Disiplin

Mengapa orang lebih memilih berada di luar tempat seharusnya, dibandingkan tempat kerja untuk kewajibannya? Hanya bisa menduga-duga, bahwa orang yang demikian tidak melaksanakan kewajiban dengan meresapinya hingga ke hati. Orang hanya datang ke tempat tugas …

Mengapa orang lebih memilih berada di luar tempat seharusnya, dibandingkan tempat kerja untuk kewajibannya? Hanya bisa menduga-duga, bahwa orang yang demikian tidak melaksanakan kewajiban dengan meresapinya hingga ke hati. Orang hanya datang ke tempat tugas untuk menghabiskan waktu, bukan untuk menunaikan kewajiban yang seharusnya dilakukan.

Fenomena semacam ini jamak. Kita bahkan merasa tidak ada masalah apapun berada di luar tempat dinas. Ironisnya bahkan untuk menunaikan kewajiban, kita harus dikejar-kejar oleh mereka yang bertugas menegakkan peraturan di daerah-daerah.

Saya ingin cerita satu pengalaman. Satu hari saya keluar rumah tidak begitu pagi. Karena sebelum berangkat ke kampus, saya harus mencari sejumlah bahan penting untuk saya kirim kepada sejumlah teman di tempat saya kuliah. Tentu butuh beberapa waktu juga untuk mencari sejumlah itu dan ketika di rumah harus saya bungkus dengan baik. Setelah selesai saya bungkus, baru saya berangkat dari rumah ke kantor pos. Percayalah di sekitar kantor pos ada sejumlah warung kopi dan kantin kantor. Sepanjang perjalanan juga saya berhadapan dengan banyak warung kopi di pinggir jalan.

Ketika saya berangkat dari rumah, waktu sudah terlambat untuk ukuran masuk kantor. Namun apa yang saya lihat? Ternyata di pinggir jalan, tempat warung-warung kopi itu disesaki dengan orang-orang yang berseragam dinas. Artinya mereka yang seharusnya masuk dinas, namun singgah lebih dahulu di warung kopi. Hal yang sama ternyata saya lihat di sejumlah kantin kantor. Fenomena ini sepertinya terlihat lebih kreatif. Orang ada di sekitar kantor, namun bukan di ruang kerja, melainkan di kantin dengan pakaian dinas lengkap.

Tentu ini bukan hal yang biasa. Dengan sistem absensi elektronik yang sekarang berlaku, sepertinya ada peluang untuk dikibuli. Dengan demikian masihkah kita beranggapan bahwa kedisiplinan itu sangat ditentukan oleh fisik? Ternyata tidak. Sebagian dari persoalan kedisiplinan ternyata dibentuk oleh kesadaran kita dalam melaksanakan tugas. Orang yang mengira bahwa urusan disiplin hanya terkait dengan absen, pada dasarnya itu salah besar. Absen hanya alat untuk membuktikan secara formal-prosedural bahwa kita disiplin. Orang-orang yang dilihat selalu tidak pernah absen ketika diprin absen elektronik, dianggap sebagai orang yang disiplin. Dalam kategori ini, tidak peduli bahwa seseorang itu, setelah absen, ternyata keluar lagi untuk duduk-duduk di warung kopi. Sebaliknya, mereka yang dari pagi mungkin sudah di kantor, namun tidak melakukan absensi, bisa saja akan dianggap tidak disiplin karena tidak membubuhkan tanda tangannya pada absen –termasuk elektronik—yang telah disediakan kantor.

Disiplin itu terkait dengan rasa dan hati. Orang yang ingin disiplin bukan karena ingin tampak tidak pernah bolong dalam absen. Untuk syarat formal bisa demikian. Namun secara substansi, teken saja belum cukup tanpa diikuti oleh menghitung benar jam kerja sesuai dengan hak yang sudah kita nikmati. Kewajiban kerja kita tidak boleh hanya diukur dengan membuktikan dan tidak lupa absen, namun harus didorong oleh semangat untuk menunaikan kewajiban sebanding dengan hak yang sudah kita terima.

Tidak mudah membangun kesadaran demikian, walau bukan berarti tidak ada peluang. Perlu ada semangat lebih untuk kita bangun generasi baru yang sadar bahwa kewajiban tidak sebatas pada formal –prosedural, melainkan juga substansi. Seseorang melakukan sesuatu itu, dengan kesadaran penuh bahwa itu kewajibannya, walau tidak dipaksa dengan berbagai cara dalam menegakkan disiplin.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment