Lampu Lalu Lintas

Selama ini, satu perempatan dalam kampus saya sudah diletakkan lampu lalu lintas. Sebenarnya ada sejumlah persimpangan, namun hanya satu persimpangan ini yang sangat serius. Ceritanya di tengah kampus ada jalan umum. Pemerintah sudah menyiapkan jalan …

Selama ini, satu perempatan dalam kampus saya sudah diletakkan lampu lalu lintas. Sebenarnya ada sejumlah persimpangan, namun hanya satu persimpangan ini yang sangat serius. Ceritanya di tengah kampus ada jalan umum. Pemerintah sudah menyiapkan jalan lingkar, tetapi sepertinya tidak efektif.

Bagi saya, jalan di dalam kampus bukan suatu masalah. Saya kira banyak kampus lain yang ada lintasan masyarakat di dalamnya. Hanya saja perlu diatur, tentu tak hanya bagi masyarakat, melainkan juga bagi warga kampus. Dengan penataan penggunaan jalan dalam berlalu lintas, memungkinkan semua berjalan sebagaimana mestinya.

Penempatan lampu mewakili kepentingan berlalu lintas. Fungsi lampu ini secara sederhana ingin menertibkan pengendara jalan raya. Implikasi akhir dari menertibkan ini adalah menghindari adanya kecelakaan lalu lintas. Bukankah sesuatu yang sangat mulia?

Fungsi lampu lalu lintas pada akhirnya akan membahagiakan pemakai jalan. Ada kebahagiaan saat orang-orang memakai jalan, disebabkan semuanya sudah menggunakan jalan sesuai haknya. Tidak mencuri jalan orang lain. Semua orang berhak menggunakan jalan raya, tidak saja disebabkan kewajiban yang seimbang, melainkan memang tujuan kebahagiaan harus dicapai melalui kemauan orang untuk tidak boleh egois dalam menggunakan jalan tersebut.

Sejumlah lokasi lampu lalu lintas justru tidak semakin tertib. Orang sering bercanda, menyebut ada kemungkinan pengendara sudah tidak bisa membedakan lagi warna. Orang yang berhadapan dengan lampu merah seharusnya berhenti, kenyataannya terus jalan. Lampu kuning yang seharusnya untuk berhati-hati dan bersiap berhenti, malah menjadi ukuran semakin ditancap kecepatan.

Ironisnya hal ini juga terjadi di perempatan kampus, yang saya sebut di awal. Di sini, menerobos lampu merah juga terjadi. Suatu waktu saat saya mengantar tamu, dengan setengah menggeleng dia menyindir, ternyata lampu di dalam kampus juga tidak selalu efektif.

Bagi orang lain, seharusnya di kampus menjadi ukuran sesuatu itu berjalan secara sempurna. Ternyata tidak. Walau tidak mengingkari pengguna jalan di sini juga masyarakat biasa. Warga kampus seharusnya menjadi pelopor bagi publik untuk menggunakan lampu lalu lintas dengan baik. Dalam berbagai aspek kehidupan, seharusnya kampus dapat menjadi barometer kehidupan yang berkualitas. Tidak justru sebaliknya. Dengan orang-orang yang dari segi pendidikan sudah mapan, seharusnya selaras dengan akal.

Kondisi ini diharapkan bisa berimplikasi lebih jauh. Orang-orang terdidik harus menjadi contoh berperilaku lurus. Seandainya kondisi ini bisa dijalankan, berbagai operasi lalu lintas pun bisa menggunakan kampus untuk mengefektifkan aturan berlalu-lintas.

Bukankah operasi lalu-lintas terkait dengan usaha membuat semua pengguna jalan raya patuh pada jalurnya? Patuh seyogianya tak terbatas pada hukum saja, melainkan mental. Soal terakhir ini ketika diversuskan dengan tujuan pragmatis, maka ia kerap tak berdaya. Mengapa orang tidak menggunakan berdasarkan jalurnya? Atau mengapa, ketika kebutuhan mendesak, kita juga tidak bisa teguh pada pendirian awal? Orang yang menerobos lalu lintas ketika ada keperluan tertentu, adalah gambaran hal ini. Apalagi banyak kawasan yang orangnya akan mengikuti hukum jalan raya ketika petugas ada.

Persoalan tak berhenti di sana. Masalah lain yang muncul karena hukum juga membuat kelas. Mereka yang punya pangkat dan jabatan juga tidak bermental merasakan jalannya hukum. Dengan modal mobil pengawal, mereka tak berlaku lampu lalu lintas apalagi rambu lainnya. Jadi kadangkala, hukum yang di jalan itu, yang secara rutin dilaksanakan penegakannya, tidak selalu diikuti oleh mereka yang berpangkat. Dalam konteks mentalitas, ini juga masalah tersendiri. Bagaimana bisa orang yang seharusnya menjadi teladan agar tegaknya hukum diikuti oleh rakyat banyak, justru melakukan sebaliknya. Mentalitas demikian yang menurut saya penting diubah.

Memang ada hal tertentu yang secara normatif diberi kelonggaran. Mereka yang berpangkat ada celah untuk menerobos hal tertentu, sebagaimana mobil ambulans yang harus mencapai lebih cepat pelayanan rumah sakit. Namun tidak boleh lupa, ada banyak mata yang menyaksikan betapa orang-orang yang mengaku ingin melayani, ternyata tak mampu untuk tidak dilayani. Salah satunya adalah ketika mereka tak mampu menahan diri untuk mendahulukan rakyat di jalan.

Tentu operasi patuh tidak sampai menjangkau hal demikian. Dalam operasi ini, petugas melaksanakannya secara serempak. Lalu berbagai fenomena pun tampak. Ada oknum pejabat yang membentak petugas. Atau oknum perwira pengatur yang berkata kasar untuk petugas jalan raya karena merasa tak wajar untuk diatur. Konon, ada juga keluarga oknum perwira yang berperilaku suka-suka dan seperti tak ada hukum untuk mereka –padahal mereka hanya keluarga dan bukan mereka yang berpangkat perwira.

Saya melihat berbagai fenomena itu melalui televisi, dan ini sangat menyedihkan. Rasa menyedihkan makin berlipat, ketika pimpinan mereka yang bersalah, justru membela habis-habisan anggotanya. Berbeda ketika berhadapan dengan rakyat, yang selalu mengeluarkan kata: siapa pun yang bersalah akan dihukum sesuai hukum yang berlaku. Angin segar datang, ketika ada sedikit di antaranya, yang memberi hukum internal agar tidak menjadi contoh buruk bagi yang lain.

Di luar itu, sebenarnya ada kesan lain yang bisa dirasakan, bahwa tak ada jaminan mereka yang semakin tinggi gelar, pangkat dan jabatan, diikuti oleh mentalitas yang tinggi juga. Mentalitas secara sederhana dan dalam makna sempit bisa saja dipahami dengan akal. Seyogianya orang yang berpangkat tinggi, jabatan tinggi, gelar tinggi, mendayagunakan akalnya agar semakin mulia. Tidak sebaliknya.

Orang-orang yang berkelas, seharusnya mampu menunjukkan kelasnya sampai di jalan raya. Bisakah?

Leave a Comment