Memandang Kelam Sejarah

Mengapa sih ada orang yang memandang kelam pentingnya sejarah? Barangkali sejarah ini dianggap tidak penting. Bahkan, kalau membaca komentar pimpinan Pemerintah Kabupaten Pidie di surat kabar, dalam soal rumoh geudong, misalnya sejarah dianggap sama dengan …

Mengapa sih ada orang yang memandang kelam pentingnya sejarah? Barangkali sejarah ini dianggap tidak penting. Bahkan, kalau membaca komentar pimpinan Pemerintah Kabupaten Pidie di surat kabar, dalam soal rumoh geudong, misalnya sejarah dianggap sama dengan menyimpang dendam. Bagi sebagian orang, konflik dan bukti-buktinya harus dibenamkan. Itulah barangkali yang dianggap sebagai keberhasilan. Orang-orang yang melihat sejumlah tempat yang bisa dijadikan monumen, lalu dianggap bisa membangkitkan luka. Bagi orang-orang sejarah, pertanyaan sebaliknya justru yang muncul: bukankah membenamkan bukti sejarah justru akan membuat generasi menjadi lupa, dan tidak berupaya untuk menghindari konflik? Konflik itu sebagai sesuatu yang pahit dan kelam. Makanya bagi banyak bangsa, ia direkam untuk diingat, supaya tidak ada lagi konflik yang muncul di hari kemudian.

Hari ini, saya membaca status sejumlah kolega di Fakultas Ekonomi, yang sudah mulai mengganti gedung yang penuh sejarah bagi kampus Universitas Syiah Kuala. Bagi pengambil kebijakan dan pembangun, sesuatu yang baru seolah harus merobohkan yang lama, sehingga pada saatnya nanti, tidak ada lagi tanda-tanda munculnya peradaban sebagai bukti. Sejarah dengan mudah dirobohkan. Entah apa yang dipikirkan. Saya jadi teringat sejumlah foto yang saya lihat dari sejumlah laman: sejumlah negara yang merawat sejarah kelam bangsanya. Vietnam, negara-negara Eropa, bahkan negara Afrika, mulakukan hal itu sebagai pengingat bagi generasi kemudian untuk tidak mengulanginya.

Sejarah kelam berupaya dirawat di tempat orang. Berbeda dengan tempat kita. Bahkan tempat yang penuh sejarah ingin dihilangkan buktinya. Cara pikir yang terbalik, yang sepertinya tidak ditentukan oleh kadar pendidikannya –melainkan lebih kepada kadar mentalitasnya. Betapa seolah tidak penting sejarah. Saat masa lalu, kampus Darussalam bahkan merobohkan gedung yang sangat berjasa pada proses reformasi di Aceh, dengan tanpa beban diganti dengan bangunan lainnya. Seolah megah bisa berganti apa yang harusnya menjadi bahan pembelajaran dalam sejarah.

Di fakultas saya, pembenam sejarah juga berlangsung. Bagian Hukum dan Masyarakat, sebagai rumah keilmuan saya, tiba-tiba dibubarkan. Padahal substansi ilmu di dalamnya yang menjadi bagian sejarah penting dari keberadaan Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat. Bagian ilmu ini yang mengajarkan betapa hukum itu ada yang ranah kajian interdisiplin, yang membuat bagian ini oleh para pemikir sebelumnya dianggap tidak sama dengan bagian lain. Tidak bisa serampangan dan secara sederhana menganggap semua kajian sama. Betapa bijaksana orang lama dalam melihat masalah, dibandingkan orang baru yang kadar gelar bertambah, tidak selaras dengan bijaksananya.

Itulah sejarah. Ia akan dianggap penting oleh orang yang memahami pentingnya. Bangsa kita, oleh sejarah, dianggap sebagai bangsa besar karena sejarahnya. Namun bagi orang yang suka-suka, sejarah bisa dibanting dan menjadi sesuatu yang tidak ada arti.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment