Intelek

Selalu berkemungkinan berbeda antara keinginan dan kebutuhan. Semua aspek kebutuhan harus dilihat dengan baik, apa adanya. Orang yang melihat seolah-oleh semua dibutuhkan, melalui gumpalan keinginan, timbul rasa sesuatu yang lebih dari yang mampu diterima atau …

Selalu berkemungkinan berbeda antara keinginan dan kebutuhan. Semua aspek kebutuhan harus dilihat dengan baik, apa adanya. Orang yang melihat seolah-oleh semua dibutuhkan, melalui gumpalan keinginan, timbul rasa sesuatu yang lebih dari yang mampu diterima atau dilakukan.

Kita sering tidak menyadari ingin langsung mendapatkan hasil namun tidak dengan proses yang baik. Ingin mendapat sesuatu yang luar biasa, namun dengan usaha yang biasa-biasa saja. Hal demikian tidak normal. Orang yang berpatok pada keinginan terus-menerus, hanya akan menempatkannya pada posisi orang yang tidak berpijak ke bumi. Mereka yang nyata ingin berpijak pada kebutuhan, akan melakoni hidup apa adanya, sesuatu dengan yang telah diusahakan.

Ada satu diskusi kecil terjadi dalam komunitas intelektual. Saya gunakan kata intelektual lebih disebabkan karena untuk memberikan kesan umum, terutama untuk orang yang sudah bergelar. Padahal konteks intelektual sesungguhnya tidak hanya ditentukan oleh gelar. Intelektual itu turut ditentukan oleh sejauhmana kontribusi seseorang terhadap upaya menyelesaikan persoalan yang nyata dalam masyarakat. Jika menilik konsep ini, maka siapapun yang disebut dengan intelektual, seyogianya peran dan kontribusi dalam menyelesaikan masalah orang banyak, nyata adanya. Makanya saya tidak ingin memperdebatkan ini. Saya mencoba menggunakan kata ini dalam makna yang awam dan diketahui umum tanpa mengenai batas ilmu tertentu.

Dalam komunitas inilah terjadi satu diskusi yang alot, khususnya mengenai alasan bahwa kejujuran itu sangat penting dalam kegiatan orang-orang terpelajar. Proses yang jujur, bagi orang-orang demikian, tidak masalah bisa hasilnya ternyata salah. Karena salah alam mencari ilmu itu dianggap kekurangan, namun ditekankan agar jujur dalam mencari ilmu. Jujur dalam makna ini juga bisa dilihat dalam berbagai perspektif. Saya juga ambil cara pandang yang aman. Seseorang mendapatkan ilmu dari orang yang tepat dan benar. Seseorang belajar pun pada orang yang memang tepat dari segi keilmuan. Tidak belajar tentang asam pada orang yang membuat garam. Proses menghasilkan asam dan garam selalu berbeda dan itu dilakukan oleh orang-orang khusus. Bisa saja seseorang memiliki ilmu tentang dua-duanya: asam dan garam. Namun hendaknya, ketika menghadapi masalah tentang garam, ia akan menggunakan perspektif garam, bukan asam.

Begitulah dan mohon maaf bila analog tersebut kurang tepat. Mudah-mudahan akan termudahkan dalam memahami bagaimana proses pembelajar yang dilalui. Orang-orang yang menuntut ilmu formal, umumnya selalu berhadapan dengan kewajiban membuat karya tulis ilmiah –sesuatu yang kemudian akan ditinggalkan di tempat orang itu menuntut ilmu. Biasanya dalam membuat karya tersebut, orang akan dibimbing secara terencana dan terprogram. Hanya orang yang sudah mendapatkan standar ilmu tertentu yang akan melakukan tugas ini. Tidak bisa orang-orang yang di luar standar yang ditentukan, lalu dibimbing untuk melakukan penulisan demikian. Implikasinya akan kacau sekali.

Dalam proses pembimbingan ini, ada tiga hal yang secara langsung akan terkait, yakni masalah substansi, metode penulisan, dan masalah etika. Substansi khususnya terkait dengan bidang ilmu masing-masing yang ditulis. Seseorang yang menulis tentang asam, mestilah dibimbing oleh orang yang mengerti dan memahami asam. Namun substansi akan kacau ketika tidak didampingi dengan metode penulisan yang rapi. Bagaimana seseorang sampai pada kesimpulan tertentu, tetap dilalui melalui proses dan metode yang terukur –bukan sim salabim. Demikian juga dengan pentingnya etika, terkait dengan bagaimana menggunakan pikiran orang lain dalam karya kita, hal ini juga satu hal penting. Jadi ketiganya memang tidak boleh diabai.

Masalahnya ada yang menganggap ketika benar substansi, boleh abai etika dan metode. Menurut saya itu harus diluruskan, jika ingin mendapatkan hasil yang utuh. Mengapa ada yang abai, karena kepentingan ingin mengejar-ngejar. Hal yang disebut terakhir, karena ingin mendapatkan sesuatu yang baik tidak melalui proses yang baik. Mari hindari yang demikian.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment