Fiat Justitia

SAYA kira penguasa pasti memahami pertanyaan yang sering muncul dari mulut masyarakat awam. Dengan serius, mereka sering bertanya, mengapa hukum terkesan sulit sekali menjangkau orang-orang yang punya kuasa –baik politik, ekonomi, maupun sosial? Untuk jawaban …

SAYA kira penguasa pasti memahami pertanyaan yang sering muncul dari mulut masyarakat awam. Dengan serius, mereka sering bertanya, mengapa hukum terkesan sulit sekali menjangkau orang-orang yang punya kuasa –baik politik, ekonomi, maupun sosial? Untuk jawaban itu, kaum terdidik bisa sambil berseloro menyebutkan bahwa hukum telah kehilangan daya. Mahasiswa yang kritis bisa saja bertanya di dalam kelas, bahwa apakah orang masih butuh belajar hukum?

Pertanyaan ini bukan saja menarik untuk direnungi, melainkan hakikatnya sangat penting. Bagaimana orang antre berjam-jam untuk merekam datanya untuk kebutuhan kartu tanda penduduk (KTP) elektronik, yang proses pengadaannya ternyata ditelikung para pencoleng. Proyek besar dengan hasil colengan yang tidak sedikit.

Dengan pelaku yang berkelas, menemukan para pencoleng juga bukan soal mudah. Di ruang pengadilan, sidang korupsi e-KTP, belum tuntas-tuntasnya. Berwaktu-waktu dibutuhkan untuk terus membuktikan. Proyek mega itu ternyata mengalir kemana-mana. Banyak nama muncul dan disebut, namun untuk membuktikan, membutuhkan energi yang tidak sembarang.

Sulitnya minta ampun

Apa yang terlihat? Orang-orang yang strata lebih rendah, dengan mudah terjerat. Orang-orang besar, sulitnya minta ampun. Di ruang pengadilan, jika kita mencoba mengikuti tayangan live televisi, mereka yang berjabatan lebih sering menggunakan kata lupa. Dan hukum sepertiya tidak bisa langsung menjangkau nama-nama yang terkuak dengan bukti yang harus berlapis.

Banyak pertimbangan yang dibutuhkan ketika mau menjerat orang penting. Sehingga lembaga penegak hukum sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun sepertinya harus memastikan betul-betul bukti yang mereka miliki. Hanya orang-orang berkelas yang mampu melawan perlawanan.

Sepanjang kasus besar tersebut, mereka yang kecil menerima apa adanya. Pertimbangan bisa berbagai macam. Posisi mereka yang bersalah satu hal, dan melakukan perlawanan hal yang lain. Orang yang bersalah sekalipun, dengan kekuatan tertentu bisa melakukan perlawanan.

Hingga kini, kegelisahan seorang tokoh post-positivisme hukum, Donald Black, terasa kian terasa. Apa yang diungkapkannya, seolah masih kontekstual hingga sekarang. Padahal ketika pemikirannya disampaikan, dunia belum gemerlap. Buku The Behavior of Law diterbitkan pada 1976. Sudah hampir setengah abad. Dia menguatkan lagi dengan buku The Social Structure of Right and Wrong 1993.

Inti penting dari pemikirannya adalah kehidupan manusia yang tidak terlepas dari strata ekonomi dan kelas sosial. Terkait dengan hukum, ia sangat yakin stratifikasi sangat menentukan seseorang dalam mendapatkan dan memahami hukum. Keberdayaan hukum sangat ditentukan oleh status atau kelas seseorang. Dalam penegakannya, hukum lebih mudah berjalan kepada golongan bawah ketimbang golongan mapan. Dengan posisi demikian, apa yang disebutnya sebagai moral hukum, harus digerakkan.

Alasan inilah, dalam dunia akademis ditegaskan bahwa dalam praktik, penegakan hukum baru berjalan ketika hukum itu digerakkan. Ibarat sebuah mesin motor, semua komponen harus bergerak. Tidak mungkin teks hukum itu yang berbicara sendiri. Teks dalam undang-undang mesti digunakan oleh penegak hukum yang berani. Seandainya teks undang-undang tidak bisa digerakkan, maka ia menjadi kata yang tidak bernilai. Lebih radikal, Scholten menyebut posisi hukum yang tidak bernilai itu sebagai mati.

Maka manusialah yang menentukan hidup atau matinya hukum, bukan teks undang-undang. Undang-undang yang baik dibutuhkan. Akan tetapi patut dicatat, keberanian manusia terkait dengan penegakan hukum dan kebenaran lebih penting lagi. Penegak hukum tidak cukup hanya berlindung di balik kata-kata sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Terlepas bagaimana peraturan perundang-undangan dihasilkan, ia menjadi alat untuk mencapai tujuan hukum. Ada tiga tujuan hukum yang paling penting, yakni kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.

Ketiga tujuan hukum saling tarik-menarik. Mereka yang hanya mengejar kepastian, tidak selalu akan memenuhi unsur keadilan. Orang-orang yang sangat ketat dengan konsep hukum tertulis, akan menyebutkan bahwa kepastian hukum tidak mesti mempertimbangkan ia akan adil atau tidak.

Hukum atau keadilan?

Debat ini sudah lama berlangsung. Satu pertanyaan yang selalu ditanyakan hingga sekarang, adalah bagaimana hubungan hukum dan keadilan. Dalam kehidupan manusia, apa yang harus diutamakan, hukum atau keadilan? Pertanyaan yang lebih penting adalah apakah hukum itu harus selalu adil?

Para filsuf awal berdebat panjang. Ada yang mengatakan hukum yang tidak adil, pada dasarnya bukanlah hukum. Filsuf lainnya menyebut, bahwa ketika berbicara hukum, tidak ada urusan dengan keadilan. Hukum adalah hukum, dan keadilan adalah keadilan.

Di dunia akademis sendiri, perdebatan ini terkotak dalam tiga: Pertama, akademisi dan pemikir hukum yang konsisten bahwa berbicara hukum tidak ada urusan dengan keadilan. Hukum yang pada akhirnya mendapat nilai keadilan, harus dibedakan dengan hukum yang tidak harus adil;

Kedua, akademisi yang konsisten bahwa keadilan mutlak dibutuhkan. Ketika keadilan tidak ada dalam hukum, maka hukum pun tidak bisa disebut sebagai hukum, dan; Ketiga, akademisi dan pemikir hukum yang berdiri dan berbagi kaki. Ketika membutuhkan keadilan, maka akan memperjuangkannya keadilan, sebaliknya jika tidak, akan mengabaikan dan hanya hukum.

Terlepas bagaimana keberpihakan kita terhadap hukum dan keadilan, ada satu ungkapan yang muncul dalam dunia hukum. Fiat justitia ruat caelum, yang diartikan keadilan harus ditegakkan meskipun langit akan runtuh. Sekali lagi, konteks hukum dan keadilan hingga kini terus diperdebatkan. Padahal ungkapan itu diklaim sudah ada sejak 100-43 SM, dari mulut seorang Romawi, Lucius Calpurnius Piso Caesoninus. Wallahu a’lamu bish-shawaab.

Leave a Comment