Haji

Pernahkah Anda mendengar orang yang tidak kunjung naik haji, memberi alasan belum ada panggilan? Bukankah panggilan untuk berislam itu harus dengan usaha dan kerja keras? Dengan demikian, tanpa berusaha, bukankah tidak layak kita katakan sebagai …

Pernahkah Anda mendengar orang yang tidak kunjung naik haji, memberi alasan belum ada panggilan? Bukankah panggilan untuk berislam itu harus dengan usaha dan kerja keras? Dengan demikian, tanpa berusaha, bukankah tidak layak kita katakan sebagai belum ada panggilan?

Mungkin Anda berbeda pendapat dengan saya. Marilah saya ajak untuk melihat bagaimana orang-orang kecil yang bercita-cita dapat kesempatan naik haji. Mumpung ini masih musim haji, kita bisa menemukan banyak orang yang naik haji bukan dari golongan yang mewah dan memiliki segalanya. Ada sebagian dalam rombongan yang berangkat, adalah mereka yang menyimpan dana bertahun-tahun agar mendapat kesempatan yang diimpikan itu.

Dengan demikian, cita-cita menjadi yang utama. Dengan cita-cita akan membakar semangat kita untuk mencapainya. Semangat yang didapat, bukanlah semangat biasa. Dan semangat ini yang menentukan banyak orang di luar sana, memungkinkan melakukan hal-hal yang tidak mampu kita bayangkan.

Di luar masalah haji, banyak konteks yang lain. Kedermawanan menjadi contoh lain. Betapa dunia tidak pernah sepi dari sikap kedermawanan. Ada orang miskin yang berusaha keras hanya untuk bisa mengumpulkan uang, lalu dengan uang itu ia membeli nasi bungkus yang dibagi-bagikan kepada mereka yang tuna wisma. Mereka berderma secara bersahaja, dengan modal yang dicari sekuat tenaga.

Ada orang yang menempuh jalan terjal, mengumpulkan uang bertahun-tahun dari memulung, lalu membeli hewan untuk dijadikan qurban. Seorang nenek tua renta, menabung beberapa ratus Rupiah saja setiap harinya, lalu ketika sudah tiba masa, mereka menyedekahkannya.

Ada orang kaya, yang ketika waktu berzakatnya tiba-tiba, mengeluarkan dengan tidak beban. Banyak orang yang mengeluarkan kewajiban dengan tidak diketahui media. Memang ada beberapa orang berada, yang nyumbang atau berzakat beberapa, lalu mengundang media untuk meliputnya. Ketika orang yang ingin mendapatkan jatah ternyata datang melebihi dari jumlah yang diperkirakan, pelaksana tidak siap dan tidak jarang menimbulkan korban. Bahkan jumlah zakat dengan energi yang dikeluarkan mereka yang ke sana, juga tidak selalu impas. Mereka datang menggunakan jasa angkutan, dalam banyak momentum, hanya mendapatkan dua puluh ribu saja.

Selain itu, masih ada juga orang-orang yang tidak semata ingin mendapatkan kelebihan semata. Kini, semakin banyak orang-orang yang hebat lahir dari kedermawan. Terutama mereka yang memiliki usaha. Terutama yang masih berusia muda. Mereka tidak takut ada untungnya yang dipergunakan untuk membantu yang lainnya. Mereka lahir dari proses sosial yang tidak nyaman.

Mereka yang demikian, selalu memiliki posisi bahwa semuanya yang ada hanyalah titipan. Harta yang mereka punya, seberapa pun jumlahnya, bisa tertambah dan terkurang kapan saja. Banyak orang super kaya tiba-tiba menjadi miskin. Sebaliknya, orang yang tidak punya apa-apa, tiba-tiba menjadi pengusaha yang kaya-raya.

Dengan berangkat dari pola pikir demikian, maka harta bukanlah sesuatu yang digelisahkan. Bagi mereka, harta adalah sesuatu yang penting untuk diperuntukkan bagi sesama. Ketika harta digunakan untuk tujuan mulia demikian, tidak berarti besok mereka sudah tidak punya apa-apa. Demikian juga mereka yang kaya-raya lalu tidak menyumbang apa-apa, bukan berarti besok bangun pagi, harta mereka masih utuh sebagaimana adanya.

Kalkulasinya tidak demikian. Kalkulasi masa depan, bahwa segala sesuatu bisa bertambah dan berkurang kapan saja. Sekali lagi, bahwa karena harta itu adalah titipan. Pemegangnya hanya orang yang sedang dititipi. Bukan empunya aslinya. Makanya banyak orang, karena merasa sebagai titipan itu, memanfaatkan semaksimal mungkin mendayagunakannya, sebelum masa finis hidupnya di dunia tiba. Ketika masanya, tidak ada lagi yang bisa dijadikan amal.

Makanya manusia harus sadar bahwa mereka harus membagi sebagian yang mereka punya, sebelum datang suatu hari yang waktu itu tidak ada lagi jual beli dan persahabatan (QS Ibrahim: 31).

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment