Terpapar Rokok

Saya tidak ingat persis sejak kapan terpapar rokok. Saat sekolah menengah pertama, sudah mulai sesekali merokok. Keadaan yang saya ingat, waktu itu, ada satu kios kecil di sudut pagar sekolah. Ada hal lain yang saya …

Saya tidak ingat persis sejak kapan terpapar rokok. Saat sekolah menengah pertama, sudah mulai sesekali merokok. Keadaan yang saya ingat, waktu itu, ada satu kios kecil di sudut pagar sekolah. Ada hal lain yang saya ingat. Saya sudah mulai kenal dengan beberapa siswa yang lebih senior. Faktor ini bukan pula tiba-tiba. Sejak kecil saya sudah membantu mengelola satu warung kopi kecil di samping rumah. Dengan bekal itu, saya kenal dengan banyak orang, yang membuat kesiapan bergaul dengan orang-orang yang lebih dewasa. Kondisi ini yang barangkali turut membantu saya lebih cepat mengenai rokok.

Saya mengalami hal negatif ini lebih cepat dari usianya. Bukan untuk membenarkan bahwa merokok bisa dilakukan oleh orang yang lebih dewasa. Siapa pun yang merokok, tetap memiliki dampak yang sama. Tidak tergantung usia, atau bahkan jenis kelamin. Pada faktor jenis kelamin, yang saya pahami, bukan karena jenis kelaminnya, melainkan pada ketergantungan banyak orang pada garis perempuan. Misalnya ketergantungan anak terhadap ibunya yang lebih erat dibanding dengan ayahnya. Jadi bukan karena jenis kelaminnya. Orang dewasa pun idealnya tidak merokok karena dengan dampak yang buruk bagi Kesehatan dan orang-orang di sekitarnya.

Ada hal lain yang sepertinya posisi saya berbeda dengan yang lain. Walau tergolong perokok berat, tidak semua orang dekat tahu saya itu perokok. Bahkan orang tua saya, mungkin waktu mahasiswa akhir saya sudah pernah sesekali melihat saya merokok. Sebelumnya tidak pernah. Saya jaga betul untuk tidak merokok sembarangan. Posisi ini saya anggap sebagai etika yang tidak ada hubungannya dengan posisi seseorang yang sudah mapan atau tidak. Apalagi dalam masyarakat kita, seseorang diingatkan boleh merokok atau tidak tergantung dari faktor pendapatan. Jika tidak mampu, disarankan tidak merokok, karena berisiko nanti saat tidak mampu membeli rokok akan mencari uang dengan jalan buruk.

Begitulah saya mengenal rokok, yang tidak perlu ditiru oleh orang lain. Tidak ada gagahnya hanya gara-gara seseorang itu merokok. Tidak ada machonya. Tidak ada terasa lebih laki hanya gara-gara sebatang rokok. Perasaan itu harus dibuang, karena semua itu ilusi yang membuat seseorang tidak bisa mengontrol diri dengan baik.

Hal negatif lain adalah kecanduan akan rokok sering membuat orang-orang yang merokok tidak bisa menghargai orang lain dengan baik. Mereka merasa seolah-olah semua orang tidak masalah dengan asap rokoknya. Para perokok, tidak mengenal tempat dan waktu, mengeluarkan bungkusan rokok, lalu mengambil batangannya dan menyulut apinya. Lalu mengembus asap dan tidak ambil pusing dengan orang-orang di sekitarnya. Pada posisi itu, rokok itu kadang-kadang memperlihatkan daulatnya, yang mana orang yang merokok pun tidak mampu mengontrol dari tekanan itu.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment