Dua Telinga Kita

Sangat sulit mendapatkan orang yang mau lebih banyak mendengar dibandingkan berbicara. Banyak kita hanya mau didengar orang lain, bukan membuka lebar-lebar telinga dan mendengar. Tidak penting apa yang ingin kita bicarakan. Tidak penting apakah yang …

Sangat sulit mendapatkan orang yang mau lebih banyak mendengar dibandingkan berbicara. Banyak kita hanya mau didengar orang lain, bukan membuka lebar-lebar telinga dan mendengar. Tidak penting apa yang ingin kita bicarakan. Tidak penting apakah yang ingin kita sampaikan itu penting atau tidak.

Kondisi ini tidak hanya terjadi dalam masyarakat rendah pendidikan. Dalam kalangan masyarakat terdidik sekali pun, kondisi ini begitu terasa. Kondisinya sama, ingin lebih banyak didengar dibandingkan dengan mendengar.

Suatu hari saya ikut satu kegiatan ilmiah di kampus. Peserta kegiatan itu adalah pengajar atau dosen dari berbagai kampus di Indonesia. Kegiatan ini banyak memberikan manfaat, terutama terkait dengan berbagai perkembangan ilmu yang terjadi. Ilmu senantiasa berkembang dalam menyelesaikan hal tertentu. Perkembangan ini sendiri ditentukan oleh perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Lalu ia membuat banyak hal kemudian berkembang sedemikian rupa. Termasuk yang terjadi dalam pergumulan ilmu di kampus, juga mengikuti bagaimana perkembangan masyarakat tersebut.

Dalam pertemuan, sudah ada berbagai pihak yang ditunjuk baik untuk memfasilitasi maupun menyampaikan pendapatnya. Sebagai sebuah pendapat, tentu tidak selamanya selaras dengan pikiran orang yang hadir. Rasanya dalam berbagai pertemuan, sebuah pendapat selalu ada yang berbeda dari apa yang disampaikan. Dengan alasan apapun, orang-orang yang mendengar pendapat satu orang, lahir beragam tanggapan atas pendapatan yang demikian. Bukan hanya untuk menyatakan persetujuan, melainkan orang-orang yang tidak setuju. Ketidaksetujuan ini juga tidak seluruhnya disebabkan karena pertimbangan ilmu. Ada yang karena pertimbangan lain yang di luar ilmu, semisal emosi. Orang-orang yang sudah terlanjur menolak pendapat orang lain, baik karena faktor tidak disukai, maupun kepentinga lain, tidak jarang akan kukuh dengan pendapatnya. Walau orang tersebut sudah mengetahui bahwa pendapatnya itu kurang tepat.

Dalam lalu lintas ilmu, tidak masalah ada orang yang tidak sependapat dengan pikiran orang lain. Memang dalam banyak hal harus terjadi dialektika, terutama untuk memperjelas hal yang disampaikan. Sesuatu yang didengar oleh orang, walau yang disampaikan secara konsep sudah benar, ada potensi terhalang untuk dipahami. Makanya untuk mendapatkan pemahaman yang utuh demikian, haruslah melalui tanya jawab –tujuannya untuk memperjelas apa yang dimaksudkan. Proses demikian yang kerap tidak berlangsung normal, karena berbagai kepentingan. Orang yang ingin terlihat cerdas, mematahkan pendapat orang lain dengan mudah, walau ia tahu apa yang disampaikan kurang tepat.

Hal yang terakhir disebut di atas, seharusnya tidak boleh terjadi bukan hanya dalam masyarakat ilmiah, melainkan dalam masyarakat umum. Orang-orang harus realistis untuk menerima apa yang benar dan salah. Untuk pendapat yang keliru sekalipun, harus dilakukan tanya jawab agar kekeliruan itu terjadi bisa jadi bagaimana seseorang memberi pemahaman. Dalam komunitas yang lebih luas, posisi ini sangat penting. Apalagi dalam diri manusia terdapat dua telinga untuk mendengar, dengan satu mulut untuk berbicara. Sepertinya ada nilai bahwa seseorang seyogianya lebih banyak mendengar ketimbang berbicara yang menurutkan hawa nafsu. Menahan diri dari bicara yang tidak didasarkan pada hal yang benar, sangat diajurkan. Dalam konteks ini, sudah seharusnya kita mendengar lebih banyak apa yang disampaikan oleh orang lain, dan mengoreksi seperlunya apabila itu memang diperlukan.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment