Merokok sebagai Alasan

Dari orang-orang yang giat merokok, mereka memberi alasan rokok sebagai pembantu dalam menghadirkan inspirasi. Bukan satu atau dua yang berpikir begitu. Setidaknya dari sejumlah orang yang saya kenal, menanyakan mengapa sulit meninggalkan rokok, jawabannya seperti …

Dari orang-orang yang giat merokok, mereka memberi alasan rokok sebagai pembantu dalam menghadirkan inspirasi. Bukan satu atau dua yang berpikir begitu. Setidaknya dari sejumlah orang yang saya kenal, menanyakan mengapa sulit meninggalkan rokok, jawabannya seperti yang saya sebut itu. Alasan rokok menjadi utama.

Kita sering memberi alasan sesuatu saat tidak bisa menuntaskan suatu pekerjaan yang seharusnya diselesaikan. Maksudnya, ada hal yang seharusnya bisa diselesaikan, namun tidak terlaksana dengan baik, namun kita menjadikan alasan lain untuk menggambarkan penyebab dari kegagalan itu.

Saya sering membayangkan bagaimana orang-orang yang menulis, memberi alasan rokok atau kopi yang menyebabkan artikelnya selesai. Seolah-olah orang yang tidak merokok, tidak minum kopi, maupun orang yang tidak menghisap permen, lantas tidak bisa menulis.

Orang-orang yang berpikir semacam itu, selalu tergantung dan kopi, rokok, atau permen, selalu menjadi alasan sesuatu itu selesai atau tidak. Sesederhana itu. Sehingga jika ada hal yang tidak baik, kita beranggapan tidak mudah hal itu diselesaikan karena bergantung pada kaitan di atas.

Pengalaman saya berhenti merokok mungkin bisa jadi contoh. Seorang teman akrab saya, hingga sekarang masih belum percaya saya sudah tidak merokok. Ketidakpercayaannya itu, mungkin sama dengan rumus pasti para perokok berat, yang mengatakan, orang yang merokok mungkin akan merasakan sakit di kemudian hari, namun tiada rokok saat ini, juga memungkinkan munculnya derita sekarang juga. Ungkapan itu seperti jurus paling jitu, untuk menggambarkan seolah-olah perokok berat pun tidak berhenti kebiasaan merokok.

Teman itu masih perokok. Saya berhenti merokok pada tahun 2007. Sebelumnya saya bisa menghabiskan tiga bahkan lima bungkus dalam sehari semalam. Merokok itu, seperti kata orang, katanya memberi peluang untuk menenangkan pikiran. Rokok juga dibayangkan sebagai senjata jitu untuk mempermudah dalam melakukan banyak hal. Apalagi merokok, katanya, dipadukan dengan kopi. Merokok setelah makan pedas. Tiada rokok, seperti pernah juga saya baca disuratkabar, menurut seorang anggota dewan, akan membuat mulutnya asam.

Tidak ada sesuatu yang istimewa sebenarnya, mengapa saya bisa berhenti merokok. Hal yang utama adalah tekad. Dengan tekad yang bulat, akan menghasilkan cita-cita ini. Tanpa ada tekad, maka berhenti merokok hanya angan-angan.

Ada pemantik yang tiba-tiba hadir. Saya membaca satu iklan surat kabar tentang bahaya merokok. Di sana saya melihat ada puluhan zat sangat berbahaya dari sebatang rokok, yang tidak hanya meracuni pada perokok sendiri. Justru zat-zat berbahaya itu semakin besar bahayanya akan didapatkan oleh mereka yang hanya mencium bau asap rokok.

Pada taraf yang terakhir ini, sungguh saya merasa sesuatu yang tidak adil terjadi. bagaimana orang-orang yang merokok, ternyata tidak mereka sendiri yang merasakan akibatnya. Berbagai implikasi kesehatan, secara berombongan juga dirasakan oleh banyak orang lain di sekelilingnya. Ironisnya lagi, kadangkala orang-orang dekat yang tidak merokok secara langsung, merasakan implikasi kesehatan yang lebih parah dari para perokok.

Bukankah ini tidak adil? Tetapi mengatakan adil untuk siapa? Di tengah cukai rokok yang luar biasa besar pemasukannya bagi daerah industri rokok. Kemudian imajinasi yang diterbangkan lewat iklan menjadikan rokok sebagai sesuatu yang menimbulkan gelora kebahagiaan yang luar biasa. Sekiranya melihat bagaimana visual iklan dari perusahaan rokok, tidak akan ada peringatan betapa dahsyatnya implikasi dari kegiatan merokok.

Sebagai teman akrab, saya tiada henti mengingatkan teman untuk segera berhenti merokok. Sekarang juga. Anda pasti bisa. Atau pilihan kedua, silakan terus merokok dengan kesadaran risiko yang akan dihadapi. Namun ada catatan penting, bahwa risiko besar yang terintai itu, seyogianya juga harus tidak menyebar bukan ke sesama perokok, melainkan orang-orang yang bukan perokok sebagai pihak yang menerima risiko yang lebih besar. Kepada teman akrab saya itu, terus saya ingatkan bahwa apabila merokok di tempat orang lain yang bukan perokok, adalah melakukan sesuatu yang buruk terhadap “orang tiada berdosa”.

Seperti saya, mungkin suatu saat, ia juga akan berhenti.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment