Kampung Wisata dan Wisata Kampung

Terus terang, saya tertarik dengan sejumlah kampung di Aceh yang sudah melihat kondisi ekologis sebagai potensi wisata. Dalam dua bulan ini, saya bersama tim melakukan satu riset sederhana untuk kepentingan penulisan artikel ilmiah. Ya, untuk …

Terus terang, saya tertarik dengan sejumlah kampung di Aceh yang sudah melihat kondisi ekologis sebagai potensi wisata. Dalam dua bulan ini, saya bersama tim melakukan satu riset sederhana untuk kepentingan penulisan artikel ilmiah. Ya, untuk jurnal. Anda pasti tahu bagaimana dosen itu harus memiliki publikasi yang cukup.

Publikasi ini, idealnya memang sebagai cermin produktivitas orang-orang yang melakukan fungsi belajar-mengajar. Realitasnya, semakin banyak kampus berkompetisi hanya dengan kepentingan mendongkrak angka-angka publikasi dalam sekejap. Tidak heran, ada kampus yang memilih jalan pintas –mencari orang-orang produktif yang bisa dibeli untuk membantu instansinya dalam hal publikasi. Orang seperti itu akan dikontrak, lalu diberikan kompensasi yang pantas, untuk kepentingan mendongkrak institusi yang bersangkutan. Posisi ini juga bisa berbeda. Ada orang yang akan melakukannya dengan baik –walau tentu, akan mendapatkan kompensasi. Satu corak lagi, mengejar tanpa batas, asal bisa mempertanggungjawabkan produktivitas.

Di kampus-kampus, juga berlaku dongkrak yang lain dalam hal publikasi. Ada kampus yang sudah melupakan proses, tapi langsung bertumpu pada hasil. Ia tidak peduli bagaimana dosen mencapai publikasi, tapi yang menjadi catatan betapa pentingnya publikasi harus dikejar –lalu berlomba disediakan insentif. Kampus sering tidak peduli dengan bagaimana seseorang menyiapkan artikelnya sehingga masuk pada jurnal tertentu. Kampus kadangkala hanya memperhatikan bagaimana membayar seseorang yang mereka sudah memiliki artikel yang idealnya memang harus dibayar dengan layak. Menarik kan?

Hal yang sama kadangkala mendengar kabar burung bagaimana untuk mencapai derajat jabatan akademik tertentu yang mensyaratkan artikel di jurnal, yang dipentingkan bagaimana wujudnya itu ada dan tidak mau tahu bagaimana ia dihasilkan. Pada tipe yang begini, kita sudah pada posisi bagaimana proses kejar-mengejar angka seperti masa kelam. Mengejar seperti para pemburu rente. Pemburu poin dan koin, yang pada posisi ini, kita hampir tidak tahu bagaimana wujud moral yang tiap hari dititipkan untuk peserta didik. Tapi entahlah, siapa peduli.

Bisa jadi saya juga terjebak dalam ruang ini. Saat melakukan riset, saya jumpa dengan seorang teman yang kini aktivis lingkungan. Selama ini ia memiliki usaha yang beberapa pagi saya melihat ia mengajar pengalamannya untuk anak muda yang khusus datang ke tempatnya. Teman saya ini tidak selesai kuliah. Seorang pendemo yang secara tidak langsung menyadarkan saya bagaimana melihat lingkungan secara kompleks. Saat bertemu dan menceritakan bagaimana lingkungan itu mulai menarik dilirik, ia mengingatkan pentingnya membedakan lingkungan sebagai sumber pemasukan dan lingkungan sebagai sumber penghidupan. Yang satu bertumpu pada eksploitasi, yang lain bertujuan untuk saling mendukung kebutuhan dalam kehidupan. Terserah kita akan memilih yang mana.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment