bahan canda. Akan tetapi untuk orang lain, mudah-mudahan menjadi bahan bagi pertimbangan untuk mengurangi risiko kesehatan dalam hidup yang sudah diberikan Pencipta. Amin.

Leave a Comment