Fair

Pernah dalam satu pemilihan daerah, terjadi fenomena ini. Ada satu daerah yang hanya punya calon tunggal, lalu dikompetisikan dengan kotak kosong, dan ada kemungkinan ia kalah. Ini baru kemungkinan, belum bisa dipastikan, karena mereka yang …

Pernah dalam satu pemilihan daerah, terjadi fenomena ini. Ada satu daerah yang hanya punya calon tunggal, lalu dikompetisikan dengan kotak kosong, dan ada kemungkinan ia kalah. Ini baru kemungkinan, belum bisa dipastikan, karena mereka yang berwenang baru akan menentukan hasil akhirnya dalam beberapa hari mendatang. Kabarnya dalam dua hari ini, media tidak diizinkan meliput bagaimana perhitungan suara di daerah itu.

Tahun ini, banyak daerah yang hanya punya calon tunggal. Miskin calonkah? Ternyata tidak selalu. Ada sindikat yang bermain. Kekuatan politik dominan yang menelikung di tikungan. Mereka yang mengorganisir diri untuk hanya memberi peluang pada sejumlah orang saja. Caranya berbagai macam. Paling sederhana adalah mengaturnya lewat ketentuan.

Pada akhirnya, jika diibaratkan sebuah kompetisi, tidak lagi pada masalah fair atau tidak. Baik atau buruk, benar atau salah, biasanya sudah tidak menjadi pilihan. Bagi kekuatan politik, mungkin hal yang diperlukan adalah bisa menang kompetisi atau tidak.

Aneh sekali banyak daerah yang ternyata memiskinkan kadernya sendiri. Dengan sindikat tertentu, hanya kekuatan politik tertentu saja yang bisa menentukan, yang lain tidak. Jika pada masa lalu terjadi fenomena seperti ini, banyak orang kritis menyebutkan kondisi ini sebagai otoriter. Namun setelah reformasi, kadang-kadang orang-orang yang dulu kritis, juga berdiri dalam kekuatan yang membangun kekuatan tunggal itu.

Bukankah masalahnya kemudian adalah kesempatan. Banyak orang yang kritis, mungkin rasa kritisnya itu bukan muncul karena keikhlasan, melainkan hanya karena belum memiliki kesempatan. Sejumlah orang yang dulu kritis, ketika mendapat kesempatan, ternyata sekarang menjadi orang-orang yang otoriter gaya baru.

Inilah fenomena kehidupan yang terjadi dalam dua dekade setelah reformasi. Orang-orang muda yang dulu mengkritik, kini mereka sudah tidak mau mendengar kritik. Dulu menyebut orang lain jangan alergi kritik, justru sekarang mereka sudah mulai alergi dengan kritik.

Terserah, fenomena calon tunggal yang kemarin berkemungkinan mendapat suara riskan, bukankah sudah mulai harus dipertanyakan kekuatan politik dominan? Ternyata kekuatan yang dominan dalam politik, belum tentu dominan memperoleh suara.

Mengapa suaranya riskan? Salah satu jawaban yang mungkin adalah masalah kenal tidaknya. Orang yang seharusnya dijadikan sebagai tokoh dan panutan, lalu ia dimunculkan sebagai pemimpin, seharusnya orang-orang yang sudah dikenal lahir batin. Tidak boleh main tunjuk begitu saja. Jangan gara-gara ada kekuatan politik dominan, lalu mengambil inisiatif suka-suka.

Jika diibaratkan sebagai satu barisan shalat, seorang pemimpin itu harus dikenal. Ia akan mengemban amanah penting yang menentukan bagaimana orang yang dipimpinnya akan mencapai kondisi yang bahagia. Lantas bagaimana orang yang akan memimpin sedangkan orang-orang yang akan dipimpin justru tidak mengenalnya.

Di sinilah kita harus mengenal dulu siapa yang akan memimpin. Saya ingin bercerita satu hal, terkait dengan pelaksanaan ibadah. Suatu kali, ketika shalat jamaah dhuhur di satu masjid, sesuatu yang ganjil terjadi dan baru diketahui oleh sebagian jamaah setelah shalat selesai. Entah bagaimana, setelah petugas melakukan iqamah, tiba-tiba muncul seorang dewasa yang memakai sarung dengan kemeja coklat kotak –kalau saya tidak salah ingat, muncul ke depan pada posisi sajadah imam. Mungkin karena penampilannya yang sangat percaya diri. Lalu ia mengambil mikrofon kecil dan disangkut pada ujung kemejanya.

Ia tidak dipersilakan oleh petugas, namun waktu itu, petugas masjid juga tidak berkomentar apa-apa. Mungkin imam yang seharusnya bertugas waktu itu juga mengira, entah ada orang tertentu yang mungkin perlu dihargai. Biasanya ada orang yang dikenal oleh pengelola jadwal, bisa menjadi imam tiba-tiba sebagai penghormatan dan ia dikenal.

Lantas orang tadi langsung melakukan takbir. Tidak ada aba-aba seperti biasanya, untuk jamaah diingatkan untuk meluruskan dan merapatkan shaf. Sebenarnya shalat dhuhur hari itu berjalan dengan normal. Tidak ada sesuatu yang ganjil selama shalat. Keganjilan baru muncul setelah shalat. Sang imam tersebut, ketika mau meninggalkan sajadah imam, sewaktu jamaah masih berderet di masing-masing shaf, mengambil minyak wangi dari tas yang ditaruh di sampingnya. Lalu minyak wangi itu disemprot kepada jamaah di shaf pertama. Saya tidak melihat kejadian tersebut. Jamaah yang kemudian bercerita, beberapa hari setelah itu. Setelah disemprot minyak wangi, mungkin ada di antara jamaah yang mengenal beliau –yang sebenarnya. Lantas muncul inisiatif sebagian jamaah melakukan shalat ulang.

Kejadian semacam ini bisa terjadi di mana saja. Namun penting menjadi catatan bahwa kecolongan semacam ini bisa berakibat kurang baik. Atas dasar inilah, pengelola jadwal imam harus menentukan secara ketat orang-orang yang bertugas –termasuk sebagai pengganti. Seandainya sewaktu-waktu ada orang yang ingin dimajukan sebagai imam atas alasan tertentu, maka yang bersangkutan sudah diketahui persis siapa orangnya. Untuk menjadi imam tidak boleh ditentukan hanya menduga-duga, dan tentu harus dipersiapkan agar jamaah bisa mengikutnya dengan khusyuk. Sebenarnya pengelola jadwal juga berhak sekaligus bertanggung jawab untuk menanyakan orang yang tidak dikenal lalu tiba-tiba sudah maju sebagai imam di luar dari yang ditentukan.

Pengelola jadwal juga harus paham betul mengenai orang-orang yang akan maju atau dimajukan untuk menjadi imam. Apalagi menentukan untuk menjadi imam shalat jamaah di suatu masjid, biasanya selalu ditentukan berdasarkan kesepakatan semua pengelola, bukan oleh orang per orang. Hal ini untuk menghindari jangan sampai orang-orang yang mengambil posisi tersebut, sebenarnya dari segi kesehatan lahir-batin dipertanyakan. Bisa dibayangkan bagaimana posisi jamaah yang diimami oleh seseorang yang sebenarnya bermasalah dengan kesehatannya. Atas dasar itulah, orang yang akan menjadi imam harus dipastikan kesehatannnya.

Dengan belajar dari kejadian itu, seharusnya siapa pun yang akan dijadikan pemimpin, harus dikenali lahir dan batin. Orang yang akan menahkodai sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia, sudah seharusnya mendapatkan gambaran yang jelas bagaimana sosoknya.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment