Makan

Dengan setengah berseloro, teman menganalogi hidup melalui tiga konteks cara cari makan yang dijalani manusia. Saat seseorang masih sederhana, ia hanya akan makan apa yang akan ia makan. saat status meningkat sedikit, pertanyaan menjadi lebih …

Dengan setengah berseloro, teman menganalogi hidup melalui tiga konteks cara cari makan yang dijalani manusia. Saat seseorang masih sederhana, ia hanya akan makan apa yang akan ia makan. saat status meningkat sedikit, pertanyaan menjadi lebih meningkat juga, dimana akan makan. Saat persaingan hidup memuncak, dan kebutuhan masing-masing orang terus meningkat, ada hal lain yang akan muncul, tentang siapa yang akan dimakan siapa.

Tidak masalah bagaimana kita posisikan seloro semacam ini. Berbagai kondisi kehidupan tidak akan ditanggapi sama oleh orang-orang yang berbeda. Bahkan untuk hal yang sederhana dan sama, akan dimaknai berbeda oleh mereka yang melihatnya.

Apa yang sangat krusial berlangsung dalam semua lini kehidupan akhir-akhir ini? Menurut saya, salah satunya, cara dan kepentingan individualistik yang selalu harus disanjung. Kepentingan individualistik yang demikian, pada dasarnya mencerminkan apa yang ada di sebaliknya. Satu hal adalah kebebasan dan masyarakat liberal. Kepentingan individu, rasanya tidak mungkin lahir dari masyarakat selain dari masyarakat berkultur liberal. Akan tetapi apakah semua hal yang berkultur liberal itu tidak baik? Tentu, itu soal yang lain lagi. Titik penting yang ingin saya sampaikan, bahwa untuk sampai hingga periode dengan kultur masyarakat demikian, tidak terjadi dengan sendirinya. Ada kekuatan dan kesadaran yang mendukung dan ditekan terus-menerus.

Dalam hukum, tekanan ini terasa sekali. Watak hukum yang berkultur liberal semakin menggurita cara berfikir dan berhukum bangsa ini. Semua masalah yang terkait dengan masyarakat, selalu dikaitkan dengan posisi individual. Implikasinya adalah keberangusan nilai-nilai non individual yang sesungguhnya dimiliki oleh negara semacam Indonesia. dengan masyarakat yang multikultur, membuat bangsa ini harus selalu menyeimbangkan kepentingan bersama dengan kepentingan individu. Tidak sebaliknya, kepentingan bersama yang lebih menekan, atau bahkan kepentingan individu yang lebih berdaya. Konsekuensinya adalah apa yang disebut sebagai masalah bersama, tidak semua bisa diselesaikan melalui konsep-konsep yang individual.

Dalam hukum, terutama yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, sudah mulai bergerak ke arah yang individual. Untuk siapapun bisa diberikan hak, sedangkan pada saat yang sama, kepentingan komunal masyarakat kerap diabaikan. Ironisnya untuk menyelamatkan hak-hak individu itu, dikerahkan tank baja, sedangkan untuk kepentingan rakyat banyak digusur tidak apa-apa. Untuk rakyat kecil diminta pertanggungjawaban secara tidak rasional, tidak semudah bagaimana kapling-kapling diserahkan kepada dan menjadi hak-hak individu.

Kasus-kasus tambang, hak penguasaan hutan, hak pengusahaan pesisir (dan laut), selalu bergesek dengan kepentingan masyarakat. Dalam banyak kasus, justru masyarakatlah yang harus meminggirkan dari berebut sumber daya itu. Masalahnya adalah minggir rakyat bukan karena kerelaan, melainkan karena lebih sering ditekan oleh kekuasaan.

Lambat laun, perkembangan ke arah yang makin individualistik itu menggempur lini kehidupan yang lain. Hukum disiapkan untuk mengikuti perkembangan demikian. Hukum dalam makna peraturan perundang-undangan dalam sekejap disiapkan dalam konteks pemodal. Dalam konteks ini, seyogianya posisi hukum pun bisa direkonseptualisasi ketika ia tidak lagi bersandar pada kepentingannya yang bersahaja: keadilan, ketertiban, keseimbangan. Hukum kemudian menjadi sangat sederhana makna, yang bisa dikejar tayang diselesaikan dalam beberapa malam, melalui pasal-pasal yang bisa kita eja saja.

Masalah-masalah yang seharusnya berhakikat bersama pun, akhirnya disederhanakan menjadi berhakikat individu. Tentu perkembangan ini tidak sederhana. Perlu ada kekuatan yang memberdayakan untuk meluruskan konseptual ini.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment