Tempat yang Tepat

Fenomena Piala Dunia mendapat sambutan banyak orang. Apalagi dengan jam tayang yang hampir tidak berbeda dengan negara-negara Asia pada umumnya. Berbeda dengan lokasi di Eropa atau Amerika, yang jam tayang bukan pada saat yang tepat. …

Fenomena Piala Dunia mendapat sambutan banyak orang. Apalagi dengan jam tayang yang hampir tidak berbeda dengan negara-negara Asia pada umumnya. Berbeda dengan lokasi di Eropa atau Amerika, yang jam tayang bukan pada saat yang tepat.

Bicara soal waktu yang tepat, harus berpadu dengan tempat yang tepat. Perpaduan ini bagi para koruptor sering menjadi alasan, saat melakukan sesuatu yang mencongkel uang rakyat, sering disebut dengan alasan sedang berada pada tempat dan waktu yang tidak tepat.

Tentu ada makna yang berbeda. Jam tayang sepak bola, tidak tepat karena saat-saat tertentu di belahan dunia lain sedang pada waktu istirahat atau kerja. Dini hari tidak mungkin ditonton oleh kebanyakan, walau mereka yang sangat maniak, akan mempersiapkan menonton pada jam berapa pun. Demikian juga pagi, bukan waktu yang tepat karena umumnya orang kita harus bekerja menurut profesinya.

Waktu yang tidak tepat konteks tayangan sepak bola, berbeda dengan mereka yang tertangkap tangan sedang bertransaksi, yang juga dialasankan sebagai waktu yang tidak tepat.

Dengan adanya kesamaan dengan waktu santai di daerah kita, membuat banyak tayangan itu bisa ditonton oleh lebih banyak orang. Terlihatlah bagaimana persiapan dilakukan. Gegap-gempita yang menyihir dan mereka yang candu, akan melakukan apapun untuk apa yang disukainya.

Apa yang menarik dalam sepak bola? Sportivitas sudah demikian berkembang, namun daya rekayasa tidak kurangnya. Ada tim yang tidak bisa menerima kekalahan, walau tim lawan bermain dengan sangat bagus dan kualitas rata-rata. Tim yang menyadari mereka memiliki kelemahan, akan berusaha memperbaiki kualitas mereka dan dengan latihan keras, siapapun bisa menjadi pemenang.

Ada satu tingkah yang tidak menarik. Mereka yang berusaha menang, akan melakukan apapun, termasuk merekayasa perbagai hal yang berpotensi merugikan lawan. Perkembangan teknologi membantu pengadil bertindak tepat, walau tetap saja sebagai manusia tidak semua pengadil memberi hukuman yang tepat.

Untuk mencari kemenangan dengan cara tidak sehat, sandiwara banyak dimainkan. Tim yang menyadari potensinya, hanya akan melakukan cara-cara elegan dalam mencapai kemenangan. Tidak semua mau melakukan kecurangan, karena proses selalu lebih penting dari hasil. Orang-orang yang berlatih secara keras, berpotensi mencapai hasil yang baik. Mereka yang menyadari dirinya masih kurang, akan berusaha belajar dari mereka yang berkelebihan.

Pada posisi ini, semua hal seperti hidup dan kehidupan nyata. Rumus untuk lebih adil disiapkan, namun selalu saja ada yang merusaknya di tengah jalan, dengan cara halus maupun hal-hal yang merusak kesantunan. Orang yang serakah berusaha sekuat tenaga untuk mencapai kemenangan yang semu.

Sekarang ini mudah sekali orang mengganti wajah dan peran. Hidup dan kehidupan, seperti diungkapkan Achmad Albar, seperti panggung sandiwara di mana orang di dalamnya bisa mengubah wajah dan cerita.  Berbagai hal di dalamnya dengan mudah ditukar-guling. Antara satu dengan yang lain dicocokkan sedemikian rupa.

Tidak jarang, semua upaya tukar-guling dan mencocokkan sangat ditentukan oleh suatu selera. Ketika selera itu tidak sesuai, maka akan disesuaikan lagi, agar selaras dan seirama. Orang yang mencari selera yang sesuai, akan sulit berdiri pada satu kaki, termasuk pada kakinya sendiri. Karena orientasi selera, maka tidak aneh mempergunakan banyak kaki, termasuk kaki orang lain. Semua digunakan asal dari segi selera akan terpuaskan.

Untuk mendukung bagaimana selera dipuaskan, akan digunakan berbagai rasionalisasi di belakangnya. Satu hal dicari pendukung dari hal lain. Tentang satu sisi, dicari pembenaran dari berbagai sisi lainnya. Pembenaran tidak berdasarkan bagaimana seharusnya sesuatu itu dipandang.

Sesuatu yang seharusnya disampaikan dengan berbasis pada keyakinan akan kebenaran, akhirnya dikalahkan oleh rasa dan penerimaan yang sangat ditentukan oleh masing-masing selera. Pemilik selera itu hanya akan menggunakan orang yang bisa memuaskan seleranya saja, tidak yang lain. Ketika sudah tidak memuaskan seleranya, maka tidak dipakai lagi.

Masalahnya adalah orang yang terbiasa memuaskan selera orang lain, juga takut ia kehilangan kesempatan untuk terus-menerus memuaskan selera. Kesempatan memuaskan ini sudah terkait dengan kepentingan lain yang diincar banyak orang. Untuk mendapatkan dan merawat kesempatan ini, bahkan seseorang mau melakukan apapun, baik rasional atau tidak rasional.

Ketika taraf ketakutan kehilangan kesempatan sudah semakin memuncak, maka berbagai rumus pun akan digunakan. Tidak jarang untuk itu, jurus pamungkas pun gunakan: menggunakan ayat sebagai dasar bagi kepentingannya. Tidak masalah menggunakan ayat, namun yang menjadi masalah adalah ketika itu digunakan tidak pada tempatnya.

Betapa banyak orang menyembunyikan ayat-ayat peringatan kepada yang berhak dengan maksud posisinya tidak terganggu. Sedangkan yang digunakan adalah ayat-ayat yang bisa membantu menyelamatkan posisinya. Lebih parah apabila ada orang yang hanya karena ingin mempertahankan posisinya lalu menggunakan jurus itu untuk melegalkan sesuatu yang masih samar. Sesuatu yang sama dengan menjual ayat bagi kepentingannya.

Fenomena menjual ayat sebenarnya sudah diingatkan sejak awal. Dalam Kitab Suci sudah mengingatkan dari awal akan munculnya orang-orang yang dari tampilan menggunakan ayat, namun tujuannya bukan untuk menguatkan peradaban dan meneguhkan kebenaran, melainkan untuk keuntungan pribadi, walau dengan jalan mungkar.

Seseorang akan mudah mengganti peran dan mencari-cari pasangan suatu ayat dengan keadaan yang menguntungkan bagi dirinya. Ayat tertentu dipakai pada saat menguntungkan saja, dan tidak dipakai ketika akan berimplikasi kepada keuntungan pribadi.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment