Memahami Derita

Pada kolom sebelumnya, saya ceritakan bagaimana perasaan kita sebagai manusia jika menonton video dimana ada sekelompok orang memindahkan paksa pengungsi Rohingya. Video itu terlanjur tersebar dan viral. Semua hal, selama ini, selalu berpotensi untuk viral. …

Pada kolom sebelumnya, saya ceritakan bagaimana perasaan kita sebagai manusia jika menonton video dimana ada sekelompok orang memindahkan paksa pengungsi Rohingya. Video itu terlanjur tersebar dan viral. Semua hal, selama ini, selalu berpotensi untuk viral. Dan setelah sesuatu sudah viral, ia bisa menarik simpati, atau malah sebaliknya. Semuanya memungkinkan dengan zaman yang sudah terbuka. Seolah tidak berbatas. Walau saya juga yakin era terbuka ini tidak semua diimbangi secara cerdas.

Tidak masalah penting bisa viral. Dan tidak semua hal yang baik, tidak selalu akan dilihat sebagai baik, ketika pada saatnya ia menjadi viral. Demikian juga sebaliknya. Kadang-kadang yang viral sesuatu yang sederhana, tidak kita duga, bahkan tidak kita inginkan. Para pegiat media sosial, kerap tidak mendapat viral pada hal yang disiapkan. Sejumlah orang penting tidak menyangka hal yang diperkirakan kecil yang dilakukannya, tiba-tiba viral dan berdampak pada kehancuran kehidupannya. Seorang pejabat yang menempeleng seorang anak, tiba-tiba menjadi masalah bagi jabatan pentingnya.

Dalam dunia yang terbuka, semua hal menjadi sulit diprediksi. Pada saat yang sama, dengan berbagai mesin buatan dan kecerdasan yang diprogramkan, sesuatu yang tidak benar bisa saja terlihat seperti benar. Keadaan ini yang tidak mungkin kita perkirakan dengan baik. Maka dampak yang dirasakan oleh sekelompok orang yang memindah secara paksa sekelompok pengungsi Rohingya, antara lain mendapat sebagian dampak ini. Dalam ruang maya itu, memang tidak semua memberikan empati dan manusiawi.

Anehnya, ada hal yang aneh dengan sibak-sibuk Rohingya di Aceh, yang tidak dipertanyakan orang-orang yang mengaku terancam karena pengungsi. Hal yang penting, misalnya bagaimana mudahnya orang asing memasuki perairan nasional kita. Menurut jejak, ada sekitar 47 kapal yang ditumpangi Rohingya berlabuh ke teritori Aceh. Mereka menggunakan kapal-kapal tua, yang mesinnya juga tidak baru. Namun mengapa dengan mudahnya masuk dalam wilayah kita? Apakah mereka yang memaksa memindahkan pengungsi tadi, turut mempertanyakan hal-hal semacam ini dalam realitas?

Ada gap informasi yang seperti hilang di generasi mutakhir. Saya tanya sama sejumlah orang yang berpengalaman, ternyata orang-orang Aceh yang dulu pernah mengungsi di sejumlah negara tetangga. Ternyata orang-orang yang bergeser dari konflik, juga melakukan hal yang sama, yakni mengungsi. Sebagian mereka begitu mudah masuk ke teritori negara tetangga. Maka jika dibandingkan hal yang sama dengan apa yang terjadi di negara kita, dalam realitas ternyata sama-sama pernah terjadi. Hanya saja kita perlu membuka diri untuk memahami realitas sosial kita yang lebih luas. Memperlajari terhadap apa saja yang dialami oleh orang-orang kita, supaya bisa dibandingkan dengan apa saja yang dialami orang lain.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment