Gaji & Honor

Kelelahan itu selalu dikonversi ke hak. Penggunaan istilah hak, bagi golonagn terbatas dimaksudkan sebagai upah, yang untuk istilah ini juga ada yang menggunakannya sebutan uang lelah. Dalam bahasa sehari-hari, konteks upah ini digunakan sejumlah istilah. …

Kelelahan itu selalu dikonversi ke hak. Penggunaan istilah hak, bagi golonagn terbatas dimaksudkan sebagai upah, yang untuk istilah ini juga ada yang menggunakannya sebutan uang lelah. Dalam bahasa sehari-hari, konteks upah ini digunakan sejumlah istilah. Ada yang menggunakan gaji, honor, dan upah.

Kamus Hukum membedakan antara gaji dengan honor, dan dianggap sama antara gaji dengan upah. Kedua istilah itu, dalam hubungan perburuhan, adalah sesuatu yang dibayar sebagai balas jasa atas sejumlah hal yang sudah dikerjakan. Sedangkan honor dianggap sesuatu yang di luar gaji atau upah.

Ada hal yang menarik jika mencermati bagaimana bahasa awam melihat ketiganya. Tampak ada sedikit perbedaan bagi mereka. Perbedaan ini bisa saja ditentukan dari pemahaman mereka selama ini. Perbedaan ini salam realitasnya, masing-masing orang memiliki perspektif yang berbeda terhadap istilah itu. Terkesan ada perbedaan kelas, yang mewakili dari penggunaan masing-masing istilah. Misalnya mereka yang memakai istilah gaji lebih berkelas dibandingkan dengan penggunaan istilah upah. Jika pertanyaan mengapa kesan semacam itu muncul, saya tidak bisa menjawabnya.

Saya tidak ingin masuk ke dalam perbedaan istilah itu. Saya ingin mendudukkan hak sebagai sesuatu yang merupakan sesuatu yang dibayar terhadap seseorang yang sudah melakukan kewajiban sesuatu. Kewajiban yang saya maksudkan adalah sesuatu yang sudah diperjanjikan sebelumnya.

Orang yang ingin mendapatkan hak berdasarkan kewajiban yang wajar, adalah cermin dari mentalitas. Orang yang menyadari bahwa kewajiban yang dilaksanakan, hanya akan menerima sejumlah hak tertentu, terbentuk dari jiwanya. Kesadaran ini yang akan menggerakkan semangat dan kebahagiaan untuk melakukan kewajiban secara sempurna.

Saya membayangkan bahwa mereka yang bahagia, akan melakukan kewajibannya secara maksimal. Orang seperti itu akan gundah apabila menerima jumlah hak yang dibayangkan tidak sesuai dengan kewajiban yang ditunaikan. Tipe mental yang begini, untuk hak saja masih ditimbang dengan hati-hati, apalagi untuk menjamah yang bukan haknya.

Sesuatu yang bukan hak bukan saja ada di ruang kerja. Kita bisa mendapatkan kesempatan dimana saja untuk mengambil atau tidak mengambil yang bukan hak kita. Barangkali hanya bentuk kesempatannya saja yang berbeda-beda. Orang yang menemukan sesuatu yang bukan miliknya, atau sesuatu yang diyakini bukan haknya, lalu menolak menerima, berarti seseorang sudah ada dalam jiwanya mentalitas yang saya ceritakan ini.

Saya mendapatkan ingatan penting dari satu animasi. Jika ditimbang-timbang, ada satu yang negatif dari animasi ini, yaitu pada sikap Kak Ros terhadap dua adiknya: Upin dan Ipin. Ia sering main tampar, cubit, dan marah terhadap dua anak ini. Perilaku ini tidak ramah terhadap anak. Pola mendidik anak harus dilakukan dengan memakai rasa dan hati.

Makanya khusus untuk bagian tersebut dalam animasi ini, saya tolak. Sementara untuk bagian lainnya, saya kagum. Justru animasi tersebut sudah mencerminkan cocok untuk anak.

Berbeda dengan animasi di tempat kita, yang sebagian sepertinya tidak mencerminkan kebutuhan anak. Tak jarang, animasi yang seharusnya untuk anak-anak, namun penuh kepentingan mereka yang sudah dewasa.

Pihak yang membuat animasi, harus belajar untuk mencapai tujuan memperbaiki kualitas kehidupan. Untuk bagian yang lain, menurut saya secara subjektif, berhasil menjadikan animasi Upin dan Ipin sebagai media pendidikan yang luar biasa –dalam berbagai aspeknya. Hal-hal kecil yang mungkin di luar dari yang kita bayangkan, dijadikan media dan ruang untuk belajar.

Dalam salah satu edisi yang saya tonton, ada Opah yang mengingatkan Upin dan Ipin untuk tidak pernah mengambil sesuatu miliknya orang lain. Ingatan ini, terkait dengan temuan uang oleh mereka dalam jumlah yang lumayan besar. Namun dengan ingatan dari Opah yang diingat mereka, temuan itu dikembalikan kepada pemiliknya.

Tidak mudah mendidik anak hingga mencapai pada taraf ini. Banyak anak yang bertingkah baik di dalam rumah, sedang di luar, lain cerita. Bahkan ada anak yang di luar rumah ternyata melakukan hal-hal yang tidak bisa kita bayangkan.

Kasus yang terjadi belakangan, anak-anak kecil yang sudah memalak dan mengerasi temannya, menjadi contoh. Demikian juga mentalitas mengembalikan sesuatu yang bukan miliknya. Tidak semua orang mampu berbuat demikian. Apalagi terkait dengan uang, bukan saja yang ditemukan, justru orang mengumpulkannya dengan berbagai cara.

Konsep pengumpulan itu juga bisa meluas, tak terbatas pada hal tertentu. demikian juga dengan konsep mengambil, yang diperluas dalam berbagai makna: tidak mengambil apapun yang bukan hak kita. Tidak mencuri, mengambil, menilep, menyembunyikan, atau secara tidak sah hal yang bukan milik kita. Ada rasa gundah-gelisah ketika memiliki sesuatu yang bukan milik kita.

Bersyukurlah apabila dalam tubuh kita sudah ada rasa untuk menolak yang bukan hak kita. Rasa itu harus dipupuk dan diperkuat, agar mentalitas tidak memiliki yang bukan kepunyaan kita bisa terwujud dalam kehidupan bersama.

Pada akhirnya, rasa ini akan berkontribusi membentuk rasa benci pada perilaku sebaliknya. Perilaku yang menilep punya orang lain atau punya orang banyak. Rasa ini pula yang membuat seseorang bisa menghilangkan ketamakan dan kerakusan –dua hal yang membuat orang selalu merasa tidak berkecukupan atas apa yang sudah ia punya. Betapa luar biasa negeri ini, bila setiap orang berhasil menurunkan mentalitas sebagaimana Opah mendidiknya cucunya dalam animasi Upin dan Ipin. Semoga itu menjadi kenyataan. Amin.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment