Tukang Sampah

Saya pernah mendapatkan dua realitas yang bertolak belakang. Satu kali, menyaksikan seseorang meronta di depan jenazah orang tuanya yang baru saja menghembuskan nafas terakhir di ruang rawat rumah sakit. Dalam kesempatan itu, ia terus mempertanyakan …

Saya pernah mendapatkan dua realitas yang bertolak belakang. Satu kali, menyaksikan seseorang meronta di depan jenazah orang tuanya yang baru saja menghembuskan nafas terakhir di ruang rawat rumah sakit. Dalam kesempatan itu, ia terus mempertanyakan mengapa untuk orang tuanya tidak diambil tindakan medis ini atau itu. Barangkali tergantung dalam pikirannya, jika dokter mengambil tindakan ini atau itu, akan berbeda bagi orang tuanya.

Satu kejadian lain, saat sedang menyeruput kopi di warung kopi, datang satu panggilan telepon. Dari ujung sana, seseorang yang sedang berada di samping jenazah orang tuanya yang baru saja menghembuskan nafas terakhir, juga di ruang rawat rumah sakit. Kata-kata dari mulutnya begitu teratur, “bang, ayah sudah tiada, beliau pernah bersama-sama dan kita saling kenal, mungkin banyak kesalahan beliau saat bergaul dengan kita, mohon dosanya dimaafkan”.

Ada satu kondisi yang seolah-olah semuanya bisa dibalik. Jika melakukan ini maka akan begini, dan jika melakukan itu maka akan begitu. Ada sebagian kita yang tidak bisa lagi berpikir sehat, bahwa di luar jalan terlihat, ada jalan lain yang tidak terlihat manusia. Saat seseorang bisa melewati itu, apa yang disebut ikhlas sedang diuji di batinnya.

Suatu pagi, saya tersentak dengan sebuah pertanyaan sekaligus pernyataan dari seorang tukang sampah yang saya kenal. Di sini, ia diberikan satu unit kereta roda tiga dinas, yang bertugas untuk membersihkan sampah di jalan kampung, atau jalan provinsi yang ada dan melintasi kampung ini. Ia jamaah masjid dan bukan pegawai negeri. Ia dikontrak terus-menerus, dengan umur yang sudah tua, tidak mungkin rasanya ia diangkat jadi pegawai negeri. Saya tak berani menanyakan berapa honornya. Namun dari pendapatan tambahan, ia gunakan waktu untuk mengangkat sampah-sampah dari rumah ke rumah. Ia memiliki gerobak satu lagi miliknya. Setelah pagi-pagi mengambil sampah yang menjadi kewajibannya, ia mengambil gerobak lalu mengambil sampah dari rumah ke rumah dalam kampung. Jumlah jerih untuk itu, sekitar 15 hingga 20 ribu perhari.

Dari orang inilah yang awalnya menanyakan, apakah ada dalam badan kita ini yang tidak bisa diikhlaskan. Saya bingung awalnya dengan pertanyaan itu. Saya teringat segera pada tiga hal: bencana, sakit hati, dan dendam. Bencana yang datang –sebagian besar disebabkan oleh ulah tangan manusia yang semena-mena mempergunakan alam ciptaan Allah, bisa membuat orang kehilangan dalam tiba-tiba. Sebagian orang menganggap harta dan keluarga sebagai harta tak ternilai harganya. Padahal selain itu juga ada iman yang terjaga. Ketika menghadapi bencana, ada orang yang dengan mudah mengikhlaskan, namun tak sedikit orang yang kemudian merasakan beban dalam hidupnya secara berkelanjutan.

Tidak bisa meninggalkan beban ini, seperti orang yang terus merasakan sakit hati atas berbagai hal, baik yang dilakukannya maupun yang dilakukan oleh orang lain. Yang dilakukannya semacam mengambil kesimpulan atau keputusan yang salah. Sedangkan yang ditimbulkan oleh orang lain, adalah apa yang dilakukan terhadap yang bersangkutan. Pada posisi ini, perlakuan tersebut ketika tidak bisa diikhlaskan, akan meninggalkan sesuatu yang lebih besar, yakni dendam. Kondisi emosional ini yang akan memorak-porandakan kekayaan lahir dan batin manusia. Akibat dendam, akan menghilangkan berbagai kepribadian indah, lalu menggantikannya dengan rasa murka setiap saat. Dendam memungkinkan seseorang selalu terjebak dalam suasana batin yang tidak tenang. Selalu berpikir tentang apa yang didendaminya.

Untuk hal tersebut itulah, pertanyaan yang saya temukan suatu pagi itu. Menurut orang ini, semua harus diikhlaskan oleh manusia. Manusia bisa melakukannya. Pertanyaannya adalah mau atau tidak. Yang sering terjadi, manusia tidak mau melakukannya. Sesuatu yang sebetulnya bisa dan mampu dilakukan, namun tidak mau akibat menyimpan berbagai rasa yang disebutkan di atas. Rumusnya, jika kita mengambil jalur agama, adalah dengan selalu membuang berbagai perasaan bersalah orang lain ketika kita mau tidur malam. Mengingat apa yang baik diberikan dan dilakukan orang kepada kita, pada saat yang sama memupus ingatan perlakukan yang buruk.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment