Edisi Buku Akhir Tahun

Semalam, 31 Desember 2023, kami meluncurkan buku akhir tahun. Judulnya, Aceh 2024: Membangun Martabat Politik dengan Politik Bermartabat. Tahun ini, bersama Bandar Publishing, kami sudah meluncurkan tahun kelima. Pada 31 Agustus 2019, buku berjudul Aceh …

Semalam, 31 Desember 2023, kami meluncurkan buku akhir tahun. Judulnya, Aceh 2024: Membangun Martabat Politik dengan Politik Bermartabat. Tahun ini, bersama Bandar Publishing, kami sudah meluncurkan tahun kelima. Pada 31 Agustus 2019, buku berjudul Aceh 2020: Diskursus Sosial, Politik, dan Pembangunan (2019). Dilanjutkan 31 Desember 2020, Aceh 2021: Sumber Daya Alam dan Politik (2020). Kemudian 31 Desember 2021, buku Aceh 2022: Pendidikan dan Politiknya (2021), 31 Desember 2022 diluncurkan buku Aceh 2023: Potret Baru Patologi Aceh (2022).

Dalam buku ini, ingin dijelaskan rumitnya politik yang tidak bisa ditampik. Belajar dari Pemili 2019. Lihatlah, setelah pencoblosan selesai pada 17 April 2019, dan Joko Widodo-KH. Ma’ruf Amin unggul dengan mendapatkan suara 85.607.362 suara (55,5 %), dibandingkan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang mendapat suara 68.650.239 suara (45,5 %), tidak lantas semua selesai. Komisi Pemilihan Umum (KPU), mengumumkan hasil pemilihan pada dini hari 21 Mei 2019. Hasil ini digugat Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi. Alasan gugatan sengketa hasil pemilihan presiden kepada Mahkamah Konstitusi karena dianggap terdapat penuh ketidakadilan dan kecurangan yang terjadi.

Catatan penting, karena dua kontestan itu saling berhadap-hadapan dari awal, dengan masa kampanye yang sangat lama. Kampanye dimulai 23 September 2018, berakhir pada 13 April 2019.

Masalahnya adalah bukan hanya pada calon, melainkan gerbong yang ada di belakangnya. Masing-masing memiliki gerbong pendukung masing-masing, dengan berbagai tipikal dan dinamika. Sepanjang masa kampanye itu, tensi politik naik-turun. Berbagai peluang digunakan dalam rangka memenangkan proses politik.

Ada dua blok koalisi politik yang saling berhadap-hadapan. Koalisi Indonesia Kerja dengan usungan delapan partai politik: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (yang mendapat 18,95% suara), Partai Golongan Karya (14,75%), Partai Kebangkitan Bangsa (9,04%), Partai Nasdem (6,72%), Partai Persatuan Pembangunan (6,53%), Partai Hanura (5,26%), Partai Bulan Bintang (1,46%), PKPI (0,91%), PSI, Partai Perindo, dan Partai Nanggroe Aceh (PNA), Total suara koalisi ini mencapai 63,62% (338 kursi). Saat proses pemilihan, koalisi ini berhadapan dengan Koalisi Adil Makmur, dengan usungan Partai Gerindra (11,81%), Partai Demokrat (10,19%), Partai Amanat Nasional (7,59%), Partai Keadilan Sejahtera (6,79%), Partai Berkarya, Partai Idaman, dan Partai Aceh. Koalisi ini mendapat 36,38% dengan 222 kursi.

Tensi pemilihan presiden waktu itu, dirasa tidak seperti sebelumnya, disebabkan dua hal. Pertama, pemilihan presiden yang terpisah dari pemilihan legislatif. Dengan penggabungan, kedua kekuatan yang berjuang saling mempertaruhkan apa yang mereka punya. Mereka yang berusaha memenangkan kontestasi dalam pemilihan presiden, pada saat yang sama harus berpikir dengan kemenangan legislatifnya. Kedua, masa kampanye yang tidak lama. Waktu itu, masa kampanya hanya sebulan saja, yakni 4 Juni hingga 5 Juli 2014. Tentu kampanye ini dimaksudkan sebagai kampanye untuk calon presiden dan calon wakil presiden.

Dengan membandingkan dua kali pemilihan umum dan pemilihan presiden, tensi politik lebih tinggi pada 2019. Masalahnya suasana persaingan politik tingkat bawah, sepertinya tak kunjung selesai. Tapi di tengah gencarnya perbedaan dan persaingan, sejumlah peristiwa politik lain terjadi.

Seperti kata orang-orang bahwa tidak ada teman atau musuh yang abadi dalam politik.

Ketika persaingan pada pendukung belum selesai, tiba-tiba Prabowo mendapat sepiring nasi goreng dari Megawati. Tokoh ini juga tidak asing bagi Prabowo, karena saat Susilo Bambang Yudhoyono naik periode kedua yang berpasangan dengan Budiono, lawannya waktu itu adalah Megawati yang berpasangan dengan Prabowo.

Sebelum orang habis merenung politik nasi goreng, publik kemudian dikejutkan kejadian yang lain: Surya Paloh sebagai Ketua Nasdem yang menjadi bagian pengusung Joko Widodo, tidak disalami oleh Megawati. Entah sengaja atau terlewatkan.

Belum habis kebingungan banyak orang, Prabowo lalu diumumnya sebagai salah seorang menteri, lengkap dengan partai politiknya bergabung dengan koalisi pemerintah. Setelah dilantik 20 Oktober, ternyata koalisi pemerintah turut menjadikan Partai Gerindra sebagai teman baru dalam politik.

Menyambut tahun politik 2024, sejumlah rangkaian politik terjadi dan tidak kalah mengejutkan. Ketika semua partai politik belum memiliki calon yang pasti, justru Surya Paloh dan Nasdem mengumumkan Anies Rasyid Baswedan sebagai bakal calonnya. Dengan dukungan yang tidak cukup syarat suara. Masalahnya tidak sederhana karena tokoh ini berada pada posisi berseberangan dengan politik yang ada.

Selesai Nasdem deklarasi, situasi juga kembang-kempis. Nasdem dijaga jarak oleh pihak lain, awalnya. Namun pelan mencair, pada akhirnya. Partai-partai yang awalnya merasa tidak mungkin berkomunikasi, namun pada akhirnya mengaku ingin bertemu dan berbicara dari hati ke hati. Itulah politik dan berdinamika dengan berbagai wujud dan perkem-bangannya.

Selain ada yang mendekat, juga ada yang menjauh dan menjaga jarak. Partai Demokrat yang awalnya dekat dengan Nasdem, saat Muhaimin Iskandar dari PKB yang terpilih sebagai Calon Wapres, akhirnya Demokrat memilih ke blok Koalisi Gerindra. Hingga akhir penerima pendaftaran, 25 Oktober 2023, tiga pasangan yang mendaftar: Anies Rasjid Baswedan – Muhaimin Iskandar (urut 1), Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo – Mahfud MD.

Gibran tiba-tiba muncul sebagai tokoh muda. Diyakini ia dimudahkan oleh pengelola hukum dan kekuasaan. Mahkamah Konstitusi membuka peluang untuk orang yang belum 40 tahun. Dan kran ini, tidak mungkin tanpa sebab: kekuasaan bermain untuk hal ini. Maka munculnya calon ini, memunculkan kekuatan masing-masing pasangan.

Begitulah politik berdinamika.

Dengan berbagai keadaan dan situasi, dibutuhkan adanya komitmen semua pihak untuk menggunakan politik hukum garis lurus. Tidak boleh para pihak larut dalam birahi kepentingan masing-masing kekuatan politik dalam jangka pendek, dengan menghancurkan konsep politik yang berbasis fondasi dalam kehidupan berbangsa.

Semua orang memikirkan dampak dari suatu persaingan politik. Dalam hidup, persaingan sesungguhnya hal yang biasa. Dalam berbagai bentuknya, persaingan terjadi. Namun usaha untuk membawa persaingan ke dalam ruang yang positif, seharusnya dilakukan bersamaan dengan proses mendapatkan kekuasaan. Bukan jalur buruk –apalagi menggunakan kuasa dan kekuasaan untuk mempermudah jalan dalam mencapai kekuasaannya.

Perkembangan politik akan memperlihatkan apakah kita masih belum bisa meninggalkan cara-cara politik abad yang lalu. Dan daya dukung pikir, bukan tidak mungkin tidak digunakan orang dalam mencapai kekuasaannya.

Pada sisi lain, berbagai realitas dan kontestasi politik, seyogianya berdampak bagi pendidikan politik publik bagi bangsa. Realitas politik seharusnya membuat orang makin cerdas dan mencerahkan. Berbagai perbedaan yang terjadi dalam kontestasi politik, sudah bisa dihentikan agar suasana harmoni yang pernah renggang dalam proses politik, bisa kembali disatukan.

Tapi proses pembelajaran politik yang baik bagi rakyat, sepertinya seperti jalan terjal, jalan mendaki, yang penuh perjuangan. Tapi jalan itu harus dilalui. Pada masa depan, berbagai proses yang ada selalu berorientasi pada pembangun peradaban yang lebih baik. Itulah martabat politik dan politik yang bermartabat.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment