Hidup dengan bersahaja, seharusnya sangat penting. Melakukan apapun, tidak boleh serampangan, karena itu akan menampakkan suasana dan kualitas kita. Sudah seharusnya dalam menjalani kehidupan, hal-hal yang akan menampakkan rendahnya kualitas kita, bisa dihindari semaksimal mungkin.
Salah satu potret buram masyarakat kita adalah sangat mudah menampakkan jati dirinya dengan pakaian seadanya. Ketika datang tukang sayur keliling atau penjual ikan, banyak orang ke luar rumah hanya dengan menggunakan daster. Jenis pakaian ini, adalah sangat pribadi. Boleh dibilang daster adalah pakaian pribadi yang peruntukannya juga terbatas. Sepertinya juga laki-laki yang keluar hanya menggunakan celana pendek dengan baju singlet seadanya. Semua kenyataan ini, lalu kita bandingkan dengan melihat sejumlah iklan, masalah layak atau tidak, pantas atau tidak, sepertinya memungkinkan untuk dipinggirkan.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, yang disebut dengan daster adalah gaun yang sengaja dibuat longgar dan hanya untuk dipakai di rumah. Istilah tepatnya di dalam rumah. Sama seperti baju singlet, yang dikonsepsikan sebagai baju dalam yang tidak berlengan dan tidak berleher. Kedua pakaian ini mirip kutang, atau sejenis baju tanpa lengan hanya dipakai untuk kepentingan tertentu saja. Namun sampai kapan kepentingan itu tidak bisa dipertukarkan? Kenyataannya kini semua kepentingan bisa dicoba pertukarkan dengan alasan yang bermacam-macam. Kreativitas tanpa batas, yang dalam hal tertentu sudah melempar moral entah kemana. Moral itu sudah sering dianggap hanya pada tataran individual dan moral yang sifatnya bersama, sudah mulai diusahakan sebagian orang untuk ditinggalkan.
Kedua pakaian ini menggambarkan betapa ia sangat mudah ia dicomot dan dipasang. Seseorang yang ketika sedang di rumah, ketika keluar karena berbagai kepentingan, hanya tinggal memasang sebentar pakaian itu, lalu setelah masuk ke dalam, akan dicampakkan kembali di tempatnya. Ada kesan sangat mudah untuk memasang pakaian yang demikian dan tidak mau rumit. Pakaian lengkap dan bersahaja untuk ke luar rumah dan di hadapan banyak orang justru dianggap memperumit persoalan –bagi kepentingan yang barangkali hanya sebentar. Jadi alat ukur yang digunakan hanya kepentingan lama atau sebentarnya itu.
Padahal substansi berpakaian tidaklah demikian. Mengapa orang harus bersahaja dalam berpakaian, karena tubuhnya merupakan sesuatu yang diproduksi dari kebersahajaan. Bukan dengan main-main –apalagi dengan sambil-sambil. Kondisi inilah yang harus diperhatikan generasi muda, bahwa apapun yang dilakukan berangkat dari keseriusan dan kebersahajaan agar apa yang dilakukan sempurna dari segi makna dan tujuan. Bisa jadi orang memahami tentang makna dari sesuatu yang dilakukan, akan tetapi mengabaikan tujuannya. Orang yang tidak berpakaian ketika keluar rumah, memahami makna berpakaian, namun abai terhadap tujuan hakikatnya.
Begitulah generasi muda harus dibangun. Bukan generasi muda yang mau mencomot kemudahannya saja dengan abai terhadap proses yang bersahaja yang harus dilakukan. Generasi muda yang memahami kebutuhan pribadi dengan kebutuhan publik. Ia bisa mengubur kebutuhan pribadi ketika mereka berada dalam ranah kepentingan publik.
Hanya generasi demikian yang berani dan mampu menunjukkan jati diri pribadinya secara bersahaja, bukan dengan biasa-biasa saja dan terkesan hanya comot begitu saja. Generasi demikian adalah generasi yang dibangun dengan menggunakan perasaan juga, sehingga mereka dalam menanggapi sesuatu, tidak sebatas tahu makna, melainkan paham tujuan yang harus dijalankan.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.